Untuk melacak riwayat pergerakan pasien berstatus positif Covid-19, pemerintah memanfaatkan aplikasi TraceTogether. Pemerintah juga memonitor perkumpulan orang di masa menjaga jarak aman melalui data pergerakan ponsel.
KOMPAS/ALIF ICHWAN–Baliho yang terpasang di kompleks Jatibening 2 Kelurahan Jatibening Baru, Pondok Gede, Bekasi, Kamis (26/3/2020), berisi pemberitahuan dan ajakan kepada warga sekitar. Baliho itu menginformasikan tentang wilayah tanggap kejadian luar biasa Covid-19 dan berisi ajakan positif, antara lain untuk mengenakan masker, tetap tinggal di rumah, menjaga etika saat batuk dan bersin, serta menjaga jarak.
Untuk melacak riwayat pergerakan pasien yang berstatus positif Covid-19 selama 14 hari terakhir, pemerintah memanfaatkan aplikasi bernama TraceTogether. Aplikasi itu berfungsi untuk penelusuran, pelacakan, dan memberikan peringatan kepada pasien Covid-19 apabila keluar dari wilayah isolasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemanfaatan aplikasi tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 159 Tahun 2020 tentang Upaya Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) Melalui Dukungan Sektor Pos dan Informatika.
Keputusan menteri itu bersifat khusus. Artinya, keputusan hanya berlaku selama kondisi darurat wabah sampai pemerintah menyatakan keadaan kondusif dan keadaan darurat berakhir.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Kamis (26/3/2020), mengatakan, aplikasi TraceTogether yang dikembangkan oleh sebuah operator telekomunikasi merupakan upaya terpadu dalam surveilans Covid-19. Aplikasi itu berfungsi untuk penelusuran, pelacakan, dan memberikan peringatan kepada pasien Covid-19 apabila keluar dari wilayah isolasinya.
”Karena terpasang pada ponsel pintar milik pasien Covid-19, aplikasi tersebut dapat menjadi ’sinyal’ untuk penanganan darurat apabila diperlukan,” ujarnya dalam telekonferensi di Jakarta.
Aplikasi itu dapat merekam data pergerakan pasien Covid-19 selama 14 hari ke belakang. Aplikasi juga dapat terhubung dengan operator seluler untuk menghasilkan visualisasi.
Dari hasil pelacakan dan penelusuran tersebut, sistem aplikasi akan memberikan peringatan melalui nomor ponsel dari orang-orang di sekitar pasien Covid-19 yang terdeteksi, akan diberikan peringatan untuk segera menjalankan protokol orang dalam pemantauan.
Direktur Eksekutif Indonesia Information Communication Technology Institute Heru Sutadi menilai kehadiran aplikasi tersebut memiliki intensi yang bagus, tetapi sudah terlambat. Sebab, pelacakan dan penelusuran itu dibutuhkan di awal wabah merebak sehingga pemerintah bisa mengklasterisasi.
”Kini sulit dipastikan seseorang yang sekarang positif ditularkan dari siapa,” ujarnya.
Saat ini, Heru berpendapat, pemerintah membutuhkan teknologi yang menyokong penentuan positif atau negatif Covid-19 pada seseorang secara cepat. Pemerintah dapat mencontoh China yang memanfaatkan kecerdasan buatan dalam proses penentuan tersebut.
Tak hanya terkait status pasien, pemerintah juga membutuhkan portal terintegrasi yang menunjukkan sebaran rumah sakit rujukan beserta ketersediaan kamar. Portal tersebut seharusnya juga memuat status data jumlah masker, alat pelindung diri, dan alat kesehatan lainnya beserta kebutuhannya sehingga terjadi arus distribusi logistik dari rumah sakit yang memiliki stok ke rumah sakit yang kekurangan stok.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Odong-odong masih beroperasi di jalur inspeksi Kanal Banjir Timur, Duren Sawit, Jakarta Timur, Minggu (22/3/2020). Minimnya kesadaran warga untuk mengisolasi diri di rumah membuat upaya aparat terkait dalam memantau titik-titik kumpul warga harus terus-menerus dilakukan demi mencegah penyebaran Covid-19.
Deteksi perkumpulan
Dalam kesempatan yang sama, Johnny juga menyebutkan, pemerintah akan memonitor berkumpulnya orang di masa darurat dalam rangka jaga jarak aman (physical distancing) melalui data pergerakan ponsel pintar. Pantauan pergerakan itu berdasarkan data Base Transceiver Station (BTS) yang memuat nomor ponsel atau Mobile Subscriber Integrated Services Digital Network Number (MSISDN).
”Apabila terdeteksi sebagai perkumpulan, pemerintah akan mengirimkan peringatan melalui pesan singkat massal atau SMS blast,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Heru berpendapat, penggunaan BTS sebagai referensi pemantauan berpotensi tidak akurat karena cakupannya mencapai 8-12 kilometer. Mekanisme pemantauan itu juga berpotensi menggolongkan orang-orang yang tinggal di rumah, terutama di area permukiman padat, sebagai bentuk perkumpulan.
Selain itu, keputusan menteri yang sama juga meminta operator telekomunikasi melakukan optimasi layanan, operasional, serta pemeliharaan dan perbaikan jaringan telekomunikasi, termasuk BTS. Tujuannya, layanan telekomunikasi dan internet dengan kapasitas dan kualitas yang baik tersedia bagi masyarakat selama masa darurat Covid-19.
Oleh M PASCHALIA JUDITH J
Editor: HENDRIYO WIDI
Sumber: Kompas, 26 Maret 2020