Oleh tokoh pers nasional, Adinegara, Nusantara dijuluki ”Zamrud Khatulistiwa”.
Di masa Adinegara, sebutan itu tepat sebab Nusantara ialah kepulauan di kawasan khatulistiwa yang terentang dari barat sampai timur: tampak hijau royoroyo karena hutan, sawah-ladang, dan nyiurnya yang melambailambai di sepanjang pantai.
Sekarang sabuk hijau di khatulistiwa itu sudah bopeng-bopeng akibat ulah pembalak liar dan pengusaha tambang yang merambah hutan. Namun, syukurlah, NKRI masih utuh kendati sempat, dan masih, ada gerakan separatisme di ujung barat (Aceh) dan ujung timur (Papua).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiga Mintakat Jadi Satu
Kita sudah terbiasa dengan pembagian Indonesia ke dalam tiga mintakat waktu: WIB, Wita, dan WIT. Orang yang tinggal di wilayah WIB memang merasa bahwa pukul 06.00 WIT di Manokwari masih terlalu gelap, tetapi perbedaan itu dapat ditenggang. Apabila, dan jika, seluruh Indonesia dijadikan satu mintakat waktu, perbedaan suasana pada jam yang sama antara Jayapura dan Banda Aceh kian kontras.
GMT (Greenwich Mean Time) ialah waktu di kawasan Greenwich, di pinggir Sungai Thames, sebelah tenggara London. Garis bujur nol melintasi Greenwich. Dengan kata lain, Greenwich dilalui oleh meridian utama yang menghubungkan Kutub Utara dengan Kutub Selatan.
Sekarang selisih waktu antara Inggris dan WIB tujuh jam. Kalau WIB, Wita, dan WIT dilebur jadi GMT+8, waktu di seluruh Indonesia menjadi sama dengan Wita sekarang ini. Orang yang tinggal di kawasan WIB akan memulai hari dan kegiatannya satu jam lebih awal. Sebaliknya, orang yang berdomisili di kawasan WIT bisa tetap berbaring di tempat tidur satu jam lagi, dibandingkan dengan kebiasaannya.
Sabang kira-kira terletak di 95°BT, sementara Merauke ada di sekitar 142° BT. Busur lintang di dekat khatulistiwa antara Sabang dan Merauke besarnya 47°. Kalau waktu didasarkan pada perputaran Bumi di sekeliling sumbunya, ada perbedaan waktu kira-kira 3 jam 8 menit antara Sabang dan Merauke; Sabang keteter terhadap Merauke. Selisih waktu alami ini akan dihapus, menjadi nol jika ”GMT+8” diterapkan. Padahal, jarak kedua kota itu sekitar 5.250 kilometer.
Apakah gagasan menyatukan WIB, Wita, dan WIT menjadi ”GMT+8” itu cerdas, arif, dan berani atau bodoh, ngawur, dan gegabah? Saya tak hendak menjawab pertanyaan retoris ini. Namun, kalau pertanyaannya ”ilmiahkah gagasan yang akan dijadikan keputusan itu” dengan masa uji coba yang konon akan dimulai Oktober tahun ini, jawabannya: ”Tidaklah yauw !”
Ilmu ialah satu cara untuk mengetahui. Komunitas ilmuwan tidak berpretensi bahwa cara ilmiah itu satu-satunya cara atau cara yang terbaik. Ada cara lain untuk mengetahui dan dalam hal tertentu bisa saja cara lain, yang tidak ilmiah, itu justru dianggap lebih baik.
Ilmu mempunyai dua komponen: eksperimental/observasional/ empiris dan teoretis. Komponen yang pertama berupa interaksi antara manusia (baca: ilmuwan) dan lingkungannya, alam ataupun sosial. Dari interaksi ini diperoleh sejumlah data.
Dalam komponen teoretis, makna data itu ditafsirkan. Ini terjadi di alam pikiran.
Kecerdasan dan daya nalar—juga pertimbangan nilai-nilai—dipakai dalam pemaknaan itu dan deduksi logis yang disimpulkan dari gambaran yang diperoleh dari komponen teoretis itu divalidasi dengan menghadapmukakan kesimpulan itu dengan kenyataan atau pengalaman di ”lapangan”.
Jelaslah bahwa ilmu berkiblat pada apa-apa yang alami. Rotasi Bumi adalah alami. Kita tak dapat mengubahnya dan sebaiknya kita menyesuaikan diri dengan irama alami yang kodrati itu. Tak sesuai dengan yang alami berarti tak ilmiah.
Teknologiskah?
Apakah kita tak boleh mengubah yang alami itu? Tentu saja boleh, atau lebih tepat tak mengubah, tetapi ”menyiasati”. Itulah yang kita lakukan dengan mengembangkan teknologi, yang tak lain dari alat dan/atau cara mengatasi masalah yang kita hadapi atau kita antisipasi sebelum masalah potensial itu menjadi aktual. Menurut Billy V Koen, di teras teknologi ada apa yang disebut perekayasaan: usaha mengadakan perubahan yang terbaik menurut persepsi masyarakat.
Mengadopsi ”GMT+8” berarti mengubah atau merekayasa yang alami/ilmiah. Namun, dengan perubahan itu kita baru dapat disebut berkiblat ke teknologi kalau dalam persepsi rakyat Indonesia perubahan itu merupakan yang terbaik. Jadi, masih diperlukan uji publik dengan referendum atau musyawarah dan mufakat di DPR. Akankah uji coba Oktober nanti jadi proses demokrasi deliberatif di Lebenswelt Habermasian atau kita sedemikian paternalistiknya sehingga patuh saja kepada para pemimpin bak kerbau dicocok hidung?
Adopsi ”GMT+8” tak berkiblat ke alam dan tak ilmiah, lagi pula belum tentu teknologis. Kelihatannya perubahan ke ”GMT+8” itu lebih berorientasi ke pasar agar jam buka bursa efek kita sama atau lebih banyak tumpang tindihnya dengan jam kerja pasar modal di bursa-bursa di ASEAN dan Asia-Pasifik. Jadi, kita menyerah diatur ”tangan-tangan nan kasatmata”.
Masih mending jika pasarnya bebas, persaingannya adil dan rasional sesuai dengan motto laissez faire. Kalau pasarnya didominasi kekuatan-kekuatan raksasa ekonomi, berarti kita menerima Darwinisme sosial: membiarkan ”kesintasan Si Terkuat”.
L Wilardjo ; Fisikawan
SUMBER : KOMPAS, 31 Mei 2012
GMTplus8: Ilmiahkah?
Masih mending jika pasarnya bebas, persaingannya adil dan rasional sesuai dengan motto laissez faire. Kalau pasarnya didominasi kekuatan-kekuatan raksasa ekonomi, berarti kita menerima Darwinisme sosial: membiarkan ”kesintasan Si Terkuat”.