Butuh Keterlibatan Perguruan Tinggi Swasta
Pola pendidikan kedokteran membutuhkan pendekatan baru agar memenuhi target capaian jumlah dokter umum dan spesialis pada tahun 2025. Hal itu perlu disertai pemetaan kebutuhan dokter spesialis di banyak wilayah agar tidak surplus di bidang tertentu.
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Ilham Oetama Marsis, butuh waktu lama bagi sarjana kedokteran di Indonesia untuk mencapai gelar dokter umum ataupun dokter spesialis.
“Apalagi kalau harus menempuh pendidikan dokter layanan primer,” ujarnya dalam acara Dies Natalis Ke-67 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bertema “Peran Profesi Kedokteran di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN: Where are We Now?”, Rabu (8/2), di Jakarta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Indonesia, sarjana kedokteran harus menempuh pendidikan profesi dokter, pemahiran (internship), dan pengalaman klinik. Setelah itu, mereka bisa mengambil program dokter spesialis ataupun dokter layanan primer. “Di negara seperti Kanada dan Belanda, sarjana kedokteran bisa langsung melanjutkan ke pendidikan spesialis. Meski lama pendidikan relatif sama dengan di Indonesia, materi yang dipelajari lebih fokus dan terintegrasi,” ucap Ilham.
Targetnya, tahun 2025, Indonesia punya 76.000 dokter umum dan 130.000 dokter spesialis. Menurut data IDI per April 2016, ada 110.792 dokter umum dan 30.505 dokter spesialis. Ditambah dokter gigi, jumlah dokter di Indonesia 171.592 orang.
Ketat di standar
Namun, Dekan FKUI Ratna Sitompul menilai, mengubah sistem pendidikan kedokteran agar serupa dengan skema di negara lain bukan langkah ideal. Alasannya, sarjana kedokteran belum sepenuhnya jadi dokter. Mereka baru selesai mempelajari teori kedokteran dan belum pernah bersentuhan dengan pasien. Kekurangan dokter juga tak hanya karena waktu pendidikan lama.
“Program pemahiran dan pengalaman klinik merupakan waktu bagi dokter yang baru disumpah untuk berinteraksi dengan pasien di bawah pengawasan dokter pembimbing. Tujuannya, agar dokter baru mengembangkan fokus, percaya diri, komitmen, dan menambah wawasan kesehatan,” ujarnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran disebutkan, perguruan tinggi swasta yang punya FK berakreditasi A bisa membuka program pendidikan spesialis. Saat ini, program pendidikan spesialis baru ada di 16 perguruan tinggi negeri. “Ketentuannya ialah, FK swasta mengadakan pendidikan spesialis sesuai standar nasional,” ujarnya.
Selain itu, perlu sosialisasi agar dokter umum mau melanjutkan pendidikan spesialis ataupun dokter layanan primer. Hanya 37 persen dari jumlah total alumni FKUI yang melanjutkan pendidikan ke spesialis, padahal ada kesempatan beasiswa.
Menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri, mewakili Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, persebaran dokter menumpuk di kota besar. Karena itu, perlu lebih banyak dokter baru. (DNE)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Februari 2017, di halaman 12 dengan judul “Dorong Peningkatan Lulusan Kedokteran”.