Informasi dari Satelit Belum Memadai, “Buoy” di Laut Dijamin Aman
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengawali program jangka panjang perbaikan prediksi cuaca dan iklim untuk wilayah Indonesia. Langkah itu melalui kerja sama pelayaran untuk pemasangan empat buoy iklim di Samudra Hindia, yang data-datanya akan melengkapi informasi prakiraan dari satelit.
BMKG menamakan pelayaran itu Indonesia Program Initiative on Maritime Observation and Analysis (Indonesia Prima), kerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA). “Ini langkah sangat awal, tetapi juga sangat fundamental dan penting,” kata Kepala BMKG Andi Eka Sakya, Jumat (22/5), dalam paparan “Understanding the Present, Predicting the Future: US-Indonesia Maritime Climate Observation Collaboration”, di Jakarta.
Indonesia belum pernah menganalisis data langsung dari Bumi, terutama interaksi laut, untuk membuat prakiraan cuaca dan iklim. Selama ini, analisis bergantung pada pemodelan dari informasi satelit, yang terlalu global dan kurang akurat bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemodelan prediksi antara lain dibuat Eropa, AS, dan Australia yang mayoritas terdiri atas wilayah daratan dan menggambarkan fenomena di wilayah lintang tinggi. Prakiraan cuaca dan iklim pun kurang memadai bagi wilayah yang sangat dipengaruhi dinamika lautan, seperti Indonesia. “Luas wilayah kita setara 22 negara Eropa. Bedanya, semua negara Eropa berupa daratan, sedangkan 60 persen area Indonesia lautan,” ujar Andi.
Salah satu contoh kurang akuratnya prakiraan di Indonesia terlihat dari ketinggian gelombang laut. Penghitungan tim yang ikut berlayar dalam Indonesia Prima menunjukkan, rata-rata ada selisih 0,5 meter antara prakiraan tim berdasarkan kondisi nyata dan prakiraan dari satelit. Padahal, perbedaan tinggi gelombang hingga 0,5 meter sangat memengaruhi nelayan dengan kapal kecil.
Namun, Andi mengingatkan, perbaikan akurasi prakiraan cuaca dan iklim Indonesia masih langkah yang sangat jauh. Sebab, buoy iklim yang sudah terpasang baru mencakup wilayah lautan barat Indonesia, sedangkan buoy juga dibutuhkan untuk menjangkau wilayah laut hingga timur.
“Buoy” Rama
Pelayaran Indonesia Prima menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya I BPPT, 16 April-15 Mei 215. Rute pelayaran Jakarta-Samudra Hindia-Padang-Samudra Hindia-Padang dengan total panjang lintasan 3527 mil laut (6.532 kilometer). Tim 31 orang dari BMKG, BPPT, NOAA, dan Dinas Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut, serta 20 kru kapal.
Untuk semua itu, BMKG menyediakan Rp 5 miliar, BPPT menyediakan kapal riset, dan NOAA menyediakan semua alat, termasuk buoy iklim. BMKG berencana menyelenggarakan Indonesia Prima setiap tahun.
Buoy iklim itu bernama Rama (Research Moored Array for African-Asian-Australian Monsoon Analysis and Prediction). NOAA memfokuskan rancangan Rama untuk mengamati interaksi di Samudra Hindia antara lain monsun, Indian Ocean Dipole (nama lain El Nino atau La Nina di Samudra Hindia), dan variabilitas antarmusim.
Kepala Tim Indonesia Prima Leg 2 Endro Soeyatno mengatakan, sejumlah alat terpasang pada Rama. Alat itu antara lain untuk pengamatan meteorologi maritim di permukaan, seperti mengukur angin, kelembaban udara, dan radiasi matahari. Di dalam laut ada sensor suhu dan salinitas laut dengan jeda pemasangan setiap 10 meter, yang mencapai kedalaman hampir 700 meter di bawah permukaan laut.
Menurut Endro, NOAA sudah menyesuaikan rancangan buoy Rama dengan kondisi Samudra Hindia sehingga relatif aman, misalnya dari terjangan gelombang dan arus laut. Ancaman terbesar berasal dari manusia, contohnya jika ada nelayan menambatkan perahu pada buoy Rama sehingga merusak alat.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O Blake menyatakan, kerja sama NOAA tersebut sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo memprioritaskan kemaritiman. (JOG)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Mei 2015, di halaman 14 dengan judul “Akurasi Prediksi Iklim Dirintis Bersama”.