CATATAN IPTEK
Will you say, in seeing this mass of victims: / “God is revenged, their death is the price for their crimes?” / What crime, what error did these children, / Crushed and bloody on their mothers’ breasts, commit? / Did Lisbon, which is no more, have more vices / Than London and Paris immersed in their pleasures? /Lisbon is destroyed, and they dance in Paris!–Voltaire, 1755
?Puisi itu ditulis François-Marie Arouet alias Voltaire menyikapi pemikiran masyarakat Eropa yang beranggapan bahwa gempa bumi dan tsunami di Kota Lisbon, Portugis pada tahun 1755 merupakan hukuman atas dosa-dosa masyarakatnya. Pagi itu, 1 November 1755, sebagian besar penduduk di Kota Lisbon tengah berdoa di gereja dalam ritus “Hari Peringatan Semua Orang Kudus“ (All Hallows’ Day). Pukul 09.40 waktu setempat ketika gempa mengguncang, diperkirakan kekuatannya M 8,5 atau lebih.
?Gedung-gedung megah ambruk, disusul kebakaran hebat. Mereka yang selamat dan terluka berkumpul di ruang terbuka di pusat kota. Namun, 40 menit setelah gempa, tsunami menerjang dan menghancurkan kota pelabuhan terbesar di Eropa yang menjadi pusat kendali kolonialisasi Portugis ke berbagai belahan dunia. Sekitar 40.000 jiwa dari 200.000 penduduknya tewas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
?Peristiwa ini membawa guncangan besar, bukan hanya dari segi ekonomi dan politik, namun juga pemikiran. Tragedi ini menjadi titik balik ilmu pengetahuan hingga melahirkan Zaman Pencerahan (Enlightenment) di Eropa.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Peneliti paleotsunami Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Purna S. Putra menemukan empat lapisan endapan tsunami tua di lokasi terdampak tsunami 28 September 2018 lalu di Pantai Talise, Teluk Palu, Senin (12/11). Temuan ini menunjukkan bahwa tsunami telah berulangkali terjadi di kawasan ini.
Tragedi gempa dan tsunami yang menghancurkan Kota Lisbon, Portugis pada 1755 menjadi titik balik ilmu pengetahuan hingga melahirkan Zaman Pencerahan (Enlightenment) di Eropa.
?Voltaire berada di garis depan perubahan itu. Selain puisi, dia juga menulis buku Candide or Optimism (1758), yang mengritik dogma agama tentang gempa. Dia berargumen, gempa mengikuti hukum alam, bukan disebabkan tindakan manusia, sekalipun hingga saat itu belum diketahui dengan pasti mekanismenya. Buku ini dilarang otoritas Katolik di Vatikan pada tahun 1762, namun semangat untuk memahami gempa bumi secara rasional menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Jepang seratus tahun kemudian.
Sebelumnya, masyarakat Jepang meyakini bahwa gempa bumi disebabkan namazu atau ikan lele raksasa yang hidup di bawah tanah. Namazubergolak sehingga memicu gempa bumi untuk menghukum kekuasaan yang korup dan tidak adil. Kisah tentang namazu ini masih sangat populer saat ibukota Jepang, Edo—Tokyo—dilanda gempa pada tahun 1855 yang menewaskan 10.000 penduduknya.
Perubahan di Jepang
Perubahan persepsi masyarakat Jepang tentang gempa bumi baru terjadi ketika Kaisar Jepang mengeluarkan maklumat yang disebutnya Meiji (enligtened rule) pada 1868. Upaya ini dilakukan salah satunya dengan modernisasi pendidikan.
Selain mengirim anak-anak muda ke Eropa, mereka juga mengundang sarjana Barat ke Jepang. Terkait ilmu kebumian, salah satu yang diundang ke Jepang untuk mengajar adalah John Milne, geolog muda Inggris. Milne mengajar di College of Engineering—yang kemudian menjadi Tokyo University dan menjadi profesor pertama dari jurusan Pertambangan dan Geologi di kampus itu.
Salah satu sumbangan besar Milne bagi Jepang adalah upayanya untuk mendirikan Seismological Society of Japan atau Nihon jishin Gakkai, asosiasi akademik gempa bumi pertama di dunia pada tahun 1881, setahun setelah gempa yang menghancurkan Yokohama, sekitar 30 km dari Tokyo. Berikutnya, pada tahun 1881, Milne, bersama rekannya di Seismological Society of Japan, merancang alat ukur guncangan gempa yang kemudian dinamainya seismograf.
Akan tetapi, sumbangan terbesar Milne bagi masyarakat Jepang adalah membuka kesadaran baru tentang gempa. Pemahaman gempa sebagai fenomena alam telah memicu semangat untuk memitigasinya. Sekalipun awalnya mengadopsi ilmu pengetahuan dari Barat, Jepang kemudian menemukan jalannya sendiri untuk menghadapi gempa. Bahkan, kini mereka dikenal sebagai negara terdepan dalam teknologi dan manajemen kebencanaan.
Berbeda dengan Jepang, Indonesia masih menjadi laboratorium bencana bagi negara lain. Misalnya, tiap tahun kita harus membayar belasan miliar rupiah kepada Jerman untuk biaya perawatan sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS) yang dibangun mereka sejak 2008 dan banyak dipertanyakan efektivitasnya dalam tsunami Sulawesi Tengah kali ini. Ilmuwan Indonesia dianggap belum mampu membuat sistem sendiri atau birokrat kita yang cenderung pragmatis?
Sejak tsunami Aceh 2004, lahir banyak ilmuwan gempa dan tsunami di negeri ini. Menurut data Tsunami dan Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, setidaknya, 20 orang di Aceh telah menyelesaikan doktor di bidang bencana. Belum lagi di kampus-kampus lain.
Semangat ilmuwan Indonesia untuk berkontribusi di bidang kebencanaan juga terlihat dalam gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah. Tak lama setelah bencana, puluhan ilmuwan telah ke daerah terdampak bencana untuk melakukan pemetaan dan berupaya memahami mekanismenya, dengan harapan bisa berkontribusi dalam pembangunan kembali kawasan ini ke depan.
Namun demikian, ketika para ilmuwan ini masih berjibaku menyelesaikan kajian, pemerintah sudah memiliki rencananya sendiri. Pengungsi memang butuh penanganan segera. Apalagi, saat ini merupakan tahun politik, di mana keterlambatan pembangunan daerah bencana bisa menjadi komoditas para juru kampanye. Itu pula yang mendorong Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengebut untuk menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi Tengah.
Bagaimana pun, pembangunan kembali Sulawesi Tengah tetap harus berpijak pada ilmu pengetahuan dan pengetahuan lokal. Untuk itu, para ilmuwan nasional harusnya mendapat panggung di depan. Indonesia bukan hanya supermarket bencana, namun juga laboratorium untuk melahirkan pengetahuan dan kemandirian dalam mengelola risiko bencana….–AHMAD ARIF
sumber: Kompas, 21 November 2018