Yoshinori Ohsumi sedang berada di laboratoriumnya di Tokyo, Jepang, ketika komite Hadiah Nobel mengabari bahwa dirinya mendapat Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2016, Senin (3/10). Ini adalah buah dari ketekunannya menempuh dunia sunyi di laboratorium selama hampir tiga dekade.
Yoshinori (71), pria asal Fukuoka, Jepang, mendapat Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2016 karena berhasil mengungkap otofagi (autophagy), yaitu mekanisme sel mendaur ulang atau memperbaiki dirinya untuk tetap bertahan.
Otofagi adalah pengumpulan komponen sel pada organel, lalu dikirim ke satu tempat dalam sel bernama lisosom atau vakuola untuk dihancurkan dan didaur ulang. Proses ini kerap terjadi pada kondisi kelaparan sehingga memungkinkan sel tetap bertahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Konsep otofagi sebenarnya sudah dikenal para ilmuwan sejak tahun 1960-an saat diketahui bahwa sel mengirim komponennya yang rusak pada pusat daur ulang. Namun, pengetahuan para ilmuan hanya sampai di situ. Soal bagaimana proses daur ulang berlangsung masih gelap.
Pada 1990-an, Yoshinori menggunakan ragi untuk meneliti gen apa yang berperan dalam otofagi. Kemudian, ia mengungkap mekanisme yang mendasari otofagi terjadi. Ia menunjukkan bahwa proses itu juga terjadi pada sel tubuh manusia.
Terpengaruh ayah
Yoshinori mengatakan, jalan hidupnya menjadi seorang peneliti besar kemungkinan dipengaruhi oleh ayahnya yang merupakan profesor teknik di Kyushu University, Jepang. Yoshinori, yang tumbuh dan bertahan pasca perang dunia kedua, terbiasa akrab dengan kehidupan akademik ayahnya. Ia lebih menyukai ilmu alam dibandingkan dengan ayahnya yang bekerja di bidang yang sangat berorientasi industri.
Saat di bangku sekolah menengah, pemuda itu tertarik dengan ilmu kimia. Ia kemudian masuk University of Tokyo. Akan tetapi, ia menyadari, ternyata kimia tidak begitu menarik buatnya karena bidang ilmunya yang sudah mapan.
”Saya pikir, saya beruntung karena tahun 1960-an adalah era keemasan biologi molekuler sehingga saya memutuskan bekerja di bidang itu,” ujarnya dalam The Journal of Cell Biology, April 2012.
Namun, tidak banyak laboratorium biologi molekuler di Jepang saat itu. Selagi mahasiswa, ia melakukan penelitian sintesis protein pada Escherichia coli di laboratorium pimpinan Dr Kazutomo Imahori.
Sayangnya, hasil kerja Yoshinori di tempat itu tidak memuaskan. Selain itu, begitu lulus kuliah, ia juga menghadapi kenyataan bahwa sulit untuk mendapat pekerjaan yang bagus saat itu di Jepang. Atas saran Imahori, ia akhirnya melanjutkan studi postdoctoral di The Rockefeller University, New York, Amerika Serikat.
Fase hidup di Amerika adalah masa-masa tersulit dalam hidup Yoshonori. Di laboratorium pimpinan Dr Gerald Edelman, Yoshinori tidak lagi meneliti E coli, tetapi sel mamalia dan biologi perkembangan. Dengan bidang itu, ia seharusnya menghasilkan sistem reproduksi buatan (in vitro fertilization/IVF) pada tikus. Namun, ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam embriologi dan hanya mengerjakan sel telur yang sedikit. Yoshinori pun frustrasi.
Setelah 1,5 tahun berlalu, ia memutuskan bekerja dengan koleganya, Mike Jazwinski, yang meneliti duplikasi DNA pada ragi. Ini adalah pertama kalinya Yoshinori meneliti ragi. Langkah ini menjadi lompatan terbesar dalam perjalanan kariernya sebagai peneliti.
Akhir 1977, Yoshinori ditawari bekerja sebagai profesor yunior di laboratorium pimpinan Yasuhiro Anraku di Fakultas Sains University of Tokyo. Tawaran ini memungkinkannya kembali ke Jepang.
Fisiologi vakuola
Saat itu, banyak ilmuwan mempelajari bagaimana ion dan molekul pada membran plasma sel bergerak atau berpindah. Namun, masih sangat sedikit yang mendalami bagaimana perpindahan antarmembran organel, sebuah ikatan struktur membran subselular di dalam sel.
Vakuola, ruang atau rongga yang terbentuk dalam protoplasma sel, dianggap sebagai tong sampah dalam sel. Tidak banyak ilmuwan yang tertarik untuk menguak proses fisiologis yang terjadi di dalamnya. ”Karena itu, saya pikir mempelajari hal ini akan menarik karena saya tidak banyak mendapat kompetitor. Saya orangnya tidak begitu kompetitif, jadi saya selalu mencari bidang baru untuk dipelajari,” katanya.
Alasan lain mempelajari fisiologi vakuola adalah selama bekerja di laboratorium sangat mudah untuk mengerjakan vakuola. Yoshinori menemukan banyak sistem perpindahan dalam membran vakuola.
Bersama ilmuwan muda di laboratoriumnya yang kecil, akhirnya ia berhasil mengungkap gen yang berperan dalam proses otofagi di bawah cahaya dan mikroskop elektron.
Hasil riset Yoshinori membuka pemahaman terhadap mekanisme otofagi dalam proses fisiologis, seperti dalam adaptasi terhadap kelaparan dan respons terhadap infeksi. Mutasi gen otofagi bisa menimbulkan penyakit. Proses otofagi berperan dalam beberapa kondisi, seperti kanker dan penyakit saraf.
Setelah infeksi, misalnya, otofagi bisa menghilangkan bakteri atau virus yang menyerang sel. Otofagi berperan dalam pembentukan embrio dan pembelahan sel. Otofagi juga berperan menangkal efek negatif penuaan.
Terganggunya proses otofagi dikaitkan dengan penyakit parkinson, diabetes melitus tipe 2, dan penyakit degeneratif lain. Sementara mutasi pada gen yang berperan pada otofagi berhubungan dengan kanker.
Menurut Yoshinori, saat ini peneliti muda, setidaknya di Jepang, cenderung ingin mendapatkan pekerjaan yang mapan dan takut mengambil risiko. Mayoritas memutuskan bekerja di bidang yang sudah populer dan mapan untuk mengejar jumlah publikasi ilmiah.
”Penelitian tidaklah mudah. Kerjakan apa yang membuatmu tertarik dan tidak banyak orang kerjakan,” ujarnya seperti dikutip titech.ac.jp, Desember 2012.
AP PHOTO/KYODO NEWS/AKIKO MATSUSHITA
YOSHINORI OHSUMI
Lahir: Fukuoka, Jepang, tahun 1945
Pekerjaan
2016-sekarang: Profesor, Institute of Innovative Research, Tokyo Institute of Technology
2014-sekarang: Honorary Profesor, Tokyo Institute of Technology
Beberapa penghargaan:
2016, Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran, Paul Jansen Award
2015, The Canada Gairdner International Award, The Person of Cultural Merit, The Keio Medical Science Prize, International Prize for Biology, The Japan Society
2013, Thomson Reuters Citation Laureates
2012, Kyoto Prize, The Inamori Foundation
2008, Asahi Prize, The Asahi Shimbun
2007, Science Award of the Botanical Society of Japan
2006, Japan Academy Prize, The Japan Academy
2005, Fujiwara Award, The Fujiwara Foundation of Science
ADHITYA RAMADHAN
———————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2016, di halaman 16 dengan judul “Jalan Sunyi Peneliti Biologi Sel”.