TENTUNYA kita semua masih ingat betapa dunia dikejutkan dengan keputusan pemerintah Italia yang memenjarakan enam orang ilmuwan (seismologis dan geologis) dan satu orang pejabat pemerintahannya selama enam tahun. Mereka adalah anggota National Commission for the Forecast and Prevention of Major Risks (Komisi Nasional untuk Peramalan/Prediksi dan Pencegahan Risiko Bencana).
Pengadilan membuktikan mereka bersalah telah mengambil kesimpulan yang tidak akurat seminggu sebelum gempa terjadi dengan mengeluarkan pernyataan, “Sepertinya kecil sekali kemungkinan akan terjadi gempa besar”.
Pernyataan tersebut, membuat masyarakat tidak meningkatkan kewaspadaan, sehingga lebih dari 300 orang tewas ketika gempa dengan magnitude 6,3 mengguncang kota L’Aquila pada 6 April 2009.
Padahal sebelumnya, sudah sering dirasakan gempa-gempa kecil. Seharusnya menurut hakim, para ilmuwan tersebut bisa mengeluarkan forecast (ramalan) bahwa mungkin saja gempa yang lebih dahsyat terjadi. Mereka dianggap lalai melaksanakan tugasnya (cnn.com).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus ini pertama kali terjadi dan mendapat kecaman, khususnya dari para ilmuwan di seluruh dunia, karena ilmuwan memang bisa saja meramalkan bahwa ada potensi gempa, tapi tidak bisa memastikan secara akurat berapa kekuatan dan kapan akan terjadinya gempa.
Andaikan hukum ini berlaku di Indonesia, mungkin akan lebih banyak jumlah ilmuwan yang bisa diadili karena “kesalahan” mengkomunikasikan tentang risiko bencana sehingga berdampak korban jiwa. Tentunya kita masih ingat ketika tim ahli menyatakan bahwa Pangandaran aman dari tsunami (Pikiran Rakyat, 4 April 2005), dan nyatanya tsunami menghantam Pangandaran pada 17 Juli 2006. Atau ada juga para ilmuwan di beberapa daerah yang mencoba menenangkan masyarakat dengan menyatakan “jangan khawatir, karena tidak ada potensi bencana di daerah ini.”
Ini memang akan menjadi batu sandungan bagi para ilmuwan jika hasil penelitian mereka tidak berorientasi pada pengurangan risiko bencana (PRB). Seharusnya ilmuwan mengetahui bahwa sains bisa membantu dalam meminimalisir jumlah korban jiwa dan kerugian aset jika dikomunikasikan dengan benar kepada para praktisi (khususnya pemerintah dan LSM).
Di lain sisi, ada ilmuwan yang benar-benar ingin mendedikasikan dirinya untuk PRB tapi “tak didengar” oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Hal ini terungkap pada paparan Dr Danny Hilman Ketua Tim Peneliti Gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam konferensi internasional yang diadakan Wilton Park di Wiston House, London, United Kingdom pada 28-30 Januari 2013.
Tahun 2003, Dr Danny Hilman dan Prof Kerry Sieh dari California Technology USA sudah berusaha mengkomunikasikan tentang ancaman gempa besar yang mungkin bisa terjadi di Sumatera Barat, tapi tak mendapatkan perhatian sehingga akhirnya mereka membuat poster untuk dibagikan langsung kepada masyarakat. Hal itu pun tidak berlangsung efektif, karena tidak mudah bagi masyarakat memahami bahasa ilmuwan.
Penulis yang juga diundang sebagai satu-satunya narasumber dari LSM lokal menguatkan pernyataan Danny Hilman. Komunitas Siaga Tsunami (Kogami)organisasi tempat penulis mengabdikan diri untuk misi kemanusiaan menerangkan betapa berat perjuangan relawan Kogami menyusun program kesiapsiagaan bencana di Sumatera Barat, khususnya sepanjang daerah pesisir yang berpotensi terdampak tsunami, jika tidak berbasiskan sains.
Kogami yang didirikan pada 4 Juli 2005 mendapatkan tantangan berat. Kegiatan membangun kewaspadaan masyarakat terhadap potensi tsunami dianggap meresahkan masyarakat, bahkan tak sedikit pula yang mencemooh. Namun karena rasa cinta dan tanggung jawab besar, relawan Kogami terus berjuang mengkampanyekan budaya siaga bencana.
Diakui bahwa minimnya pengetahuan tentang gempa, tsunami, kajian risiko, serta penanggulangan bencanalah yang membuat kepercayaan itu tidak mudah diraih. Bersyukur Kogami bisa berinteraksi langsung dengan Prof Kerry Sieh dan Dr Danny Hilman yang selanjutnya memperkenalkan pada geologis dan seismologis lain di dunia.
Kembali pada betapa pentingnya pengurangan risiko bencana berbasiskan sains. Bukan tanpa alasan Wilton Park mengadakan konferensi internasional tentang isu tersebut, karena hasil kajian para ilmuwan akan berdampak terhadap “reaksi” pemerintah dan masyarakat, baik untuk membuat rencana mitigasi berupa infrastruktur ataupun kesiapsiagaan.
Konferensi yang bergengi, eksklusif, serta berlangsung tertutup ini diikuti 70 peserta dari 25 negara (40 di antaranya jadi narasumber), terdiri kalangan akademisi/ilmuwan, LSM, perusahaan swasta seperti asuransi, wakil pemerintahan dan lembaga donor. Negara-negara yang hadir di antaranya United Kingdom sendiri sebagai tuan rumah, Amerika Serikat, Jerman, Italia, Kenya, Senegal, Filipina, New Zealand, Indonesia, dan lain-lain.
Pada konferensi ini juga mencuat pertanyaan. Jika memang sains mutlak diperlukan dalam PRB, lalu siapa ahli/ilmuwan yang layak dipercaya? Karena adakalanya jika suatu ancaman bencana menjadi tren di sebuah negara, ada saja orang ataupun lembaga yang mengaku sangat berkompeten di bidang tersebut. Oleh karena itu, perlu pelembagaan dan mekanisme koordinasi yang jelas antara ilmuwan sebagai penyedia sains, pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan LSM sebagai mediator yang dianggap mampu menjadi jembatan untuk multi stakeholders/pemangku kepentingan dengan masyarakat.
Mengingat pentingnya isu ini, peserta sepakat untuk menyuarakan pada forum yang lebih tinggi, yaitu Global Platform for Disaster Risk Reduction yang pada tahun ini akan diselenggarakan pada 19-23 Mai 2013 di Jenewa, Swiss. Adanya rantai yang hilang antara sains dan implementasinya dalam PRB bisa mengakibatkan salah tindakan. Amanah ini sebenarnya sudah ditetapkan pada sebuah lembaga yang diberikan mandat untuk mengkoordinir seluruh kegiatan penanggulangan bencana yaitu BPNP/BPBD.
Di mana pada Pasal 4 Poin c Permendagri No 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bahwa BPBD provinsi dan BPBD kota/kabupaten mempunyai tugas menyusun, menetapkan dan menginformasikan peta rawan bencana. Kalau dilihat sepintas, memang terkesan hanya menyiapkan peta dan
menginformasikannya.
Lebih jauh jika ditilik, untuk menyiapkan peta rawan bencana perlu kajian yang serius dan mendalam. Begitu juga ketika menginformasikannya harus dilengkapi dengan pemahaman terhadap risiko bencana kepada masyarakat, sehingga masyarakat tahu apa yang harus dilakukan.
Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 37 menyatakan bahwa pengurangan risiko bencana dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana. Suka atau tidak suka, BPBD harus berkoordinasi secara rapat dengan kalangan akademisi/ilmuwan/peneliti.
Sayangnya, UU No 24 tidak mengakomodir hal tersebut sehingga ini menjadi salah satu alasan mengapa UU No 24 Tahun 2007 tentang PB harus direvisi.
Selanjutnya, diminta pemahaman bersama bahwa upaya PRB seharusnya bukan menjadi kegiatan berbasis proyek, tapi memang berbasis kebutuhan masyarakat dalam mengurangi risiko terutama risiko korban jiwa.
Mengingat betapa pentingnya untuk menyambungkan rantai yang terputus antara sains (baca: hasil kajian yang dilakukan oleh ilmuwan) dengan implementasi Pengurangan Risiko
Bencana, maka penting ditelaah kembali keberadaan sebuah bidang khusus pada BNPB atau BPBD yang bertanggung jawab untuk berkoordinasi dan memanfaatkan hasil kajian para ahli, sehingga bidang ini jugalah yang mensuplai kebutuhan untuk perencanaan. Selanjutnya, pemerintah harus lebih berorientasi pada penyiapan mental masyarakat melalui edukasi kebencanaan yang berkesinambungan.
Hasil kajian yang berbedabeda juga bisa membingungkan masyarakat, maka perlu diatur juga mekanisme untuk mempublikasikan hasil kajian melalui media. Semoga pada UU No 24 Tahun 2007 sedang mengalami proses pengajuan untuk direvisi, ada pasal khusus yang mengatur tentang pemanfaatan sains dalam PRB. Tentu saja kita tidak berharap para ilmuwan kita menjadi bungkam karena bisa masuk penjara seperti enam ilmuwan di Italia. Walaupun begitu, kita berharap para ilmuwan juga lebih arif dalam menyampaikan hasil kajiannya yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Pemerintah juga harusnya lebih berorientasi pada peningkatan kapasitas masyarakat berbasis sain dan kearifan lokal, di samping membangun infrastuktur dan mengadakan simulasi dengan biaya yang banyak. Jika mental masyarakat sudah disiapkan melalui pengetahuan dan peran ulama/tokoh masyarakat, Insya Allah risiko korban jiwa akan bisa diminimalisir. Tentu saja hal ini harus didukung dengan penganggaran yang cukup.
Mengingat pentingnya isu ini, peserta konferensi di Wilton Park sepakat untuk menyuarakan pada forum yang lebih tinggi yaitu Global Platform for Disaster Risk Reduction yang pada tahun ini akan diselenggarakan pada 19-23 Mei 2013 di Jenewa, Swiss. Mari bekerja sama, insya Allah kita bisa siaga!
Oleh: Patra Rina Dewi, Direktur Eksekutif Kogami
Sumber: Padang Ekspres • Jumat, 22/02/2013 11:22 WIB