Meski ada risiko jika dilakukan berlebihan, berjemur memiliki banyak manfaat kesehatan. Karena itu, berjemur perlu dilakukan dengan waktu dan intensitas yang tepat, serta disesuaikan kondisi badan individuh.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO—Warga berolah raga dan berjemur saat matahari bersinar terik di Nusa Loka, Serpong, Tangerang Selatan, Minggu (29/3/2020). Mewabahnya Covid-19 yang penularannya sangat cepat membuat warga semakin sadar untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh, salah satunya dengan berjemur.
Sejak Covid-19 menyebar dan pembatasan sosial diberlakukan, masyarakat dari berbagai kelompok umur menjadi rajin berjemur. Sebelumnya, aktivitas ini biasanya dilakukan bayi dan warga lanjut usia atau senior. Sebagian besar warga enggan berjemur karena panas, takut kulit hitam, atau sibuk beraktivitas sejak sebelum Matahari terbit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun sejak muncul perdebatan ahli tentang waktu berjemur yang tepat, nyali masyarakat ciut. Meski tahu berjemur bermanfaat untuk mendapat asupan vitamin D yang penting bagi kesehatan tulang dan imunitas tubuh, namun ancaman risiko kanker yang menyertainya membuat banyak orang mundur.
“Sesuai teori loss aversion dari Daniel Kahneman manusia cenderung mengambil peluang yang membuatnya tidak kehilangan sesuatu dibanding mengambil peluang yang membuatnya mendapat sesuatu,” kata Kepala Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof dr Hamka, Jakarta, Rizki Edmi Edison, Selasa (7/4/2020).
Waktu berjemur
Studi Siti Setiati dari Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan rekan dalam Asian Journal of Gerontology & Geriatrics, Desember 2007 menunjukkan seseorang hanya perlu berjemur 7,5 menit jika dilakukan pukul 11.00-13.00 atau selama 25 menit jika berjemur pukul 9.00-10.00.
Dengan waktu dan lama berjemur tersebut, berjemur cukup dilakukan tiga kali seminggu untuk memenuhi kebutuhan vitamin D dalam tubuh, bukan setiap hari.
Penelitian itu dilakukan terhadap 74 perempuan lanjut usia atau lansia di Jakarta dan Bekasi pada tahun 2005. Mereka memajankan wajah, lengan dan telapak tangannya pada sinar Matahari langsung, tanpa memakai tabir surya.
Waktu berjemur itu dikaitkan dengan intensitas sinar ultraviolet (UV) B yang diperlukan untuk pembentukan vitamin D. Saat tengah hari, antara pukul 11.00-13.00, intensitas UV mencapai yang tertinggi, sekitar dua dosis eritema minimal (MED). MED adalah jumlah radiasi UV yang akan menghasilkan eritema, yaitu bercak kemerahan atau tanda kulit terbakar.
Namun karena berjemur tengah hari membuat tidak nyaman, masyarakat bisa melakukannya sekitar pukul 09.00-10.00 saat intensitas UV B mencapai 0,6-0,8 MED. Karena intensitas UV B-nya lebih rendah, maka butuh waktu berjemur lebih lama.
AP PHOTO/HUSSEIN MALLA—Warga Amerika yang tinggal di Beirut, Libanon berolahraga dengan pemandangan Laut Mediterania yang kososng karena tidak ada orang yang berjemur, Minggu (19/4/2020).
“Berjemur jangan berlebihan hingga menyebabkan sunburn (kulit merah dan perih tanda terbakar) yang justru dapat meningkatkan risiko kanker kulit,” kata Siti, Minggu (19/4/2020).
UV B
Sinar UV yang diperlukan untuk kesehatan hanya UV B dengan panjang gelombang 280-315 nanometer. Sekitar 95 persen UV B yang masuk atmosfer Bumi diserap ozon. Karena itu, hanya sebagian kecil UV B yang sampai ke permukaan Bumi.
Sinar UV yang paling banyak sampai ke permukaan Bumi yakni UV A yang lebih panjang gelombangnya dari UV B. UV A bertanggung jawab 80 persen terhadap tanda-tanda penuaan kulit, seperti keriput dan bintik-bintik penuaan. Sedangkan UV C yang lebih pendek gelombangnya, tidak sampai ke muka Bumi karena diserap ozon.
Saat pagi atau sore, sinar Matahari menempuh jalan lebih panjang untuk sampai pada seseorang hingga rentan hilang atau terserap oleh atmosfer, awan, molekul uap air, hingga polutan di udara. Akibatnya, UV B yang dibutuhkan justru tak sampai ke kulit.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI) 05-04-2020—Warga berolahraga dan berjemur di perkampungan padat di bantaran Kali Ciliwung, Jati Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, Minggu (5/4/2020). Di tengah ancaman pandemi Covid-19, warga yang tinggal di kampung padat berusaha tetap bugar dengan berolahraga dan berjemur di pagi hari.
Karena itu, posisi Matahari atau sudut datangnya sinar Matahari pada seseorang jadi penting. “Makin tegak posisi Matahari terhadap seseorang, makin tinggi paparan UV-nya,” kata peneliti Matahari dan dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung Dhani Herdiwijaya, Kamis (16/4/2020).
Situasi itu membuat indeks UV pada pagi hari rendah dan mencapai puncaknya saat tengah hari. Meski indeks UV yang tinggi berbahaya bagi kulit, namun hal itu juga dibutuhkan dalam jumlah tertentu untuk mengubah kolesterol di kulit menjadi vitamin D.
Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Rabu (29/4/2020), menunjukkan indeks UV berkisar 1-3 pada pukul 8.00, indeks UV 6-9 pada pukul 10.00, dan mencapai puncaknya pukul 12.00 dengan indeks 8-11.
Namun itu merupakan indeks rata-rata. Indeks UV harian tiap daerah bervariasi. Pada Rabu (29/4/2020) pukul 12.00, indeks UV 11 umumnya terjadi di lautan. Sebagian daratan pada jam sama, indeks UV-nya ada yang 4-6, bahkan 1-2. Tutupan awan, ketinggian lokasi, dan karakter muka Bumi dalam memantulkan sinar UV sangat memengaruhi besaran indeks UV tiap daerah.
KOMPAS/PRIYOMBODO—Warga berolahraga dan berjemur di perkampungan padat di bantaran Kali Ciliwung di wilayah Jati Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, Minggu (5/4/2020). Di tengah ancaman pandemi Covid-19, warga yang tinggal di kampung padat penduduk ini berusaha untuk tetap bugar dengan berolahraga dan berjemur di pagi hari.
Selain BMKG, indeks UV di tiap daerah itu bisa dicek melalui aplikasi cuaca di ponsel pintar, seperti Accuweather. Data indeks UV itu bisa jadi panduan untuk menentukan seberapa lama kita perlu berjemur.
Manfaat
Meski berjemur berlebihan bisa meningkatkan risiko kanker kulit, tapi berjemur secara tepat bisa memenuhi kebutuhan vitamin D. MM Mendes dan rekan dalam Nutrition Bulletin, 11 Oktober 2018 menyebut 90 persen sumber vitamin D ada di sinar Matahari, sisanya dari makanan, seperti minyak ikan, susu, telur dan jamur.
Mereka yang tinggal di daerah lintang tinggi, umumnya butuh suplemen untuk memenuhi kebutuhan vitamin D akibat terbatasnya sinar Matahari saat musim dingin. Namun mereka yang tinggal di daerah tropis dengan sinar Matahari melimpah nyatanya banyak yang kekurangan vitamin D. Gaya hidup, cara berpakaian, aktivitas luar ruang, hingga pola makan turut memengaruhi.
Indonesia termasuk negara dengan banyak kasus defisiensi vitamin D. Studi Siti (2007) menyebut prevalensi kekurangan vitamin D mencapai 35 persen. Kekurangan vitamin D juga terjadi pada remaja. Dyah Saptarini di Journal of the Indonesian Medical Association, Februari 2019 menyebutkan 43,3 persen dari 60 responden berumur 15-18 tahun di Depok mengalami defisiensi vitamin D.
KOMPAS/AGUS SUSANTO—Warga berolahraga sembari berjemur matahari di jembatan Kanal Banjir Timur, Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (31/3/2020). Sinar matahari bermanfaat baik bagi kekebalan tubuh. Namun tidak bisa membunuh virus korona baru, SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19.
Sedikit data itu menggambarkan besarnya prevalensi kekurangan vitamin D di Indonesia. Meski sedikit dibutuhkan, vitamin D berperan besar bagi kesehatan tulang, sel darah dan imunitas tubuh. “Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara kekurangan vitamin D dengan peningkatan risiko sejumlah penyakit metabolik, neoplasma dan gangguan sistem imun,” kata Siti.
Globocan 2018 menyebut kanker kulit melanoma ada di urutan ke-23 dalam jumlah kasus kanker terbanyak di Indonesia dan ranking ke-25 untuk tingkat kematian. Paparan berlebih sinar UV memang bisa memicu kanker kulit. Meski demikian, sinar Matahari juga bisa jadi pelindung terhadap sejumlah kanker, seperti kolorektal, payudara, dan prostat.
Berjemur juga bisa membuat tidur malam menjadi lebih pulas. Tidur yang baik itu bisa meningkatkan imunitas tubuh yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi wabah korona saat ini.
Namun, berjemur itu bukan dilakukan untuk membunuh virus SARS-CoV2. Sinar UV yang bisa membunuh virus adalah UV C yang tidak sampai ke muka Bumi. Namun, UV C tersebut baru terbukti membunuh SARS-CoV, saudara SARS-CoV2 yang memicu sindrom pernapasan akut berat (SARS), bukan SARS-CoV2 yang memicu penyakit Covid-19.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA—Pegawai Pemkot Surabaya melakukan peregangan tubuh saat berjemur di bawah matahari di Jalan Jimerto, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (31/3/2020). Pada Jam 10.00 pagi PNS Kota Surabaya bersama-sama berjemur di bawah matahari untuk meningkatkan daya tahan tubuh di saat terjadi pademi Covid-19 seperti saat ini. Berjemur di bawah matahari berlangsung selama 15 menit.
“UV C sangat berbahaya, manusia tidak boleh terkena,” kata Dan Arnold, ahli dari UV Light Technology di Inggris kepada BBC, 27 Maret 2020. Namun UV C artifisial banyak dimanfaatkan untuk disinfektan lantai rumah sakit, angkutan umum, hingga uang di bank. Jika UV B butuh beberapa jam untuk membuat kulit terbakar, maka UV C hanya butuh beberapa detik.
Situasi itu membuat masyarakat perlu mencari keseimbangan. Masyarakat tak perlu khawatir berjemur sepanjang tahu kapan, berapa lama dan cara berjemur. Tidak semua yang terkait Matahari buruk bagi kesehatan. Studi Siti bisa dijadikan acuan tentang waktu dan lama berjemur di Indonesia, 7,5 menit pukul 11.00-13.00 dan 25 menit pukul 9.00-10.00.
Namun, waktu berjemur itu juga perlu disesuaikan dengan kondisi kesehatan tiap orang. Orang berkulit gelap, kegemukan, lansia, perempuan pascamenopause membutuhkan waktu sedikit lebih lama berjemur. Secara umum, seperti dikutip dari webmd.com, 8 Februari 2020, berjemur 5-15 menit cukup. Namun bagi yang berkulit gelap bisa sampai 30 menit.
Bagi perempuan berhijab, Siti menyarankan agar berjemur di area rumah pribadi yang terkena sinar Matahari langsung. “Usahakan wajah, lengan dan telapak tangan terkena sinar Matahari, atau bisa dimodifikasi pada area tubuh lain seperti kaki dan punggung,” katanya.
KOMPAS/ALIF ICHWAN—Satu keluarga yang tinggal di kawasan Pejaten, Pasar Minggu. Jakarta, Minggu (28/3/2020) memanfaatkan sinar matahari pagi dengan berjemur teras rumah. Berjemur saat ini menjadi aktivitas banyak orang, saat pandemi Covid-19 meluas di berbagai tempat.
Menurut Dhani, kain yang menghalangi kulit bisa menyerap UV B. Akibatnya, yang sampai di kulit bukan UV B yang dibutuhkan bagi kesehatan, tetapi hanya sinar inframerah yang menimbulkan rasa panas saja.
Karena itu, ayo berjemur secara terukur. Menikmati karunia terbesar negeri khatulistiwa, sinar Matahari. Bukan hanya penting untuk kesehatan raga, namun juga untuk kesejahteraan jiwa.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 30 April 2020