Ingat lagu Sang Bango? Nyanyian manusia yang bertanya kepada sang bango alias bangau, ”Kenape ente delak-delok aje?”. Bango menjawab, karena ”sang kodok kagak mau nimbul”. Kodoknya ditanya, lalu satwa amfibi ini bilang, karena ”sang ujan kagak turun-turun juga”
Hujan ternyata juga bisa among. Dia menjawab balik ”karena sang kodok kagak manggil-manggil aye”. Kodak yang ditanya ulang, lantas berkilah, ”makanye aye kagak panggil-panggil ujan, sang bango mau makan aye!” Akhirnya pertanyaan ”kenape ente mau makan kodok” buat bango, dijawab enteng ”karena sang kodok makanan gue! ”
Lagu folklorik Betawi ini, begitu sederhana dan gamblang, membuktikan bahwa manusia juga memikirkan daur hidup binatang dan alamnya. Sayang, lagu anonim dan bernada ”main-main” ini tidak mempunyai lagu padanan yang menyainginya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Saya tak berbakat menjadi komposer, kalau bisa mungkin saya sudah mencipta lagu Sang Badak, Sang Monyet, Sang Banteng, atau sang binatang lainnya,” kata Prof Dr Ir Hadi S Alikodra MS (50), Kepala Laboratorium Ekologi Satwa Liar Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, beberapa waktu lalu di hutan Taman Nasional Ujungkulon.
Meski tak pandai mengarang lagu lucu satwa liar, Alikodra mungkin salah satu orang yang paling kompeten untuk ”menyanyikan” lirik ilmiah, soal mengapa begini dan begitunya nasib satwa liar, di segenap pelosok hutan Indonesia. Bukunya Pengelolaan Satwa liar (1990) dan Teknik Pengelolaan Satwa liar – Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia (1997) tak beda dengan mendengar lagu Sang Bango, namun berbobot akademis.
Di panggung disiplin konservasi satwa liar, Alikodra selalu tampil di barisan terdepan. Jauh sebelum ”banteng” merajalela di berbagai TPS waktu Pemilu ’99 lalu, Alikodra yang Korpri sudah melakukan studi perilaku banteng sebagai mahluk dicagarkan, bukan ”dipolitikkan” demi disertasi doktornya, Ekologi Banteng (Bos javanicus) di Taman Nasional Ujungkulon (1983).
NASIB Alikodra sendiri mungkin sudah dituliskan dari awal. Mengaku “anak Cirebon yang tidak tahu hutan”, ia tidak pernah menyangka kini berurusan dengan satwa liar seperti banteng, gajah, harimau, badak, bahkan burung jalak bali, dan tentunya bango. Juga tak terpikir dirinya menjadi salah satu peletak dasar ilmu konservasi sumberdaya hutan. Padahal tadinya cuma mau menjadi insinyur perkebunan.
”Yang terbayang cuma kerja di perkebunan dan bisa cepat bantu orangtua,” tutur ayah tiga anak, kelahiran Cirebon, 5 Februari 1949. Ternyata di IPB tak ada jurusan perkebunan. Masuklah Alikodra ke kehutanan. ”Saya kira, kehutanan juga ngurusi perkebunan.”
Untunglah ia tak merasa salah pilih. Hutan punya banyak tantangan mulai dari aneka pohon, satwa, dan sumber air yang akan menyejahterakan manusia bila pemanfaatannya bijak.
Tetapi setelah lulus sarjana kehutanan tahun 1974, Alikodra bingung lagi. ”Tak punya jalur mau kerja di mana. Akhirnya nggak ke mana-mana. Jadilah dosen di IPB,” kenangnya.
Dasar nasib. Tahu-tahu ia diminta untuk mengajar pengelolaan satwa liar, ilmu yang tidak diminati mahasiswa dan pengajar saat itu. ”Saya mau. Tetapi merasa tak punya bekal apa-apa. Jadi saya selama dua tahun pertama ambil berbagai kursus, membina banyak hubungan ke luar, dan belajar organisasi.”
Waktu dua tahun membuka wawasannya. Konservasi ternyata dasar dalam pengelolaan alam dengan satwa liar sebagai salah satu kuncinya. Pengelolaan ekosistem dan prinsip ekologi sebagai konsep dasarnya karena melibatkan hutan, tanah, air, manusia, dan satwa liar itu sendiri sebagai kesatuan yang tak terpisahkan.
Kenyataannya di Fahutan IPB, hutan hanya dilihat sebagai sumber penghasil kayu semata. Muncullah ide untuk membuka jurusan baru: konservasi sumberdaya hasil hutan. Apalagi tahun 1978, ia baru lulus S2 program studi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Usulnya diterima. Ia sendiri, sempat menjadi Ketua Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, 1982-1985. ”Nggak ada saingan, saya jadi pintar di situ ha-h-aha,” tuturnya.
TESIS S2-nya, Pengelolaan Suaka Margasatwa Bali Barat, merupakan hasilnya keluar-masuk selama dua tahun di sana. Di situ pula, Alikodra berkenalan dengan jalak bali (Leucopsar rothschildi) yang waktu itu populasinya tinggal 75 ekor. Dugaan pertama, populasi berkurang karena perburuan. Dan memang betul begitu. Burung itu diperangkap dengan pulut. Padahal harganya di Banyuwangi cuma Rp 5.000 per ekor. Si penangkap cuma dibayar Rp 300 per ekor.
”Saya hitung ada 30 pencari burung itu. Saya minta mereka ikut saya saja, dibayar Rp 300 per hari dari uang saku saya, untuk jadi penjaga kawasan,” kata Alikodra. ”Mereka juga diberi Iahan berkebun di kawasan penyangga cagar alam itu, dan akhirnya tidak masuk hutan lagi.”
Tetapi jalak bali tetap turun populasinya. Lho, sudah tidak diburu kok masih berkurang? Ternyata banyak orang yang mengambili pohon pilang, tempat bersarang jalak bali. Di sisi lain, burung pelatuk yang suka membuat lubang di pohon pilang, juga banyak diburu.Padahal di lubang bekas buatan burung pelatuk, jalak bali meletakkan telurnya.
Alikodra pun berintervensi. Menanam kembali pohon pilang. Kalau perlu, membuatkan lubang sarang. ”Tiga tahun kemudian, populasi jalak bali tumbuh jadi 150 ekor,” ujar Alikodra.
Sayang, intervensi berdasar studi peIilaku dan pola hubungan antarsatwa tak banyak yang meneruskan. Bahkan ketika populasi jalak bali turun lagi, pemerintah justru mengimpor jalak bali, alias Bali Mynah kelahiran KB San Diego AS. ”Ya mati, karena nggak akrab dengan lingkungan setempat.”
SOAL banteng (Bos javanicus) pun, tidak jauh beda. Banyak yang tidak menyadari, betapa pentingnya padang penggembalaan (grazing ground) bagi kawanan banteng. Padang penggembalaan menjadi tempat banteng, juga berbagai spesies lain, untuk saling bersosialisasi.
Setiap binatang datang ke situ untuk membesarkan dan mengajar anaknya. Ada banteng, merak, babi hutan, rusa, kancil. ”Semacam kafe-lah, tempat gaul,” kata suami Ir Emi Karminarsih MS.
Namun di Taman Nasional (TN) Ujungkulon, beberapa grazing groundnya habis didominasi pohon langkap. Tak ada yang peduli, tak ada anggaran, karena dianggap alam bisa tumbuh sendiri. Akibatnya tempat ”ngerumpi” hilang. Banteng pun stres, lari masuk hutan.
”Di hutan ketemu badak yang juga senewen, karena biasanya nggak ketemu banteng. Akibatnya, kemampuan reproduksi jadi kurang, populasinya turun,” ujar Alikodra.
Demi banteng pula, Hadi Alikodra rela keliling hutan Ujungkulon, Sancang, Pangandaran, TN Baluran, dan TN Meru Betiri. Dia sanggup berlama-lama di atas pohon, mengintip perilaku kawanan banteng. Di situlah ia tahu, banteng tak cuma makan dan minum di padang penggembalaan. ”Tenyata yang penting buat banteng itu, ngerumpinya’ ’(agnes aristiarini/rudy badil)
Sumber: Kompas, Senin, 14 Juli 1999