Manusia sibuk mencari kenikmatan: mengurung dan menyuruh burung berkicau. Padahal, burung jugalah yang menyemai pepohonan, membantu pertumbuhan hutan.
Negara yang memiliki lambang mirip dengan Indonesia yang paling menonjol adalah Amerika Serikat. Negara yang dibentuk oleh para imigran Eropa tersebut menggunakan elang botak (Haliaeetus leucocephalus).
Secara serius Amerika Serikat pada tahun 1940 menerbitkan Bald Eagle Protection Act (Undang Undang Perlindungan Elang Botak). Tahun 1963, burung berbobot maksimal lebih dari 6 kilogram dan bentangan sayap maksimal 2,6 meter ini tinggal 417 pasang antara lain karena penggunaan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
ANTARA/MOHAMAD HAMZAH–Burung Rangkong bertengger mencari makan di Kawasan Pegunungan Kebun Kopi, Sulawesi Tengah, Jum’at (30/12/3017). Burung Rangkong atau lebih dikenal dengan sebutan ” Burung Alo ” oleh masyarakat Sulawesi Tengah itu merupakan salah satu satwa endemik Sulawesi dan dilindungi oleh pemerintah. Namun kini, burung tersebut sudah sangat sulit ditemui dihabitat aslinya dan bahkan terancam punah karena maraknya perburuan dan perambahan hutan.Antara/Mohamad Hamzah30-12-2016
Baru tahun 1993 terbit Keputusan Presiden no. 4 tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional yang memasukkan Elang jawa (Nisaetus bartelsi) sebagai satwa nasional. Elang endemik jawa itu terancam punah dan kini tinggal 300-500 ekor di habitat alami, sedangkan konservasi eks-situ (di luar habitat alami) belum berkembang.
Jika ditarik lebih luas ke persoalan perlindungan burung dan satwa, Amerika Serikat adalah negara pertama yang “melek perlindungan satwa”. Sejarah perlindungan satwa di negeri Paman Sam itu berusia lebih dari 200 tahun. Mereka mendapat perlindungan pertamanya di bawah peraturan Lacey Act yang keluar pada 1900 di tingkat federal. Lacey Art adalah regulasi yang pertama kali melarang perdagangan satwa hasil buruan. Perburuan di masa itu adalah permainan yang mempertandingkan keunggulan dengan menilai hasil buruan.
Tahun 1913 terbit peraturan Weeks-McLean Migratory Bird Act – pertama kali memasukkan burung yang bermigrasi sebagai satwa dilindungi dari perdagangan, dilarang jadi sasaran perburuan, Mereka ada di bawah “hak asuh dan perlindungan” pemerintah federal.
Di tahun 1800-an tanpa proteksi, bebeberapa spesies burung punah. Mode busana di kalangan menengah atas, ditandai dengan hiasan bulu: pada topi, dan sebagai pemanis pakaian. Tahun 1916 ada kesepakatan dengan Inggris yang mengatur musim berburu.
Pada tahun 1918, lahirlah Migratory Bird Treaty Act yang ditandatangani AS dan Kanada. Aturan tentang burung bermigrasi itu mengkriminalkan: perburuan, pengejaran, pengambilan, penangkapan, pembunuhan, atau menjual burung atau bagian-bagiannya, termasuk sarang, telur, dan bulu. Perjanjian itu lantas meluas ke negara-negara lain seperti Meksiko, Jepang, dan Uni Soviet.
Peraturan terus berubah seiring waktu. Perusahaan pengeboran minyak dan gas yang lahir kemudian, dikenai peraturan: dilarang mengganggu burung. Namun dalam pemerintahan Donald Trump peraturan berubah total: perusahaan minyak dan gas serta industri lain diberi impunitas untuk membunuh burung.
Di luar perannya secara politis, burung adalah satwa istimewa. Keindahan fisiknya dan kicaunya ada berjuta jenis. Sementara di tengah ancaman perubahan iklim, hanya burung yang bisa ditemui di manapun di seluruh sudut-sudut bumi. Di tempat terdingin, contoh penguin, hingga di gurun kering, panas berbatu misalnya jenis elang di Amerika.
Burung merupakan satwa yang mampu bertahan di segala jenis cuaca dan lanskap. Burung mampu terbang bermigrasi ribuan kilometer demi makanan dan bereproduksi. Burung juga bakal bertahan dalam beragam zaman.
Sayangnya, manusia sibuk mencari kenikmatan: mengurung dan menyuruh burung berkicau. Menikmati bulu atau dagingnya. Diperintah terbang berkilometer demi sebuah sebuah piala. Padahal, burung jugalah yang menyemai pepohonan, membantu pertumbuhan hutan. Cerita burung adalah cerita ironi.
Oleh BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 4 September 2019