Dalam ekosistem media massa di era digital, persaingan yang terjadi bukanlah antar media yang sama-sama memproduksi konten jurnalistik, tetapi antara media dengan platform digital global.
AFP/DENIS CHARLET—Facebook and Google memperpanjang masa kerja dari rumah (WFH) hingga 2021.
Disrupsi digital oleh kehadiran platform digital global memukul media massa sejak beberapa tahun terakhir. Beradaptasi menjadi kunci untuk bertahan dan berdaya saing. Namun belum juga model adaptasi yang pas ditemukan, media massa kembali terpukul oleh krisis akibat pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keberadaan platform digital global seperti Google dan Facebook di bidang media memengaruhi perkembangan media konvensional, bahkan media digital, yang memproduksi konten jurnalistik. Mereka dapat mendistribusikan konten jurnalistik, yang menarik pengiklan beralih ke mereka, tanpa secara langsung membayar ke media massa sebagai produsen konten tersebut.
Dari sisi teknologi dan inovasi, mereka unggul, dan itu sah. Namun dari sisi regulasi, terdapat ketimpangan yang membuat persaingan menjadi tidak sehat. Regulasi pemerintah hanya mengikat media massa yang memproduksi konten, tetapi tidak bagi platform media digital.
Di beberapa negara, kata Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia Wenseslaus Manggut dalam diskusi daring bertema “Jurnalisme di New Normal”, Sabtu (31/5/2020), pemerintah turun tangan agar permainan lebih adil. Porsi 90 persen kue iklan yang dikuasai platform digital global bisa “dibagi” lebih adil dengan produsen konten jurnalistik.
Platform media global membutuhkan konten jurnalistik, tetapi dominasi mereka terhadap pasar periklanan mengancam sumber konten mereka. Karena itu, mereka diminta membayar konten jurnalistik yang mereka distribusikan.
Tidak selalu berhasil, seperti di Spanyol yang dijawab Google dengan menutup platform beritanya (Google News) di negara tersebut. Sementara, mengutip the Guardian pada 21 April 2020, pemerintah Perancis meminta platform global media bernegosiasi dengan perusahaan media.
Negosiasi serupa gagal dilakukan di Australia. Karena itu, Australia akan mengeluarkan rancangan peraturan bagi Google dan Facebook untuk membayar kompensasi yang adil untuk konten jurnalistik dari media massa yang mereka pasang (the Guardian, 28/4/2020).
Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) menyerukan semua negara untuk membuka negosiasi dengan perusahaan platform digital global – Google, Apple, Facebook, Amazone, dan Microsoft – untuk mengumpulkan pajak atas pendapatan yang dihasilkan perusahaan-perusahaan tersebut dalam wilayah nasional masing-masing negara. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak membayar pajak di sebagian negara tempat mereka mengumpulkan pendapatan, yang diperkirakan mencapai 900 miliar dollar AS di seluruh dunia.
Pajak penghasilan mereka sebesar 6 persen dapat menyuntikkan dana sebesar 54 miliar dollar AS untuk pengembangan jurnalisme berkualitas. Dana tersebut digunakan untuk mendukung media pelayanan publik, swasta, media independen, media nasional, dan media lokal yang tidak dimiliki perusahaan multinasional.
Di Indonesia, Dewan Pers, Asosiasi Perusahaan Media, dan Asosiasi Profesi Media menunggu langkah pemerintah. Saat peringatan Hari Pers Nasional 2020 pada 8 Februari di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Presiden Joko Widodo minta kementerian dan lembaga terkait segera menyiapkan draft regulasi untuk melindungi ekosistem media massa dari serbuan platform digital global (Kompas, 9/2/2020).
Teknologi distribusi
Media massa, kata Wenseslaus, juga harus bergerak untuk membangun ekosistem baru. Di era teknologi digital, jalan keluarnya memang harus memanfaatkan teknologi. Dan, menurut Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana, harus kreatif dalam memanfaatkan teknologi.
Di media televisi, kata Yadi, ada kolaborasi untuk peliputan dengan sistem televisi pool (TV pool). Jika sebelumnya TV pool merupakan keputusan pemerintah untuk peliputan peristiwa-peristiwa khusus seperti upacara kenegaraan 17 Agustus, saat ini merupakan kerja sama para pengelola televisi. Tujuannya terutama untuk efisiensi peliputan karena pengolahan konten berita ada di masing-masing televisi.
Namun model seperti itu tidak mudah diterapkan untuk media daring apalagi media cetak. Langkah ideal adalah dengan membangun jalur distribusi dan bersaing dengan platform digital global seperti dilakukan New York Times dan Washington Post.
New York Times memanfaatkan teknologi sebagai jalur distribusi atas kontennya, demikian juga Washington Post yang menarik Amazon untuk menangani teknologi distribusi kontennya. Hasilnya, New York Times dapat meningkatkan jumlah pelanggannya, Washington Post yang nyaris bangkrut 2-3 tahun lalu pun kini berkembang besar.
——Beragam media cetak yang masih hadir di Indonesia di tengah persaingan arus informasi di era digital.
Upaya lainnya, kolaborasi media massa dengan platform media digital dengan sharing yang lebih adil. Jika kolaborasi ini dapat dilakukan, akan terbangun ekosistem yang ideal karena media massa menguasai produksi konten, sedangkan platform digital global menguasai distribusi kontennya.
Namun jika mengacu pernyataan Direktur Pelaksana Google Australia, Melanie Silva, tidak mudah membangun kolaborasi dengan platform digital global. Silva mengatakan, posisi Google tidak berfokus pada membayar konten, tetapi pada bagaimana raksasa pencarian ini dapat menambah nilai bagi perusahaan media dengan mengirimkan lalu lintas konten dengan cara mereka.
Peluang besar, kata Wenseslaus, kolaborasi dengan industri lokal yang menguasai jalur distribusi, dan dalam konteks Indonesia adalah Telkom yang menguasai teknologi distribusi konten. Kolaborasi tengah dibangun. Mengacu sistem kerja platform digital global, Telkom bisa menjadi pengumpul (pool) iklan yang kemudian didistribusikan ke media massa dengan porsi sesuai konten jurnalistik yang didistribusikan melalui Telkom.
Aturan main yang adil dan transparan akan menciptakan ekosistem baru yang lebih adil juga bagi media massa. Menjaga bisnis media massa berarti juga menjaga ruang publik dan demokrasi.
Oleh YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 2 Juni 2020