Sore itu, hutan hujan adat Desa Loran, Kecamatan Aru Tengah, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, masih menampakkan wajah purbanya. Pepohonan tumbuh menjulang dan merapat. Kulit batangnya dilapisi lumut dan berbagai jenis epifit. Sebagian lagi dibelit tanaman rambat, yang menjulur tinggi mencari cahaya. Cendawan tumbuh subur di batang yang melapuk karena usia.
Gelap datang lebih cepat. Semakin melangkah ke jantung hutan, suasana kian temaram. Jeritan burung bersahutan dengan raungan serangga. Sesekali terdengar kepak sayap seiring jatuhnya dedaunan dan buah-buahan.
Fransjat Ganobal (41), warga Desa Loran, berjalan tanpa alas kaki menyusuri hutan. Sebilah parang tergantung di pinggang, busur dan anak panah di genggaman tangan. Sesekali kepalanya mendongak, menelisik jenis burung yang ribut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Itu sejenis kakatua. Sayang sekarang tak musim kawin cenderawasih. Biasanya, sore begini kita lihat tarian mereka,” kata Fransjat. Selain bertani dan mencari kepiting, Fransjat sehari-hari berburu babi hutan. Hutan ini sumber hidupnya.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Fransjat Ganobal dari Desa Loran, Kecamatan Aru Tengah, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, tengah berburu ke hutan di Kepulauan Aru dengan senjata busur dan panah, Senin (4/12). Selain kaya ragam hayati, hutan juga menjadi penopang hidup masyarakat Aru yang memiliki budaya khas, yaitu paduan dari tradisi berburu dan meramu dengan bercocok tanam.
Adiknya, Mika Ganobal (39), mengikuti dari belakang. Lebih dari sekadar memberi satwa buruan, hutan juga menjaga ketersediaan air bagi warga. ”Tanah di Aru rata-rata pegunungan kapur. Jika hutan rusak, hancur lingkungan kami,” tutur Mika.
Ikatan masyarakat lokal dengan lingkungannya membuat hutan Aru selamat dari kehancuran. ”Ini pohon roka,” kata Mika, menunjuk pohon berwarna hitam legam menjulang. Di pasaran, pohon ini biasa disebut eboni, bahan baku mebel mewah. ”Kalau yang warna merah, pohon oray atau kayu besi (Eugenia rumphii). Itu semua pohon kelas satu.”
Hutan Aru juga dikenal kaya dengan pohon merbau (Intsia bijuga), kenari (Canarium amboinense), dan tanaman lain yang jenisnya sekitar 2.000 spesies. Tepi pantainya ditumbuhi hutan bakau lebat. Bagian selatan Kepulauan Aru memiliki vegetasi sabana yang jadi rumah bagi kanguru dan mamalia lain.
Mika bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Dinas Pariwisata Kabupaten Aru. Namun, sebagai tokoh adat Loran, Mika menolak rencana Pemerintah Kabupaten Aru membuka hutan kepulauan ini. Ia jadi Koordinator SaveAru.
Pada 2012, Pemkab Aru mengeluarkan izin prinsip dan rekomendasi pelepasan hutan 480.000 hektar atau 62 persen dari daratan kepulauan ini. Izin bagi 28 perusahaan itu akan merelokasi 90 dari 112 desa.
Setelah ditentang masyarakat adat yang ikut gerakan SaveAru, rencana ini dibatalkan pemerintah pusat pada 2014. Namun, upaya mengonversi hutan Aru terus dilakukan. ”Kini dicanangkan rencana pengembangan ternak sapi di Aru Selatan. Menteri Pertanian baru-baru ini datang dan berpidato, yang menolak program ini akan dipindahkan ke pulau lain,” kata Mika sambil menunjukkan rekaman video.
Mamado, tokoh adat Marfenfen, Kecamatan Aru Selatan, juga menolak proyek peternakan sapi yang dikhawatirkan merusak keseimbangan alam dan tradisi berburu di sabana. ”Bagi warga Aru, kesejahteraan tak bisa didapat dengan perusakan hutan dan pengambilan tanah adat. Orang Aru tak bisa dipisahkan dari hutan, budaya kami tumbuh bersama hutan,” ujarnya.
Pembukaan hutan di Aru tak hanya ancaman bagi masyarakat adat setempat, tapi juga bagi kekayaan hayati. Selain burung cenderawasih, hutan Aru juga jadi rumah bagi aneka satwa liar terancam punah, seperti burung kakatua jambul kuning, kakatua raja, kanguru, dan kasuari. Semua hewan ini memiliki kemiripan dengan Australia dan Papua.
Menyatu dengan Papua
Kemiripan fauna Aru dengan Papua awalnya diamati naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace. Pada 8 Januari 1857, Wallace tiba di Dobo, ibu kota Aru, setelah 30 jam berperahu dari Kepulauan Kei. Sejak itu, dia terpesona pada kekayaan hayati kepulauan ini.
”Dalam sehari itu saya mendapat 30 spesies kupu-kupu, melebihi yang saya dapat sehari di tepi Sungai Amazon,” sebut Wallace. Salah satu yang ditemukan ialah kupu-kupu bersayap burung (Ornithoptera poseidon). ”Sayapnya hitam beludru dan hijau mengkilap sepanjang 7 inci (17,7 sentimeter)…. Saya pernah melihat serangga sejenis di lemari koleksi, tapi rasanya beda saat menangkapnya sendiri.”
Untuk pertama kali, ia menjumpai burung cenderawasih raja (Paradisea regia) di habitatnya. ”Emosi sebagai naturalis bergejolak, yang lama menginginkan sesuatu (burung cenderawasih) yang dilihat lewat gambar bermutu rendah…,” sebut Wallace.
Pada 2 Juli 1857, Wallace meninggalkan Kepulauan Aru dengan 9.000 spesimen biologi, terutama kupu-kupu, serangga, dan burung. Ia menyadari kemiripan fauna di Aru dengan fauna di Papua. Dalam bukunya, The Malay Archipellago (1869), dengan tepat Wallace mengelompokkan sebaran satwa di Aru satu rumpun dengan Papua.
Pengelompokan ini jadi dasar bagi Garis Wallace dan inspirasi lahirnya teori biogeografi, yakni kaitan jenis fauna dengan posisi geografisnya. Ia juga menyadari kaitan variasi manusia dan lokasi geografis. ”… Apabila garis ditarik di antara pulau-pulau, Kepulauan Nusantara terbagi dua, yakni Asia dan Australia. Bagian pertama disebut Indo-Melayu dan bagian kedua disebut Austro-Melayu,” tulis Wallace.
Belakangan, para arkeolog dan geolog menyadari, persebaran ini dipengaruhi sejarah geologi. Hingga 45.000 tahun lalu, saat migrasi awal manusia modern (Homo sapiens) dari Afrika, Aru jadi bagian daratan Papua-Australia, dikenal sebagai Paparan Sahul. Posisi penting Aru pada migrasi purba diteliti arkeolog Australian National University, Sue O’Connor. Pada 2005, ia menemukan fosil manusia di lapisan usia 23.000 tahun lalu di Goa Lemdubu, Aru Tengah. Ini adalah fosil tertua di Maluku.
Sekitar 12.000 tahun lalu, suhu bumi memanas dan melelehkan es. Permukaan laut perlahan naik sampai 150 meter lebih tinggi, 8.000 tahun lalu. Area sekitar Kepulauan Aru sampai Selat Torres dan utara lepas pantai Australia yang dulu dataran rendah menjelma laut dangkal. Aru terpisah dari Papua dan Australia. Relung-relung sempit antarperbukitan berubah jadi selat yang di Aru disebut sungai.
Pemisahan di Paparan Sahul ini bersamaan terpecahnya Paparan Sunda jadi Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan beberapa pulau kecil lain.
Seperti perahu raksasa, perbukitan di Aru menyelamatkan flora dan fauna serta kemungkinan manusia migran awal dari tenggelam saat banjir besar. Sekitar 5.000 tahun lalu, rombongan penutur Austronesia yang mahir berperahu dan bercocok tanam mencapai Aru. Pembauran membuat warga Aru punya ciri fisik dan budaya paduan berburu-meramu serta bertani.
Dengan dinamika geologi di lintasan migrasi manusia ribuan tahun, hutan hujan Aru masih menampilkan wajah aslinya. Hutan ini jadi benteng terakhir aneka satwa langka, selain tempat manusia Aru mengembangkan budaya sehingga mesti dijaga….–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 31 Desember 2017