Terence H Hull: Hati-hati Membaca Angka

- Editor

Rabu, 18 Agustus 2004

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SEANDAINYA ia memilih Fiji sebagai wilayah penelitiannya pada tahun 1972, barangkali banyak peneliti di Indonesia tidak menemukan mitra sejati dalam berbagai penelitian sosial di Indonesia. Bagi indonesianis Terence H Hull (57), keputusan melakukan penelitian di Maguwoharjo, Yogyakarta, pada tahun 1972 adalah awal dari perjalanannya mencintai Indonesia.

Waktu itu Fiji baru merdeka. Situasi politiknya tidak memungkinkan kami meneliti di sana,” katanya mengenang.

Saat itulah, supervisornya, Dr Masri Singarimbun (almarhum), meminta Terry-panggilan akrabnya-mempertimbangkan Indonesia. “Saya memang sudah belajar bahasa Indonesia di East West Center, Hawaii.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bersama istrinya, Valerie, mereka tinggal selama14 bulan di desa untuk meneliti nilai anak serta peran dan status perempuan. “Dua hal itu berkaitan dengan program Keluarga Berencana (KB) yang baru diimplementasikan di Indonesia,” ujar Terry. Terjadinya perubahan sosial dengan terbukanya kemungkinan memperbaiki kualitas hidup terungkap dalam hasil penelitian yang memperlihatkan penduduk siap menerima program KB.

Sebagai peneliti sosial, Terry tidak memandang persoalan secara hitam-putih. Pengetahuannya yang terasah oleh pengalaman penelitiannya di lapangan selama 35 tahun membuat dia sangat berhati- hati mengambil kesimpulan. Misalnya, ia tahu terjadi penyimpangan dalam implementasi program KB di beberapa daerah di Indonesia, tetapi menolak pandangan yang menggeneralisasi bahwa rezim Orde Baru bersikap sangat koersif dalam program KB.

“BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) tidak menggunakan militer dalam mengimplementasikan programnya. Tetapi, pada saat itu militer ada di mana-mana dan ada program ABRI masuk desa. BKKBN tak bisa menolak bantuan yang ditawarkan,” jelas Terry.

Terry yang pada waktu bersamaan melakukan penelitian di China melihat perbedaan yang jelas dalam implementasi program KB di dua negara itu. “Di China, koersi (pemaksaan) merupakan bagian dari program,” kata Terry dengan tegas. “Di Indonesia, program sangat bertanggung jawab mengatasi masalah koersi.”

Terry juga menepis asumsi-asumsi yang telanjur dianggap sebagai kebenaran. Dalam penelitian mengenai mutu pelayanan, Terry menemukan kendala di lapangan menyebabkan program tak berjalan seperti yang direncanakan. Kendala itu menyangkut antara lain kualitas sumber daya yang memberikan pelayanan KB, seperti dokter dan paramedis, yang kurang profesional.

“Dalam perencanaan nasional, kadang tidak mengantisipasi masalah selanjutnya (damage control). Kalau muncul masalah, lalu ada imbauan agar tidak dibesar-besarkan. Juga ada kecenderungan provokasi untuk menjaga nama baik,” katanya menambahkan. Terry menolak anggapan bahwa kecenderungan itu khas Orde Baru karena hal yang sama juga terjadi di negara lain.

PROF Terence H Hull dilahirkan di Michigan, Amerika Serikat, pada 10 Maret 1947. “Tapi cuma tiga bulan di sana karena pekerjaan ayah saya berpindah-pindah,” katanya.

Terry yang lebih suka disebut sebagai ilmuwan sosial menyelesaikan BA dan MA-nya di bidang ekonomi di Hawaii, dan PhD-nya di bidang Demografi dari The Australian National University (ANU) Canberra. Sekarang ia mengajar pada Jurusan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Program Demografi dan Sosiologi di universitas yang sama.

Batas disiplin ilmu baginya tidak penting. “Yang penting metode penelitian yang benar agar mendapatkan hasil yang berguna dalam analisis sosial,” katanya. Metode antropologi yang banyak ia gunakan dalam berbagai penelitiannya, diakuinya banyak dipengaruhi oleh gurunya, Masri Singarimbun, juga Valerie yang memang seorang antropolog.

Penelitiannya mengenai berbagai masalah sosial demografi dan gender, termasuk kesehatan reproduksi, seksualitas, HIV/AIDS, bersama para peneliti di Indonesia dipublikasikan dalam berbagai buku dan jurnal. Salah satunya, Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya, bersama Gavin Jones dan Endang Sulistyaningsih (1997). Ia membongkar berbagai mistifikasi dalam seks, seperti tulisannya dalam Inside Indonesia, “Penis Enhancements” (2002).

Indonesia mendapat tempat khusus di hatinya. “Saya menyukai teman-teman di sini, saya suka melakukan perjalanan di negeri dengan kebudayaan yang kaya ini. Saya menyukai pengalaman-pengalaman saya,” ujarnya, dalam bahasa Indonesia yang fasih. Indonesia adalah “bibi yang hangat dan terkasih” bagi dirinya.

Terry dan keluarganya bermukim di Yogyakarta tahun 1975-1979 karena diperbantukan oleh ANU di Universitas Gadjah Mada. Mereka kembali tahun 1993 dan bermukim di Jakarta karena Terry diperbantukan di Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia sampai tahun 1996.

Sampai saat ini sedikitnya empat kali setahun ia mengunjungi Indonesia. Ia juga melakukan penelitian di negara-negara lain sehingga mampu membuat perbandingan yang obyektif dalam berbagai isu sosial kependudukan.

Salah satu hal serius di Indonesia yang mempunyai dampak signifikan terhadap penelitian, menurut Terry, adalah desentralisasi. Saat ini dirasakannya semakin tidak mudah mendapatkan data tertentu di instansi tertentu karena pelaporan data tidak jelas menjadi tanggung jawab siapa. Padahal, data sangat penting untuk pengambilan keputusan dan program.

Angka statistik BPS tak boleh dianggap sebagai kebenaran mutlak. “Demografer di Indonesia bertanggung jawab memberi interpretasi tertentu sampai sebatas tertentu mengenai suatu data. Interpretasinya harus dilandasi kejernihan pikiran, tidak terpaku pada kebenaran angka data.”

Bagi Terry, angka harus ditanggapi hati-hati. Ia mengingatkan agar tidak terpaku pada target-target angka, tetapi memberi prioritas bagi pembangunan sosial. Di bidang kesehatan untuk mencapai sasaran Tujuan Pembangunan Millenium, misalnya, katanya, “Urus saja klinik-klinik kesehatan masyarakat dengan baik.”

Ayah dari Jonathan Hull yang menyikapi pekerjaan meneliti sebagai hobi itu mengingatkan, yang harus diperjuangkan adalah masalah proses, bukan angka. (maria hartiningsih )

Sumber: Kompas, Rabu, 18 Agustus 2004

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB