Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyiapkan dua jenis ulat sutra andalan baru yang siap dirilis awal tahun depan. Ulat sutra ini diharapkan bisa diserap industri dan petani budidaya untuk mengurangi ketergantungan impor benang dan kokon atau kepompong sutra.
Jenis baru ini dirancang lebih tahan penyakit serta memiliki mutu dan kuantitas produksi serat benang yang baik. Selain menekan devisa, pengembangbiakan ulat sutra ini bisa memberi pilihan ekonomi bagi pemanfaatan lahan kritis dan perhutanan sosial untuk ditanami tanaman murbei secara monokultur dan campuran, sebagai pakan ulat sutra.
”Ini nanti lebih baik dari impor. Karena yang sekarang versi ulat sutra PS-01 banyak yang menyebut lebih baik dari impor India dan China. Panjang serat dan mutu benangnya lebih baik,” kata Kirsfianti Linda Ginoga, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Senin (15/10/2018), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jenis hibrida ulat sutra baru akan diluncurkan Menteri LHK pada Januari. Sejumlah penyempurnaan dan uji di lapangan terus dilakukan untuk meningkatkan pembuktian mutu dan jumlah hasil kokon ulat sutra.
–Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Senin (15/10/2018) di Jakarta, menyampaikan beberapa hasil riset unggulan. Diantaranya yaitu ulat sutra baru hasil hibrid yang akan diluncurkan pada awal Januari 2019. Tampak di foto dari kiri ke kanan Kirsfianti Linda Ginoga (Kepala Puslitbang Hutan), Dwi Sudharto (Kepala Puslitbang Hasil Hutan), Djati Witjaksono Hadi (Kepala Biro Humas), Herman Hermawan (Kepala Puslitbang Kualitas dan Laboratorium Lingkungan), dan Syaiful Anwar (Kepala Puslitbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan, dan Perubahan Iklim).
Secara terpisah, Lincah Andadari, peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, menyiapkan dua jenis ulat sutra baru hasil hibrida yang belum diberi nama resmi. Satu jenis ulat sutra ialah pengembangan jenis ulat sutra hibrida bernama PS-01. Ulat jenis ini diakui sebagai hibrida ulat sutra dengan produktivitas tinggi pada 2013 lewat SK-793 Menteri Kehutanan.
Lima tahun kemudian, Lincah kembali menghasilkan rekayasa hibrid yaitu ulat sutra jenis yang optimum dibudidayakan pada daerah dengan ketinggian 400-700 meter di atas permukaan laut. Ini melengkapi sutra PS-01 yang cocok dibudidayakan pada dataran rendah.
“Jadi masyarakat bisa memilih mana-mana yang mau dibudidayakan sesuai lokasi ketinggian daerahnya,” kata dia. Ulat ini dirancang tahan penyakit dan memiliki produktivitas tinggi.
Satu jenis ulat sutra lainnya yang akan diluncurkan memiliki keunikan kokon atau kepompong yang dihasilkan berwarna kuning. Lincah menuturkan warna kuning kokon alami tanpa pewarna ini digunakan untuk kain pada pemimpin agama budha, biksu.
Keunikan lain, ulat sutra ini memiliki tekstur warna zebra pada tubuhnya. Meski tubuh berwarna belang hitam-putih, kaki ulat sutra ini berwarna kuning seperti serat benang yang dihasilkannya.
Ulat sutra penghasil kepompong berwarna kungng ini didapatkan dari bank plasma Puslitbang Hutan yang menyimpan stok 70 galur murni. Untuk mendapatkan jenis hibrid yang unggul, Lincah memeringkat mutu dan kuantitias paling bagus untuk disilangkan. Jenis itu didapatkan dari pemurnian indukan dari Thailand yang telah beradaptasi di Indonesia.
Pengujian di lapangan
Saat ini pihaknya melakukan pengujian di lapangan. Harapannya, hasil pembudidayaan yang dilakukan masyarakat pemakai sama dengan hasil laboratorium. Itu bertujuan meyakinkan peneliti bahwa produknya teruji di lapangan.
Selain jenis ulat sutra, produktivitas dan kualitas benang juga bisa dipengaruhi tanaman murbei yang jadi pakannya. Pada tahun 2013, bersamaan dengan peluncuran PS-01, Badan Litbang dan Inovasi KLHK juga meluncurkan varietas pemuliaan murbei baru (SULI 01) yang produksi daunnya 30 pesrsen lebih tinggi. Pada jenis murbei biasa, Morus cathayana produksinya 26,16 ton per pangkas per hektar dan SULI 01 mencapai 37,18 ton per pangkas per hektar.
“Dengan produksi daun 30 persen lebih tinggi dari (jenis murbei) konvensional, efisiensi lahan lebih tinggi,” kata dia. Karena itu, Balitbang dan Inovasi juga menjajaki agar budidaya ulat sutra dan penanaman murbei ini bisa dilakukan dalam Perhutanan Sosial maupun untuk program pemulihan lahan kritis.
Kirsfianti mengatakan meski PS-01 telah teruji memiliki hasil bagus di lapangan, namun aplikasi pembudidayaan di lapangan masih sulit. Ini karena pihaknya terganjal tugas, pokok, dan fungsi yang tidak bisa menyediakan telur ulat secara konsisten dan berkelanjutan.
Ia berharap ada industri yang mau bekerjasama sehingga Balitbang dan Inovasi sebagai pendamping agar produksi yang dihasilkan baik. Dengan ulat sutra PS-01 dan murbei SULI 01 menghasilkan 40 kilogram kokon dari 1 box telur (sekitar 25.000 telur). Sejumlah 40 kg kokon itu bisa menghasilkan 4 kg benang atau 4 meter kain.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 16 Oktober 2018