Komitmen kerja sama antarnegara dalam menanggulangi zika masih lemah. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan penyakit itu sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat yang mencemaskan dunia. Dengan kerja sama, upaya menangkal dan mengendalikan penyakit akan lebih efektif.
Prof Wiku Adisasmito, Koordinator Asia Partnership on Emerging Infectious Disease Research (APEIR), mengemukakan hal itu pada pertemuan terbatas bertema “Virus Zika: Benahi, Deteksi, Kesiagaan, dan Respons Melalui Riset dan Surveilans”, Kamis (17/11), di Nusa Dua, Bali.
Wiku mengatakan, dukungan satu negara kepada negara lain untuk mencegah virus zika menyebar luas secara global masih lemah. Selama ini, negara-negara di dunia cenderung sibuk sendiri menghadapi ancaman penyakit dengan caranya masing-masing. Padahal, kerja sama antarnegara itu penting mengingat penyakit menyebar dengan cepat lintas negara seiring tingginya mobilitas penduduk secara global.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau satu negara sibuk melindungi warganya, sementara negara tetangga atau banyak warganya bepergian ke daerah terinfeksi, itu berisiko,” ujarnya.
Kerja sama yang penting dilakukan terkait riset dan surveilans zika pada manusia, vektor penyebar penyakit, ataupun penyakit itu sendiri. Misalnya, negara-negara di kawasan Delta Sungai Mekong, seperti Vietnam, Kamboja, dan Laos, punya kerja sama surveilans penyakit lintas batas negara. “Indonesia, Singapura, dan Malaysia yang bertetangga belum ada,” ujarnya.
Riset kolaboratif antarnegara pernah dilakukan APEIR saat flu burung merebak. Sejumlah negara di Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Thailand, dan Vietnam, melakukan riset bersama untuk mencari cara terbaik menanggulangi wabah flu burung.
Kapasitas setara
Komite Pengarah APEIR Prof Amin Soebandrio menambahkan, di satu kawasan, kapasitas antarnegara dalam menghadapi ancaman wabah penyakit perlu setara. Itu bertujuan melindungi kawasan tersebut secara efektif.
Menurut peneliti pada Centro de Pesquisas Aggeu Magalhaes Brasil, satu hal yang bisa dikerjasamakan ialah mendesain protokol baku, terutama surveilans vektor penyakit zika, yang bisa diterapkan di semua negara. Selama ini, negara-negara cenderung memakai cara sama, seperti mengatasi demam dengue saat menghadapi zika. Meski virus zika dari famili Flavivirus seperti dengue, karakter dua virus itu berbeda sehingga intervensinya tak sepenuhnya sama.
Pertemuan yang membahas zika di Nusa Dua diikuti 35 orang dari 15 negara, mewakili enam jejaring. Enam jejaring itu ialah East African Integrated Disease Surveillance Network, Southern African Center for Infectious Disease Surveillance (SACIDS), Middle East Consortium on Infectious Disease Surveillance (MECIDS), Southeast European Center for Surveillance and Control of Infectious Disease (SECIDS), Mekong Basin Disease Surveillance (MBDS), dan APEIR.
Jejaring itu bernaung di bawah Connecting Organizations for Regional Disease Surveillance (CORDS). Mereka bekerja di ranah riset dan surveilans. Mereka mengajukan usulan penanggulangan penyakit kepada pemerintah setiap negara.
Emma Orefuwa, Manajer Program CORDS, menjelaskan, pertemuan itu diharapkan menghasilkan kerja sama antarnegara dalam penguatan kapasitas, inovasi, dan membentuk jejaring lebih luas. Jadi, penanggulangan penyakit bisa lebih baik. (ADH)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 November 2016, di halaman 14 dengan judul “Perkuat Kerja Sama”.