Bencana Mikroplastik di Depan Mata

- Editor

Jumat, 12 Mei 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Berawal dari perilaku membuang sampah plastik sembarangan, lautan kini menuju sekarat. Plastik yang terurai hingga berukuran makro dan nano mencemari lautan, termakan ikan, dan meracuni manusia. Tanpa upaya serius, hanya soal waktu kita tak akan bisa lagi mengonsumsi ikan laut.

Secara kasatmata, kita bisa melihat sampah plastik memenuhi sungai dan lautan, terutama di perairan dekat penduduk, seperti Laut Jawa. Bahaya tak kasatmata dipicu praktik buruk buang sampah berupa cemaran partikel plastik mikro atau nano di lautan.

Plastik mikro (microplastics) ialah partikel plastik diamater kurang dari 5 milimeter (mm) atau sebesar biji wijen hingga 330 mikron (0,33 mm). Plastik nano (nanoplastics) ukuran lebih kecil dari 330 mikron.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Partikel itu bisa dari plastik didesain ukuran mikroskopis, biasanya untuk pembersih wajah dan kosmetik. Selain itu, plastik mikro ataupun nano, terutama dari sampah plastik ukuran besar, terurai proses alam. Material modern, seperti tekstil sintetis, tali, pipa, dan cat, juga mengandung plastik mikro.

Masalahnya, plastik itu tak bisa luruh-butuh puluhan sampai ratusan tahun. Begitu partikel itu masuk tubuh organisme, terakumulasi di jaringan tubuh, dan meracuni organ hati.

Di lautan, plastik mikro dan nano yang termakan ikan atau menempel di karang terakumulasi di rantai makanan. Makin besar ikan predator, kian tinggi potensi cemaran plastik mikronya. Jika itu dimakan, tubuh kita tercemar partikel plastik.

Dalam partikel plastik itu terkandung bahan kimia berbahaya, seperti PCBs, DDE, nonylphenols/NP dan logam berat bersifat karsinogenik pemicu kanker. Jadi, cemaran plastik di organisme itu berbahaya bagi kesehatan manusia.

Riset bersama Universitas Hasanuddin dan University of California Davis (2014 dan 2015) menemukan cemaran plastik mikro di saluran pencernaan ikan dan kerang yang dijual di tempat pelelangan ikan terbesar di Makassar, Sulawesi Selatan. Hasil riset dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional, Nature, September 2015.

“Sepertiga sampel atau 28 persennya mengandung plastik mikro,” kata Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar, Akbar Tahir, yang juga menjadi anggota tim peneliti.

Ada 76 ikan yang diteliti kandungan plastik mikronya dari 11 jenis ikan berbeda. “Dari ikan teri sampai tongkol tercemar. Untuk teri, dari 10 ekor, 4 ekor tercemar plastik,” kata Akbar.

Kebanyakan plastik mikro di tubuh ikan berbentuk fragmen. “Selain bersifat karsinogenik, plastik bentuk fragmen berbahaya karena tajam sehingga merusak pencernaan,” ujarnya.

Bom waktu
Temuan plastik mikro pada ikan di pasar di Makassar menunjukkan tingginya pencemaran plastik di laut kita. Riset terbaru, dilakukan Noir Primadona Putra dari Departemen Kelautan Universitas Padjadjaran Bandung dan Agung Yunanto dari Balai Riset dan Observasi Laut Denpasar, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengonfirmasi hal itu.

Noir meneliti cemaran sampah di sekitar Pulau Biawak, Indramayu, Jawa Barat. Total sampah dikumpulkan di pulau itu 68 kilogram yang dikumpulkan dari garis pantai sepanjang 655 meter atau 1 kg per 9,6 meter panjang pantai. Untuk mikro plastik 0,08 per 1 kg. “Mayoritas sampah berupa busa styrofoam dan plastik,” ujarnya.

“Karena Pulau Biawak tak berpenghuni, pencemaran plastik dari daratan sekitar, kemungkinan pesisir Jawa,” ucapnya. Di 46 lokasi lain di Laut Jawa, Kepulauan Seribu, dan perairan Banten ditemukan tingkat cemaran plastik tinggi.

Pencemaran sampah plastik, baik makro maupun mikro, menurut riset Agung, meluas di perairan Indonesia. Sejumlah perairan yang diteliti Agung antara lain Selat Bali, Selat Makassar, dan Selat Rupat di Dumai. Lokasi lain yang diteliti meliputi perairan Taman Nasional Taka Bonerate di Flores, Taman Nasional Bunaken, dan Taman Nasional Bali Barat. “Semua lokasi itu tercemar plastik mikro. Bahkan, perairan dalam yang terisolasi, seperti Laut Banda, pun tercemar,” kata Agung.

Pencemaran plastik mikro di Bunaken 50.000-60.000 partikel per kilometer persegi (km2), Laut Sulawesi 30.000-40.000 partikel per km2, dan Laut Banda 5.000-6.000 partikel per km2. “Pengukuran di Laut Banda melalui ekspedisi Kapal Barujaya 8 pada 2016. Ada banyak sekali plastik mikro,” ujarnya.

Ada empat jenis plastik mikro ditemukan, meliputi plastik tipis, fragmen (bagian plastik hancur), fiber (serat), dan pelet (bijih plastik atau butiran).

Sebagian pencemaran plastik itu bukan dari Indonesia, tetapi terkirim lintas negara. Menurut temuan Noir, sebagian sampah plastik di Pulau Biawak dari Singapura dan India, selain Kalimantan, Semarang, dan Batam. Identifikasi itu bersumber dari merek botol atau gelas plastik.

Dengan memodelkan arus laut, Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan KKP Widodo Pranowo memaparkan, cemaran plastik mikro di Laut Jawa sebagian dari Samudra Pasifik puluhan tahun lalu. “Pola arus arlindo membawa massa air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melalui Indonesia,” ujarnya.

Menurut pemodelan Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, AS, dirilis di jurnal Science, 2015, Indonesia jadi negara kedua terbesar penyumbang sampah ke laut setelah China. Total limbah dibuang Indonesia ke laut 3,2 juta ton.

Kajian sama dilakukan Akbar Tahir dan timnya, menemukan 25 persen ikan di California, AS, juga mengandung plastik mikro. Riset di beberapa negara menunjukkan hal yang sama. “Pencemaran plastik mikro jadi bencana global setelah perubahan iklim,” ucapnya.

Sebagai negara kepulauan yang tergantung pada laut, Indonesia berpotensi terdampak serius pencemaran plastik mikro ini. Selain menghancurkan sumber daya laut, hal itu mengancam pariwisata nasional.–AHMAD ARIF
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juni 2017, di halaman 13 dengan judul “Bencana Mikroplastik di Depan Mata”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB