Simpul Jaringan Pantau Gambut mendeteksi kemunculan ratusan titik panas di provinsi prioritas restorasi di Indonesia. Ini menunjukkan upaya restorasi yang telah berlangsung hampir dua tahun terakhir belum memiliki dampak nyata.
Restorasi gambut pada area prioritas seluas lebih dari 2 juta ha ini meliputi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Papua Barat, dan Papua. Pada siaran pers Simpul Jaringan Pantau Gambut menyebutkan pada 17 Juli 2018 terdapat 539 titik panas pada area-area ini. Jumlah tertinggi ditemukan di Riau (208 titik) disusul Kalimantan Barat (155 titik). Perkembangan terakhir, Pantau Gambut per 24 Juli 2018, menemukan 380 titik panas di delapan provinsi tersebut.
“Walaupun komitmen pencegahan kebakaran dan restorasi lahan gambut telah dilakukan secara masif selama 2 – 3 tahun terakhir, tingginya jumlah titik api menunjukkan belum ada dampak atau perbedaaan signifikan dari upaya tersebut,” kata Anton P Widjaya, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat, bagian dari Simpul Jaringan Pantau Gambut, Rabu (25/7/2018) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mengkhawatirkan bila tidak ada pencegahan komprehensif, Indonesia – terutama Kalimantan Barat akan kembali ke “tahun-tahun asap” sebelumnya. Saat itu, kata dia, prioritas kerja hanya pada tingkat emergency response yaitu pemadaman api dan menyatakan kondisisi darurat agar APBD/APBN dapat dikucurkan untuk penanganan bencana kebakaran.
Dikonfirmasi terkait kebakaran di wilayah prioritas restorasi, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead mengakui kemunculan titik-titik api ini. Ia menjelaskan kebakaran di beberapa titik berada di permukaan gambut.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI–Helikopeter Super Puma milik APP Sinar Mas dikerahkan untuk melepaskan bom air di lahan terbakar yang terletak di Desa Kayu Labu, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, (18/7/2018).
Secara umum, kata dia, alat pendeteksi kondisi gambut (SESAME) yang dipasang BRG bersama BPPT di berbagai daerah, menunjukkan kondisi kelembaban/kebasahan gambut masih mencukupi. Bahkan di Sumatera Selatan, ia menemukan area gambut yang memiliki ketinggian muka air tanah 20 centimeter atau sangat basah dibandingkan standar aturan 40 centimeter dalam PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Namun, kata Foead, ada pula peringatan warna merah di daerah karena tinggi muka air tanah mencapai 120 cm atau sangat kering. Lokasi ini, kata dia, berada di Rimbo Panjang, Jambi. “Di situ patroli berjalan sangat baik,”kata dia.
Ia mengakui restorasi terkesan berjalan lamban karena BRG memprioritaskan pekerjaan pembasahan bersama masyarakat/kelompok masyarakat. Sebisa mungkin, kata dia, pihaknya menghindari pekerjaan dikerjakan kontraktor atau alat berat.
Ini bertujuan agar masyarakat terlibat dan mempunyai rasa memiliki sehingga bakal merawat sekat kanal maupun sumur bor yang dibangun. Namun pilihan ini memiliki konsekuensi pekerjaan pembasahan membutuhkan waktu karena kendala administrasi pelaporan maupun pendekatan awal ke masyarakat.
Nazir pun mengatakan pekerjaan restorasi belum bisa tampak hasilnya hanya dalam kurun waktu setahun. Apalagi pada lahan gambut yang telanjur rusak parah akibat terbakar. Kondisi ini membuat ambut yang memiliki sifat menyimpan air pun berkurang kapasitasnya dalam penyimpanan air. Jadi ketika tiba musim kemarau atau hari tanpa hujan yang panjang, gambut berangsur-angsur mengering karena penguapan.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 26 Juli 2018