Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengunjungi sejumlah daerah rawan bencana di Indonesia untuk memetakan dan mengumpulkan kisah desa dan masyarakat tangguh bencana. Kisah-kisah itu akan digunakan sebagai bahan ajar mitigasi bencana.
Pada Selasa (20/5), tim mengunjungi Desa Babalan, Kecamatan Gabus, dan Desa Tondomulyo, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kedua desa tersebut adalah desa tangguh bencana dampingan Yayasan SHEEP Indonesia yang menerapkan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal masyarakat.
Salah satu anggota tim Pusat Pendidikan dan Penelitian (Pusdiklat) BNPB Kuriake mengatakan, tim sebelumnya mengunjungi Pacitan, Jawa Timur, Padang, Sumatera Barat, dan Manado, Sulawesi Utara. Di daerah itu, tim berupaya mengumpulkan usaha masyarakat menanggapi bencana yang terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Hal itu juga kami lakukan di Pati dan nantinya di Kebumen dan Yogyakarta. Salah satunya, kami ingin melihat dan mendokumentasikan gerakan-gerakan masyarakat melakukan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal,” kata Kuriake.
Ia menambahkan, ke depan, data dan kisah yang dikumpulkan tersebut akan menjadi bahan ajar. Nantinya, bahan ajar itu diharapkan bisa menginspirasi masyarakat dan para pelaku pencegahan dan penanggulangan bencana.
Manajer Lapangan Yayasan SHEEP Indonesia Wilayah Pati Evi Novita Setyaningrum mengemukakan, Desa Babalan dan Tondomulyo merupakan desa percontohan ”Masyarakat Tangguh Bencana”. Di dua desa itu, masyarakat mengembangkan mitigasi bencana sesuai dengan karakter daerah rawan banjir.
Di Desa Babalan, misalnya, hampir setiap rumah memiliki perahu yang terbuat dari drum dan menanam sayur mayur di halaman rumah dengan teknik vertikultur. Mereka menggunakan perahu dan memanfaatkan hasil tanam vertikultur untuk bertahan hidup pada saat banjir datang.
”Adapun di Desa Tondomulyo, selain mengembangkan vertikultur, masyarakat setempat juga menanam pohon pisang. Setiap kali banjir, mereka memanfaatkan batang pohon itu sebagai bahan membuat rakit, sedangkan buahnya untuk dikonsumsi,” kata dia.
Evi menambahkan, masyarakat kedua desa itu juga membuat alat pengukur ketinggian banjir. Salah satunya dengan menggunakan tiang penyangga sebuah pos ronda di tengah desa. Tiang tersebut dicat warna hijau, kuning, merah, dan putih, serta diberi ukuran ketinggian. Dengan begitu, warga menjadi lebih siap mengantisipasi datangnya bencana. (HEN)
Sumber: Kompas, 21 Mei 2014