Larangan Bakar dan Solusi Masih Belum Ketemu

- Editor

Rabu, 19 Juni 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Petani di Desa Pantik, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah sedang menyemai padi di lahan persawahan tanpa bakar yang dikelola oleh PT Sinar Pangan Indonesia (SPI), Rabu (1/2). Badan Restorasi Gambut (BRG) RI berencana mengaplikasikan teknik membuka lahan tanpa membakar dengan menggunakan bakteri pengurai untuk mengurangi keasaman tanah gambut di beberapa provinsi lainnya.

Kompas/Dionisius Reynaldo Triwibowo (IDO)
01-02-2017

Petani di Desa Pantik, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah sedang menyemai padi di lahan persawahan tanpa bakar yang dikelola oleh PT Sinar Pangan Indonesia (SPI), Rabu (1/2). Badan Restorasi Gambut (BRG) RI berencana mengaplikasikan teknik membuka lahan tanpa membakar dengan menggunakan bakteri pengurai untuk mengurangi keasaman tanah gambut di beberapa provinsi lainnya. Kompas/Dionisius Reynaldo Triwibowo (IDO) 01-02-2017

Larangan membuka lahan dengan cara membakar pada masyarakat kecil belum diiringi solusi implikatif dan diperluas. Solusi-solusi saat ini dinilai masih sebatas proyek skala kecil serta belum menyentuh kebutuhan dan kemampuan masyarakat.

Di sisi lain, larangan bakar yang harus disertai dengan jalan keluar bagi masyarakat petani lokal kecil atau masyarakat adat tersebut perlu dijalankan konsisten karena kondisi gambut Indonesia yang sebagian sudah rusak. Pembakaran pada area gambut yang rusak atau kering akan meningkatkan potensi kebakaran yang sulit dikendalikan.

Petani di Desa Pantik, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah sedang menyemai padi di lahan persawahan tanpa bakar yang dikelola oleh PT Sinar Pangan Indonesia (SPI), Rabu (1/2). Badan Restorasi Gambut (BRG) RI berencana mengaplikasikan teknik membuka lahan tanpa membakar dengan menggunakan bakteri pengurai untuk mengurangi keasaman tanah gambut di beberapa provinsi lainnya.
Kompas/Dionisius Reynaldo Triwibowo (IDO)–01-02-2017

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Petani di Desa Pantik, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah sedang menyemai padi di lahan persawahan tanpa bakar yang dikelola PT Sinar Pangan Indonesia (SPI), Rabu (1/2/2017). Badan Restorasi Gambut (BRG) berencana mengaplikasikan teknik membuka lahan tanpa membakar dengan menggunakan bakteri pengurai untuk mengurangi keasaman tanah gambut di beberapa provinsi lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Ada dilema penerapan pelarangan penggunaan api pada komunitas lokal, tapi tanpa metode alternatif dan efektif yang diperkenalkan pemerintah,” kata Laely Nurhidayah, peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Selasa (18/6/2019), di Jakarta.

Ia memaparkan kajiannya bersama Prof Shawkat Alam (School of Law pada Macquarie University, Australia) terkait isu asap lintas batas serta pengetahuan dan kearifan tradisional. Hasil kajiannya baru baru dikirimkan dalam Journal of Environment and Development.

Pada Perjanjian Asap Lintas Batas ASEAN yang diratifikasi Indonesia pada September 2014, diamanatkan agar setiap negara anggota memastikan kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang bisa memicu asap lintas batas. Disebutkan dalam pasal 9 huruf f, caranya diantaranya mempromosikan dan memanfaatkan praktik serta pengetahuan tradisional dalam pencegahan dan pengelolaan kebakaran.

Laely mengambil lokasi wawancara atau contoh isu tersebut di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Kedua lokasi ini diambil karena merupakan dua dari tujuh provinsi prioritas restorasi gambut serta potensial menghasilkan asap lintas batas.

Di Kalteng, ia menjumpai perkebunan monokultur skala besar menghancurkan pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola lahan, termasuk gambut. Misalnya, metode pertanian/perkebunan dengan intensif dan terus-menerus tiap tahun tersebut menggantikan metode tradisional yaitu pertanian berpindah (rotasi) dan musiman. Ini mengurangi kualitas tanah dan kesehatan ekosistem.

Berbagai pendekatan pemerintah untuk mengubah kebiasaan membakar lahan dengan metode lain maupun alternatif penghidupan lain kerapkali membentur tembok. Beberapa faktor penghambat biasanya berupa budaya, akses pasar, kapasitas komunitas lokal terbatas, dan biaya.

Dicontohkan, pengenalan beras varietas baru yang bisa dipanen hanya dalam tiga bulan, ditolak masyarakat karena membutuhkan modal tinggi dan perawatan kompleks. Mereka tetap memilih varietas lokal yang berusia panen 6-8 bulan.

Contoh lain, pengenalan traktor tangan untuk mengolah lahan tanpa bakar, perkembangan implementasinya sangat lamban dan susah. Masyarakat biasanya terkendala ketersediaan dan biaya untuk membeli bahan bakarnya.

Demikian dengan paludikultur yang banyak dikembangkan pemerintah dinilai masih pada tahap awal. “Tantangannya bagaimana memperluas cakupan paludikultur ini,” kata dia.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Diskusi hasil penelitian terkait kaitan pengetauan dan kearifan lokal/tradisional dalam pengelolaan gambut berkelanjutan di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Selasa (18/6/2019) di Jakarta. Tampak pembicara dari kiri Prof Shawkat Alam (Macquarie University), Laely Nurhidayah (PMB LIPI), Hanni Adiati (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Huda Achsani (KLHK), dan Muki Wicaksono (Kemitraan).

Didampingi ahli
Muki Wicaksono, Knowledge Management and Learning Unit Officer pada Yayasan Kemitraan, pun mengatakan pertanian tanpa bakar akan efektif apabila masyarakat didampingi oleh ahli. Ia mencontohkan kebanyakan petani kecil mendapatkan hasil panen yang rendah pada saat menjajal pertanian tanpa bakar. Itu disebabkan kesalahan kecil yang berdampak besar seperti menyiram tanaman dengan air sumur gambut yang memiliki keasaman tinggi.

Hanni Adiati, Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengungkapkan konteks kebakaran hutan dan lahan yang memicu asap lintas batas tak bisa serta-merta hanya menyalahkan pada masyarakat petani kecil. Kasus tersebut, menurutnya, berkorelasi dengan praktik egois pengelolaan gambut pada perusahaan pemegang/pemilik konsesi.

“Itu ketidakadilan yang menjadikan masyarakat atau masyarakat adat jadi obyek untuk dikata-katain. Tentu saja ini ketelanjuran (perubahan) lanskap. Perusahaan harus ubah area lanskap tertutupnya,” kata dia.

Maksud dia, praktik yang terjadi, saat musim hujan, perusahaan membuang airnya keluar dari area konsesi sehingga menyebabkan kebanjiran pada lahan dan permukiman masyarakat. Sebaliknya, bila musim kemarau, perusahaan menutup rapat sistem airnya sehingga lahannya tetap tercukupi kebutuhan airnya tetapi lahan masyarakat menjadi kering.

Karena itulah, pemerintah – dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – mengeluarkan sejumlah instrumen peraturan dalam lingkup kawasan hidrologis gambut (KHG). Ini untuk menjaga hidrologis air di ekosistem gambut tetap sehat di wilayah konsesi maupun masyarakat maupun lahan/hutan negara.

Di sisi lain, ia pun menyatakan keberpihakan kepada masyarakat yang menggantungkan hidup pada gambut terus dikedepankan. Selain teknis pengelolaan lahan gambut tanpa bakar seperti penggunaan pupuk dolomit, pupuk hijau, pupuk kandang, dan pupuk cair hayati serta alat traktor, pemerintah memberikan solusi pemasaran maupun kemudahan dalam mengakses modal.

Oleh ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 19 Juni 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB