Stephen Hawking; Bersinar di Tengah Keterbatasan

- Editor

Senin, 9 Januari 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Lahir saat Perang Dunia II, mempunyai kemampuan akademik pas-pasan di masa kecil, dan divonis dokter hanya hidup hingga umur 23 tahun tak membuat Stephen Hawking putus asa. Ia justru menjelma jadi ilmuwan tercemerlang abad ke-20 lewat gagasannya tentang lubang hitam dan asal-usul alam semesta. Usianya pun ternyata panjang. Minggu (8/1) esok, ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-75.

Hawking lahir dari keluarga pemikir, tepat 300 tahun setelah kematian fisikawan ternama Galileo Galilei. Ayah dan ibunya merupakan alumni Universitas Oxford, Inggris.

Kegemarannya di masa kecil menatap bintang saat malam musim panas bersama ibunya membuat ia tertarik pada semesta. Meski ayahnya yang ahli penyakit tropis ingin ia jadi ahli pengobatan, langit lebih menarik baginya. Saat kecil hingga awal kuliah, ia bukanlah siswa cerdas. Pada kelas I SD, ia menduduki ranking ketiga terbawah. Ia lebih tertarik permainan di luar kelas dan kegiatan di alam bebas. Ketika awal kuliah di University College, Universitas Oxford, pun ia lebih senang menggeluti tari dan dayung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, semua itu berubah pada 1963. Saat ia berusia 21 tahun, dokter mendiagnosis saraf pengendali ototnya tak berfungsi, penyakit yang di masa kini disebut amyotrophic lateral sclerosis. Dokter memvonis ia hanya mampu bertahan hidup dua tahun.

Sejumlah peristiwa pasca vonis dokter itu, seperti dirawat sekamar di rumah sakit dengan penderita leukemia dan mimpi seolah hidupnya segera berakhir, menyadarkan Hawking bahwa ia masih bisa berbuat sesuatu di sisa hidupnya. ”Sebelum diagnosis itu, aku sangat bosan dengan hidupku. Tidak ada sesuatu yang berharga yang bisa dilakukan,” katanya seperti dikutip Biography.com.

Vonis itu justru mengubah hidupnya. Ia terpacu menyelesaikan studinya, terus menggeluti teori lubang hitam dan alam semesta. Di tengah kondisi fisiknya, ia justru banyak melahirkan gagasan-gagasan fundamental tentang evolusi alam semesta. Gagasan itu tidak hanya memengaruhi dan mengubah pandangan manusia tentang semesta, tetapi juga tentang Sang Pencipta.

Gagasan cemerlang
Salah satu ide Hawking yang memancing banyak perhatian adalah tentang nasib alam semesta. Jika permulaan alam semesta berupa dentuman besar (big bang)—titik ruang waktu bermula—maka akhir dari semesta ada dalam lubang hitam. Seperti dikutip Space.com (16/3/2015), gagasan itu diperoleh dengan memadukan teori relativitas umum Albert Einstein dan teori kuantum. Penggabungan kedua teori itu yang dilakukan bersama kosmolog Roger Penrose juga menunjukkan, lubang hitam tidak sepenuhnya menyerap semua informasi atau benda di sekitarnya.

Pada 1970-an, lubang hitam dipandang sebagai sebuah obyek dengan tarikan gravitasi luar biasa. Benda apa pun dalam jangkauan medan gravitasi lubang hitam tak akan bisa lolos, termasuk cahaya. Kondisi itu membuat manusia tak bisa menelusuri informasi benda apa pun yang masuk dalam lubang hitam.

Pandangan Hawking membantah pandangan lama tentang lubang hitam. Menurut dia, tidak semua informasi di sekitar lubang hitam akan diserap, tetapi masih ada radiasi yang lolos dan dinamai radiasi Hawking. Radiasi itu juga membuat lubang hitam menguap dan menghilang.

Radiasi Hawking sejatinya adalah bagian dari pasangan foton yang lolos dari lubang hitam. Foton itu terbentuk dari tumbukan antara partikel dan antipartikel di sekitar batas medan gravitasi lubang hitam atau yang disebut cakrawala peristiwa (event horizon). Bagian foton di luar cakrawala peristiwa akan lolos, sedangkan yang di dalam cakrawala peristiwa akan tertarik ke lubang hitam.

Ide itu masih jadi tantangan keilmuan hingga kini. Bukan hanya karena sulitnya membuktikan teori itu melalui observasi, melainkan juga rumitnya memahami gagasan penggabungan teori relativitas umum dengan mekanika kuantum. Kerumitan itu yang membuat banyak ilmuwan menilai Hawking sulit mendapat Nobel.

Selain cemerlang, gagasan Hawking juga sering kali menimbulkan keterkejutan publik. Salah satunya pandangan Hawking dalam buku The Grand Design (September 2010) yang mengatakan, terbentuknya alam semesta melalui dentuman besar adalah konsekuensi tak terelakkan dari hukum-hukum fisika, penciptaan spontan, tanpa ada keterlibatan Pencipta. ”Alam semesta bisa menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan.”

Meski demikian, berbagai gagasan Hawking sepanjang karier ilmiahnya mendapat sambutan antusias ilmuwan seluruh dunia. Ia dianugerahi berbagai penghargaan keilmuan bergengsi selain Nobel dan menjadikannya salah satu ilmuwan paling berpengaruh di abad ke-20.

Popularitas Hawking bukan hanya pada masyarakat ilmuwan yang terbatas, melainkan juga khalayak umum. Buku-buku ilmiah populer tentang kosmologi dan alam semesta yang ia tulis, seperti A Brief History of Time (1988), The Universe in a Nutshell (2001), dan A Briefer History of Time (2005), menjadikan Hawking ilmuwan yang sering tampil dalam berbagai acara hiburan. Ia pernah diundang sebagai bintang tamu dalam film Star Trek: The Next Generation danserial komedi The Big Bang Theory serta digunakan karakternya dalam The Simpsons.

Tetap aktif
Menanjaknya karier keilmuan Hawking itu justru terjadi di saat kondisi kesehatannya terus menurun. Sejak 1969, ia harus hidup di kursi roda. Bahkan, ia menggantungkan hidupnya kepada orang lain karena hanya makan dan bangun tidur yang bisa dilakukan sendiri. Setelah menjalani operasi trakeostomi atau pembuatan lubang bernapas pada dinding depan saluran udara tahun 1985, ia kehilangan kemampuan berbicara.

Dengan bantuan ahli komputer yang mengembangkan mesin bicara, ia tetap bisa berkomunikasi. Ia hanya perlu memilih kata-kata yang tertera di layar komputer. Selanjutnya, mesin akan menyintesis kata yang dipilih sehingga menjadi kalimat utuh dan dikeluarkan menjadi suara elektronik.

Di awal penggunaan mesin itu, ia masih bisa memilih kata-kata menggunakan sejumlah tombol di jarinya. Kini, dengan hilangnya kontrol atas seluruh tubuhnya, ia memilih kata-kata itu menggunakan sensor yang dilekatkan di otot pipinya.

Ia tetap meneliti, menulis buku dan jurnal, mengajar, hingga membimbing mahasiswa. Bahkan, pada 2007, dia mendapat kesempatan merasakan lingkungan tanpa gravitasi dengan terbang selama dua jam menggunakan pesawat Boeing 727 yang telah dimodifikasi.

Hawking juga banyak terlibat dalam berbagai proyek riset, seperti proyek sejenis ikat kepala yang bisa membaca pikiran pemakainya pada 2011 atau berkolaborasi dengan ilmuwan lain untuk mengingatkan kemungkinan bahaya yang mengintai dari penggunaan kecerdasan artifisial buatan manusia. Bahkan, pada 2015, bersama pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, dan miliarder Rusia, Yuri Milner, ia menggagas program terobosan Starshot. Proyek itu akan membantu manusia mencari kemungkinan adanya kehidupan di bintang Alfa Centauri, bintang terdekat dari Matahari, dengan waktu yang lebih singkat dari teknologi saat ini.

Di tengah berbagai keterbatasan fisik yang dihadapi, beragam persoalan keluarga yang membayangi, Hawking tetap menunjukkan, kekurangan bukanlah hambatan untuk berkarya. Raga boleh saja terbatas, tetapi pikiran tetap bisa mengembara dan berguna.
STEPHEN WILLIAM HAWKING

LAHIR:
Oxford, Inggris, 8 Januari 1942

ISTRI:
Jane Wilde (1965-1990), Elaine Mason (1995-2006)

ANAK:
Robert Hawking
Lucy Hawking
Timothy Hawking

PENDIDIKAN:
University College, Universitas Oxford
Trinity Hall, Universitas Cambridge

BUKU:
15 buku, di antaranya ”The Large Scale Structure of Space-time” (1973)
PUBLIKASI ILMIAH:
Lebih dari 200 publikasi

PENGHARGAAN:
Albert Einstein Award (1978)
Presidential Medal of Freedom (2009)

SUMBER: HAWKING.ORG.UK

M ZAID WAHYUDI
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Januari 2017, di halaman 16 dengan judul “Bersinar di Tengah Keterbatasan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 26 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB