Sekolah-sekolah yang selama ini mengenakan label ”internasional” mulai harus berganti status. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melarang penggunaan kata ”internasional” di dalam penamaan sekolah.
Larangan yang berlaku sejak 31 Desember 2014 itu bertujuan mencegah terjadinya diskriminasi dan komersialisasi di dunia pendidikan Indonesia. Sekolah-sekolah yang tidak lagi menggunakan nama ”internasional” diwajibkan berganti status menjadi satuan pendidikan kerja sama (SPK). Itu berarti, sekolah tersebut, selain memakai kurikulum nasional, juga mengadaptasi kurikulum dari luar negeri.
Menurut data Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemdikbud per 13 Februari 2015, 131 sekolah dasar dan 123 sekolah menengah mengurus izin SPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Jangan sampai kata ’internasional’ disalahgunakan untuk meminta uang sekolah lebih dari orangtua dan membuat masyarakat berpikir sekolah non-internasional tidak bagus,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Hamid Muhammad di Jakarta, akhir pekan lalu.
SPK tetap harus mengikuti proses akreditasi dan ujian nasional. Hamid mengatakan, jika menolak menjalani proses akreditasi, status SPK akan menjadi sekolah swasta biasa. Mereka tidak boleh mempekerjakan tenaga pengajar asing dan menerima murid asing. Selain itu, SPK tetap harus mengajarkan mata pelajaran kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan agama bagi murid-murid Indonesia.
Perketat aturan
Kemdikbud juga memperketat pembentukan SPK. Yayasan swasta yang ingin mendirikan SPK harus memiliki modal sekolah swasta berkurikulum nasional dan terakreditasi A. Akreditasi A merupakan bukti, sekolah memenuhi delapan standar sekolah sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Lembaga pendidikan dari luar negeri yang akan diajak bekerja sama juga harus berakreditasi A. ”Jangan sampai anak menjadi korban pendidikan yang tak baik hanya karena orangtua mereka menginginkan pendidikan berbau luar negeri,” kata Hamid.
Secara terpisah, pakar pendidikan Weilin Han menuturkan, pendidikan sepatutnya merupakan persiapan agar anak mampu meraih kehidupan seperti yang diidamkan.
”Lebih tepatnya ialah memberi pendidikan yang memberdayakan kemampuan anak secara optimal. Bukan pendidikan yang terkesan mewah, tetapi malah membuat anak tak bisa beradaptasi dengan lingkungan atau permasalahan,” kata Weilin. (DNE)
Sumber: Kompas, 16 Februari 2015
Posted from WordPress for Android