Setelah gempa beruntun mengguncang Jepang, giliran gempa kuat dan merusak melanda Ekuador. Hingga kini, gempa belum bisa diprediksi kapan terjadi sehingga penguatan sistem mitigasi dan konstruksi bangunan tahan gempa jadi kunci menekan risiko.
Setelah gempa berkekuatan M 6,4 mengguncang Kumamoto, Jepang, Kamis (14/4) malam, gempa berkekuatan M 7 kembali terjadi di wilayah itu, Sabtu (16/4) dini hari. “Dua gempa itu terjadi akibat sesar geser mendatar di darat. Gempa yang belakangan bermagnitudo lebih besar daripada sebelumnya, maka intensitas dari gempa ini (Modified Mercalli Intensity/MMI) mencapai IX sehingga amat merusak,” kata Irwan Meilano, ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung, dihubungi dari Jakarta, Minggu.
Tingginya intensitas gempa disebabkan guncangannya amat keras. Selain magnitudonya besar dan berlokasi dangkal, besarnya guncangan diperkuat lapisan sedimen lunak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan kejadian tersebut, menurut Irwan, pelajaran penting bagi Indonesia ialah pentingnya memahami potensi ancaman dari sumber gempa yang belum terkuantifikasi dengan baik parameternya. Itu terutama sumber gempa dekat kawasan perkotaan atau padat penduduk.
Selain itu, guncangan gempa bisa menguat jika ada lapisan sedimen. “Beberapa kota besar di Indonesia ada di jenis tanah seperti ini, antara lain Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sehingga harus waspada,” katanya.
Irwan juga mengingatkan, ada potensi suatu gempa besar bisa diikuti gempa lebih besar. Gempa pertama adalah foreshock (guncangan awal) bagi gempa selanjutnya. Meski gempa dengan sumber di darat itu kuat, jumlah korban tewas sejauh ini, menurut Reuters, sekitar 41 orang. “Korban lebih banyak diprediksi terjadi di Ekuador,” kata Irwan.
Pada Minggu pagi, gempa kuat mengguncang Ekuador. Guncangan kuat gempa bumi itu dirasakan di sejumlah kota besar, seperti Rosa Zarate, Propicia, Santo Domingo de los Colorados, Guayaquil, dan Quito, ibu kota Ekuador. Menurut laporan United States Geological Survey (USGS), gempa tersebut berkekuatan M 7,8 dengan kedalaman hiposenter 19,2 kilometer.
Laporan dari The Guardian, sedikitnya 77 orang tewas dan 500 orang terluka. Jumlah korban diperkirakan terus bertambah. “Pada 1906, di zona ini pernah dilanda gempa dengan korban mencapai 1.000 orang. Subduksi di Ekuador dekat pantai dan pusat gempanya dekat perkotaan,” ucap Irwan.
Kegempaan Indonesia
Seperti halnya Ekuador dan Jepang, Indonesia memiliki banyak subduksi lempeng aktif yang ada di sebelah barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan di Laut Banda. Selain itu, di sebelah utara Sulawesi ada zona subduksi, termasuk subduksi dobel di Lempeng Laut Maluku, dan subduksi Lempeng di sebelah utara Papua.
“Dibandingkan dengan Ekuador, ancaman gempa bumi subduksi lempeng lebih besar dialami negara kita. Indonesia dikepung generator gempa dari berbagai arah,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono.
Peneliti gempa dan tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, menambahkan, kecilnya korban di Jepang karena mitigasi bencana di negara itu berjalan baik. Kualitas bangunan sudah sesuai standar bangunan tahan gempa. Kereta cepat dan aliran gas bisa dimatikan sebelum guncangan gempa tiba karena ada sistem peringatan dini gempa.
Terkait hal itu, Widjo mendorong agar Indonesia serius melaksanakan mitigasi bencana gempa. Caranya dengan memetakan lebih rinci tentang potensi kegempaan dan jika sumbernya dekat pantai, sekalian dipetakan risiko tsunami. Sejauh ini, banyak zona gempa di Indonesia belum terpetakan secara rinci.
“Audit infrastruktur dan bangunan tahan gempa juga harus dilakukan. Sejauh ini kita belum menerapkan standar bangunan tahan gempa dengan baik. Rumah-rumah yang telanjur dibangun tanpa memperhitungkan aspek gempa harus diperkuat,” katanya menambahkan.
Irwan mengingatkan, di tengah maraknya pembangunan infrastruktur, termasuk kereta cepat, penerapan sistem peringatan dini gempa bumi mendesak dilakukan. “Selama ini pembangunan kita belum memperhatikan aspek bencana,” ujarnya. (AIK)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2016, di halaman 13 dengan judul “Pelajaran Penting bagi Indonesia”.