Hampir setengah penduduk Indonesia adalah perempuan. Jumlah siswa hingga tingkat sarjana juga didominasi perempuan. Namun, amat sedikit perempuan memilih jadi peneliti. Kondisi serupa juga terjadi di negara maju.
Dalam konteks pekerjaan di Indonesia, peneliti Loka Penelitian Teknologi Bersih Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Neni Sintawardani, di Jakarta, Rabu (8/3), mengatakan, profesi peneliti bukan pilihan utama. Pendapatan periset umumnya lebih rendah daripada profesi lain. “Jadi peneliti bukan pekerjaan populer,” ujarnya.
Data Institut Statistika Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) 2015 menyebut, 31 persen peneliti di Indonesia ialah perempuan. Proporsi itu lebih tinggi daripada rata-rata jumlah perempuan peneliti Asia Timur dan Pasifik yang hanya 23 persen, bahkan di dunia 29 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kehadiran banyak perempuan peneliti menunjukkan terbukanya kesempatan adil dan setara bagi perempuan untuk menekuni sains dan teknologi. Kelebihan yang dimiliki perempuan, seperti lebih rinci, teliti, dan telaten, bisa dimanfaatkan untuk kebaikan dan kesejahteraan manusia lewat riset sains dan teknologi.
Peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI, Yenny Meliana, menambahkan, menjadi peneliti butuh kemauan besar. Riset kerap dianggap membosankan, rumit, dan butuh waktu banyak. Padahal, sains dan teknologi menyenangkan. “Tantangan itu seharusnya jadi penyemangat, bukan penghalang,” katanya.
Namun, peneliti bioteknologi kesehatan di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Ratih Asmana Ningrum, menilai, banyak perempuan enggan jadi peneliti karena menganggap itu menjauhkan mereka dari keluarga dan rentan mengalami diskriminasi. “Banyak perempuan peneliti mampu menyeimbangkan karier dan urusan keluarga,” ujarnya.
Diskriminasi di dunia riset Indonesia diakui sejumlah perempuan peneliti LIPI tak terjadi. Kesetaraan lelaki dan perempuan peneliti di Indonesia lebih baik dibandingkan di negara maju, seperti Jepang. “Di lapangan, lelaki dan perempuan peneliti punya tugas dan tanggung jawab sama,” kata peneliti satwa melata dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Evy Ayu Arida.
Meski lebih berat, perempuan yang memilih jadi peneliti harus siap dan berani menghadapi segala konsekuensinya. (MZW)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Maret 2017, di halaman 14 dengan judul “Butuh Lebih Banyak Perempuan Peneliti”.