Minat anak-anak muda Indonesia dalam memilih program studi di perguruan tinggi hampir tak berkembang. Minat mereka masih banyak mengacu pada kejayaan profesi-profesi tertentu di masa silam, bukan pada tuntutan profesi pada masa kini, apalagi dikaitkan dengan sektor unggulan pembangunan.
Kondisi itu terlihat pada data pendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) ataupun Seleksi Bersama Masuk PTN (SBMPTN) 2014-2015. Di bidang sosial dan humaniora, program studi (prodi) seperti manajemen, akuntansi, psikologi, hukum, dan ilmu komunikasi, tetap paling banyak dipilih. Adapun pendidikan guru yang tadinya kurang diminati mulai dilirik karena gaji guru yang membaik. Di bidang sains dan teknik, prodi teknologi informasi mempunyai peminat tinggi, selain pendidikan dokter, farmasi, serta teknik sipil.
“Bidang akuntansi dulu memang jaya, tetapi sekarang, dengan otomatisasi, keterampilan yang diajarkan bisa menjadi usang,” kata Budi Prasetyo, pendiri Jurusanku.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan data di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada Maret lalu, bidang ilmu sains-teknik memiliki 10.135 prodi (43 persen), sementara bidang sosial-humaniora 13.611 prodi (57 persen). Selain itu, hampir 70 persen mahasiswa mendalami bidang sosial-humaniora, sementara sains-teknik yang lulusannya saat ini sangat dibutuhkan hanya dipilih oleh 30 persen mahasiswa. Lulusan bidang sains-teknik diperlukan mengingat fokus pembangunan pada kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan kelistrikan, kemaritiman dan kelautan, serta pariwisata dan industri.
Ina Liem, infopreneur seputar jurusan kuliah dan peta karier, mengatakan, pemilihan prodi di PT oleh lulusan SMA sederajat tidak bervariasi. Hal ini bisa terjadi karena minimnya informasi, terutama mengenai bidang yang berkembang serta peta karier seusai lulus.
Sosialisasi kepada siswa dan orangtua mengenai pilihan karier yang luas dan berkembang sangat dibutuhkan, apalagi kebutuhan sumber daya manusia untuk mendukung industri unggulan di bidang pangan, energi, dan logistik sudah di depan mata. Terkait pengembangan sektor maritim, misalnya, Indonesia sangat memerlukan lulusan pembuat desain kapal atau galangan kapal.
Ina juga menyayangkan bidang pertanian, perikanan, dan peternakan yang kurang diminati. Padahal, kebutuhan akan tenaga kerja lulusan bidang-bidang tersebut cukup tinggi.
Saat ini, menurut dia, kebutuhan ahli logistik dan rantai pasok juga meningkat. “Prodi yang secara khusus mendalami logistik dengan varian keahlian yang spesifik masih terbatas. Tidak banyak siswa SMA dan orangtua yang mengetahui kebutuhan tenaga kerja di bidang logistik serta prodi apa yang harus dipilih,” kata Ina.
Willy Susilo, Direktur Akademik Institut Teknologi Harapan Bangsa Bandung dan Presiden PT Soli Optimasi Logistik Indonesia, mengatakan, pembangunan infrastruktur yang gencar membuka peluang kebutuhan sumber daya manusia logistik yang besar. “Karena tenaga ahli logistik dan rantai suplai terbatas, untuk mendapatkannya, ya, dengan saling membajak atau menyewa tenaga asing,” ujarnya.
Menurut dia, kampusnya baru membuka program manajemen dan rantai pasok guna menjawab kebutuhan tenaga kerja dalam sistem logistik nasional yang belum berkembang. Karena bidang ini masih baru, panduan proses pendidikannya dari Kemristek dan Dikti ataupun kementerian lain belum memadai.
Persoalan terkait prodi semakin pelik karena ternyata sampai sekarang tidak ada data dari pemerintah mengenai kebutuhan sumber daya manusia untuk setiap bidang keilmuan. Akibatnya, tidak mengherankan, setelah arah pembangunan ditetapkan, justru terjadi kekurangan sumber daya manusia pendukung sektor unggulan dari dalam negeri. Kekosongan ini bisa dimanfaatkan oleh tenaga kerja dari negara tetangga.
Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI) Jamhari mengatakan, ketidaksesuaian antara apa yang dibutuhkan industri dan perguruan tinggi bisa terjadi karena belum ada sinergi di antara keduanya. Ketidaksesuaian itu juga terjadi karena tidak ada data acuan tenaga kerja yang diperlukan.
Kepala Subdirektorat Pendidikan Tinggi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Amich Alhumami mengatakan, ketidaksesuaian prodi yang disediakan PT ataupun minat generasi anak muda dengan perkembangan industri serta kebutuhan pembangunan merupakan persoalan sangat serius. Saat ini, lulusan di bidang sosial-humaniora berlebih, sementara di sisi lain terjadi kekurangan lulusan bidang sains- teknik yang mengkhawatirkan.
“Berdasarkan kualifikasi pendidikan sarjana hingga 2025, tingkat kesarjanaan Indonesia memang akan lebih tinggi ketimbang Jepang dan Korea Selatan. Namun, belum tergambar jelas peta disiplin ilmu yang dipilih. Jika nanti sosial-humaniora tetap dominan, sementara yang paling banyak dibutuhkan lulusan sains-teknik, pembangunan ekonomi yang bertumpu pada industri akan sulit dilakukan,” kata Amich.
Salah satu contoh nyata ketidaksesuaian antara prodi dan kondisi di Indonesia ialah minimnya prodi yang mendalami gunung api. Padahal, ilmu gunung api bisa menjadi peluang bagi kejayaan pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. “Justru ilmuwan asing yang begitu gencar merisetnya,” kata Amich.
Dengan terbentuknya Kemristek dan Dikti, sebenarnya penataan prodi dan PT harus mulai dilaksanakan serius agar tidak sekadar berdasarkan tren sesaat. Sejauh betul-betul berdasarkan kajian kebutuhan pembangunan ataupun perkembangan zaman, praktik membuka dan menutup prodi merupakan hal yang lumrah.
Dengan cara itu, penataan prodi yang lebih sesuai dengan kebutuhan bisa diwujudkan.–ESTER LINCE NAPITUPULU
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 April 2016, di halaman 12 dengan judul “Antara Minat dan Kebutuhan”.