Ari Hidayat dulu gemar berburu satwa. Perjalanan waktu mengubahnya menjadi pelindung satwa yang keras kepala.
Hidup di pinggir hutan dan akrab dengan aktivitas perburuan membuat Ari Hidayat (29) pernah terjerumus pada perdagangan satwa dilindungi. Perjumpaannya dengan sejumlah aktivis lingkungan mengubah Ari dari pemburu menjadi pelindung satwa.
Embun masih menggelayut di rumput dan dedaunan. Deru air terjun dari Curug Ceheng di lereng Gunung Slamet, Kabupaten Banyumas, terdengar sayup-sayup diselingi cuitan burung yang bertengger dan kemudian terbang di antara ranting pepohonan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berkalungkan teropong, sambil mengamati sekeliling, Ari mendampingi mahasiswa dan dosen Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang sedang melakukan pengamatan dan penelitian burung liar. ”Itu burung sepah. Nama latinnya Pericrocotus sp,” kata Ari sambil menunjuk burung mungil berwarna hijau, Sabtu (18/7/2020).
Selain berbekal teropong pengamatan, Ari bersama tim penelitian juga membawa alat perekam suara serta kamera prosumer. Mereka melakukan pengamatan selama sebulan di akhir pekan Sabtu dan Minggu, mulai pagi hari hingga sore hari. Setelah beberapa saat mengamati aktivitas dan kehadiran burung di pelataran parkir Curug Ceheng, tim berpindah tempat berjalan menyusuri saluran irigasi kecil. Saat berjalan, tiba-tiba berkelepak suara sayap di atas pohon.
”Itu elang hitam, wah ada dua!” seru Ari disambut riang anggota tim yang sigap mengarahkan kamera merekam gagahnya predator puncak itu.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO—Ari Hidayat mengamati burung di Curug Ceheng, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (18/7/2020).
Ari begitu akrab dengan berbagai jenis burung. Maklum, sejak 2012 dia sudah sering keluar-masuk hutan di sekitar tempat tinggalnya di Desa Kalisari, Cilongok, Banyumas. Bertetangga dengan seorang pemburu burung, Ari kerap ikut menemaninya dan belajar mengenali satwa yang memiliki nilai jual di pasaran. Burung pleci hijau (Zoterops flavus) atau dikenal dengan burung kacamata yang harganya Rp 3.000 per ekor hingga burung wedusan atau kacer yang harganya Rp 200.000 hingga Rp 750.000 per ekor jadi buruannya.
Selain burung, Ari juga pernah memburu luwak dan kukang. Media sosial jadi lapak jualannya. ”Saat itu, saya tidak tahu jenis-jenis binatang yang dilindungi,” katanya.
Setahun berjalan, Ari mendapatkan pesan di akun media sosialnya bahwa apa yang dilakukannya melawan hukum dan mengancam keanekaragaman hayati lingkungan. ”Saya dapat pesan waktu itu, mau ditangkap jika terus memburu. Rasanya tidak tenang seperti masuk dalam daftar pencarian orang,” tuturnya.
Ari memutuskan tidak lagi memburu satwa yang dilindungi, tetapi ia masih menjual beberapa jenis burung hingga 2014 untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Saat itu, ia aktif dalam komunitas pencinta burung dan satwa. Dari sana, ia kerap terlibat dalam acara konservasi seperti bersih sungai serta penanaman pohon. Di sinilah Ari berjumpa dengan aktivis lingkungan dari Biodiversity Society. ”Saya penasaran dengan kegiatan mereka. Kegiatannya aneh. Kok burung diamati, dicatat, dan didata,” ujarnya.
Ari begitu terkesan dengan Hariyawan Agung Wahyudi seniornya di Biodiversity Society dan juga kontributor di media lingkungan Mongabay. Lewat sejumlah acara konservasi, Ari dipercaya untuk menjelaskan jenis-jenis burung dan manfaatnya bagi lingkungan. Ari pun dipinjami beberapa kamera untuk belajar fotografi dan memotret.
”Saya dipinjami kamera dua kali sampai rusak. Kemudian saat acara pameran foto, saya diminta menjelaskan aneka burung kepada pengunjung. Dari sana, kesadaran saya muncul, masak saya cuma menjelaskan dan tidak ikut melindungi,” kata Ari yang bergabung dengan Biodiversity Society sejak akhir 2015.
Kesukaanya dengan burung dan satwa mendorongnya untuk belajar lebih banyak lewat buku. Ari yang saat itu mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP, gemar membawa pulang buku-buku tentang satwa dan menghafalkan nama latinnya. Pengalamannya keluar-masuk hutan dan pengetahuannya dari membaca ia gunakan saat terlibat aktivitas pengamatan satwa liar.
Ia pun beberapa kali melakukan pengamatan burung di pesisir Cilacap, Telaga Warna di Dataran Tinggi Dieng, serta sejumlah taman nasional seperti di Ujung Kulon. Pengamatan lain yang pernah dilakukan Ari, antara lain, pada 2016 di perbukitan Sirau, Purbalingga. Di sana ia berhasil memantau owa jawa/javan gibon (Hylobates moloch) 3 kelompok dengan setiap kelompok sekitar 5-6 ekor; julang emas/wreathed hornbill (Aceros undulatus) terpantau 10 ekor; elang jawa/javan hawk eagle (Nisaetus bartelsi) terpantau 2 ekor; elang hitam/black eagle (Ictinaetus Malayensis) 1 ekor, elang ular bido/crested serpent eagle (Spilornis cheela) terpantau 6 ekor, dan beberapa burung dan mamalia kecil seperti bajing.
Selanjutnya, di lereng Gunung Slamet, dari pengamatan Ari, terdapat burung tangkar ongklet/crested jay (Platylophus galericulatus), owa jawa/javan gibon (Hylobates moloch), julang emas/wreathed hornbill (Aceros undulatus), elang jawa, elang hitam, elang ular bido. ”Ada juga burung luntur jawa atau Javan Trogon (Apalharpactes reinwardtii) ini awalnya dicatat hanya ada di Jawa Barat,” katanya.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO—Sosok Ari Hidayat di Curug Ceheng, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (18/7/2020).
Selain itu, pada 2017 Ari mendapati burung trinil pantai yang biasa hidup di pesisir, tetapi tampak di Telaga Warna di Dataran Tinggi Dieng. Temuan itu dituangkan dalam jurnal internasional Stilt 71 (2017):45-46, The Journal for the East Asian-Australasian Flyway dengan judul: ”Records of Common Sandpiper Actitis Hypoleucos at High Elevation Wetlands on Java, Indonesia.”
”Umumnya trinil pantai hidup di dataran rendah di rawa atau pantai. Kemungkinan dia singgah saat migrasi karena trinil pantai bukan burung asli Indonesia, melainkan spesies dari belahan bumi utara,” papar Ari.
Kampanye
Bagi Ari, tantangan dalam konservasi lingkungan adalah berhadapan dengan para pemburu. Ari mengakui, seperti halnya dulu terjadi pada dirinya, pemburu mencari burung atau satwa di alam karena terdesak kebutuhan ekonomi, sedangkan keterampilan lain tidak dimiliki. Pendekatan secara kekeluargaan dilakukan Ari.
Ari biasanya menjelaskan pentingnya perlindungan satwa untuk menjaga rantai makanan. Jika tidak dijaga, rantai makanan akan putus dan mengancam manusia. ”Misalnya jika burung hantu atau elang diburu, tikus akan merajalela dan merusak padi petani,” papar Ari.
Sebagian pemburu mulai menerima penjelasan itu. Kini sebelum mengambil burung atau satwa liar lainnya mereka bertanya dulu apakah satwa itu dilindungi atau tidak. ”Saya memang belum bisa melarangnya secara total. Jika ada dua telur burung di sarang, misalnya, mereka akan ambil satu untuk ditetaskan di rumah, dan membiarkan satunya tetap di sarang,” katanya.
Berkat keterlibatannya dalam konservasi satwa liar, Ari mendapat penghargaan sebagai Kader Konservasi Alam Tingkat Provinsi Jawa Tengah pada 2018 dan Kalpataru Peringkat II Kategori Perintis Lingkungan Hidup di Provinsi Jawa Tengah pada 2019. Ari juga dipuji oleh pengajar Sistematika Hewan di Fakultas Biologi Universitas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Aswi Andriasari Rofiqoh sebagai sosok yang inspiratif.
”Saya terinspirasi dengannya. Dia awalnya seorang pemburu dan artinya musuh kegiatan konservasi. Lalu dapat ilham untuk bisa menjadi pemerhati konservasi,” kata Aswi.
Ari Hidayat
Lahir: Banyumas, 30 Juni 1991
Istri: Iin Hidayati (24)
Anak: M Fariz Hidayat 17 bulan
Pendidikan:
MI Maarif I Kalisari (2003)
MTs Maarif II Cilongok (2006)
SMA Paket C (2007-2008 dan 2018-2019)
Penghargaan:
Peringkat I Kader Konservasi Alam Tingkat Provinsi Jawa Tengah pada 2018
Penerima Penghargaan Kalpataru Peringkat II Kategori Perintis Lingkungan Hidup di Provinsi Jawa Tengah pada 2019.
Oleh WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Editor BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 28 Juli 2020