Aspek Biodiversitas Diabaikan

- Editor

Rabu, 10 Mei 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pertimbangkan Berbagai Aspek dalam Pengelolaan Kawasan Karst
Bentangan alam karst memiliki aspek biodiversitas yang sangat mendukung keberlanjutan kegiatan ekonomi jangka panjang. Namun, aspek tersebut sering diabaikan pemerintah dalam mengelola kawasan karst.

“Yang sering terjadi, aspek ekonomi dengan berbagai valuasinya lebih dinilai penting daripada aspek ekologis, terutama masalah biodiversitas dalam kawasan karst,” kata peneliti pada Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, Sonny Mumbunan, pada diskusi publik “Mengupas Ekosistem Karst: Esensi dan Ancamannya” di Jakarta, Selasa (9/5). Acara ini diselenggarakan Sekretariat Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

Mengutip Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) 1 untuk kebijakan menyelesaikan masalah kawasan karst Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, Sonny menyatakan, bentangan alam tersebut memiliki kekayaan biodiversitas berupa kelelawar. Binatang itu hidup di goa-goa di dalam bentangan alam karst yang tersebar di Kabupaten Rembang, Grobogan, Pati, dan Blora.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari populasi kelelawar, ada tiga jenis pemakan serangga hama tanaman pertanian, termasuk padi. Karena itu, kelelawar tersebut penting untuk mengendalikan hama padi. Daya jelajah kelelawar tersebut hingga 10 kilometer atau bisa sampai ke Tuban, Jawa Timur.

“Dengan demikian, keberadaan kelelawar ini vital untuk keberlanjutan pertanian masyarakat. Bagi saya, (dalam masalah karst) kita sedang bertarung dengan jasa ekosistem yang terbukti sangat menopang kegiatan ekonomi jangka panjang dan krusial, yaitu masalah ketahanan pangan,” katanya.

Ia mencontohkan, pertanian (sawah) menyumbang sekitar 30 persen untuk pendapatan asli daerah Rembang. Pemanfaatan kawasan karst untuk pertambangan mengancam ketahanan pangan Rembang.

Sonny mengatakan, selama ini isu biodiversitas absen dari wacana tentang pemanfaatan karst. Hal itu disebabkan karena aspek tersebut sulit dikuantifikasi/divaluasi. Akibatnya, isu tersebut kalah dengan kuantifikasi ekonomi industri, mulai dari pendapatan negara hingga penciptaan lapangan kerja.

Implikasi ekonomi
Ia berharap tim yang sedang menggarap KLHS 2 atas kawasan karst Pegunungan Kendeng perlu memperhatikan aspek biodiversitas. Dengan catatan, implikasi ekonominya ditonjolkan agar mudah dijadikan dasar untuk pengambilan kebijakan.

Dampak positif aspek biodiversitas dalam kawasan karst juga dirasakan masyarakat di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Ketua Kelompok Sadar Wisata Hutan Batu Rammang-Rammang di Maros, Moh Ikhwan, menyampaikan, dalam dua tahun terakhir masyarakat memanfaatkan kotoran kelelawar untuk pembuatan pupuk organik.

“Ini cukup membantu, terutama untuk menekan biaya produksi. Aspek manfaat kotoran kelelawar itu ditekankan sehingga kelelawar lestari. Dengan demikian, kawasan karst juga terjaga,” ujar Ikhwan.

Ikhwan turut mengembangkan wisata alam, yaitu goa dan panjat tebing, di kawasan karst Maros di tengah kepungan pertambangan. Paling tidak ada 60 izin usaha pertambangan di kawasan karst tersebut.

Dosen Manajemen Kebencanaan pada Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, meminta pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek dalam pengelolaan kawasan karst. Aspek itu mulai dari wisata, ekonomi, hingga sosial-budaya. Pengelolaan kawasan karst jangan bersifat sektoral (aspek cadangan pertambangan).

Anggota Jaringan Masyarakat Peduli Kendeng Bambang Sutykno dan Direktur Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nur Hidayati berharap pemerintah memperhitungkan secara komprehensif semua aspek ekologis terkait kawasan karst dalam KLHS 2 yang saat ini dilakukan. (VDL)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Mei 2017, di halaman 13 dengan judul “Aspek Biodiversitas Diabaikan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 13 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB