Bangladesh Siap Tanam “Padi Emas”

- Editor

Sabtu, 23 November 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bangladesh menjadi negara pertama yang bakal membudidayakan “padi emas”, yaitu tanaman hasil rekayasa genetika yang diklaim bisa mencegah kebutaan dan kematian anak-anak. Tanaman ini telah ditemukan sejak 20 tahun lalu, namun memicu kontroversi di banyak negara.

Beras emas dikembangkan pada akhir 1990-an oleh ilmuwan tanaman dari Jerman, Ingo Potrykus dan Peter Beyer untuk memerangi kekurangan vitamin A yang jadi penyebab utama kebutaan pada anak. Kadar vitamin A yang rendah juga berkontribusi pada kematian akibat penyakit menular seperti campak.

beras-emas-FAO_1574427293ISAGANI SERRANO/CPS–Beras emas, yaitu beras hasil dari tanaman padi rekayasa genetika yang diperkaya dengan viamin A kini siap dibudidayakan di Bangladesh. Padi ini telah ditemukan sejak 20 tahun lalu, namun menjadi kontroversi di banyak negara. Foto. Dokumentasi FAO

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Secara alami, pasokan viamin A bisa didapat dari bayam, ubi jalar, wortel dan berbagai sayuran lain. Namun di sejumlah negara yang menjadikan beras sebagai makanan utamanya kekurangan vitamin A. Misalnya, di Bangladesh kekuernagan vitamian A masih mencapai sekitar 21 persen anak-anak.

Seperti dilaporkan Sciencemag pada Rabu (20/11), para peneliti di Bangladesh Rice Research Institute (BRRI) tengah menguji coba budidaya padi emas yang benihnya dibuat di International Rice Research Institute (IRRI) Los Baños, Filipina. Para peneliti membiakkan gen beta-karoten menjadi varietas padi bernama dhan 29 dan menanamnya selama musim kemarau di Bangladesh.

Kualitas beras dhan 29 diklaim tidak berbeda dengan beras biasa, kecuali ada tambahan vitamin A. BRRI menyerahkan data pada Kementerian Lingkungan Hidup, Hutan, dan Perubahan Iklim Bangladesh pada November 2017.

Kaji risiko
Komite Keamanan Biologis, kelompok yang terdiri dari delapan pejabat dan ilmuwan di Bangladesh, telah mengkaji risiko lingkungan serta keamanan pangan. Tinjauan ini hampir selesai dan rencananya akan diputusakan pada tanggal 15 November, namun tertunda karena kematian salah satu anggotanya.

Sebagian anggota komite dilaporkan tetap skeptis terhadap beras emas ini. Mereka mempertanyakan mengapa hal itu diperlukan ketika orang juga bisa makan lebih banyak sayuran.

Namun, para pendukung beras emas ini optimis. Hal ini karena komite ini sebelumnya telah menyetujui tanaman transgenik lain, yaitu terong yang telah direkayasa sejak 2014. Terong yang direkayasa jadi tahan hama penyakit kini telah dibudiayakan di Bangladesh.

“Kami berharap beras emas akan segera mendapatkan lampu hijau,” kata Arif Hossain, direktur Farming Future Bangladesh di Dhaka, yang didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation.

Namun dua kelompok masyarakat di Bangladesh yakni Federasi Buruh Pertanian Pertanian dan Asosiasi Perempuan Tani & Pekerja Nasional menyerukan larangan budidaya dan konsumesi beras emas dan terong transgenik.

Selain mendapat penentangan dari kelompok masyarakat di Bangladesh, penerimaan konsumen terhadap beras emas jadi tantangan lain. Sherry Tanumihardjo, yang memelajari vitamin A dan kesehatan global di University of Wisconsin di Madison mengatakan, orang akan kesulitan mengubah selera mereka terhadap warna makanan yang tak lazim sebagai makanan sehari-hari. Warga Bangladesh kemungkinan lebih menyukai beras putih.

Editor EVY RACHMAWATI

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB