Kemandirian pangan nasional perlu sinergi antara lembaga riset, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan petani. Sebagai tahap awal, sinergi dirintis untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, yakni padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.
Menurut Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati, Rabu (15/6), di Jakarta, hal itu tertuang dalam Rencana Induk Riset Nasional sampai 2019 soal pangan dan pertanian.
Program tersebut diterapkan kelompok kerja, melibatkan unsur terkait, antara lain Kemristek dan Dikti, Kementerian Pertanian, Badan Tenaga Nuklir Nasional, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. “Sinergi satu program ini bisa menghasilkan efek berlipat ganda ketimbang diseminasi sendiri-sendiri,” kata Dimyati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil inovasi peternakan lembaga pemerintah nonkementerian dan perguruan tinggi itu diterapkan di 22 unit pelaksana teknis di Kementan. Ada juga integrasi hasil riset benih varietas unggul LPNK dan perguruan tinggi di 11 provinsi.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan M Syakir menambahkan, selain ke area sentra pertanian, inovasi hasil pertanian juga disebar ke area terdepan Indonesia, termasuk lahan suboptimal. Jadi, ada pemetaan karakteristik daerah itu meliputi ekonomi, sosial budaya, dan aksesibilitas.
Perluasan area pertanian didukung Batan yang punya beragam varietas unggulan padi dan kedelai. Varietas itu dihasilkan dengan teknik iradiasi dan pemuliaan tanaman. “Batan memetakan daerah lahan di Indonesia, termasuk lahan kering sesuai varietas unggulan,” kata Deputi Sains dan Aplikasi Teknologi Nuklir Batan Ferhat Aziz.
Integrasi sapi-sawit
Sementara kemandirian pangan daging, khususnya daging sapi, menurut Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kemristek dan Dikti Jumain Appe, lewat integrasi perkebunan sawit dan peternakan sapi. “Program pertanian terpadu sapi-sawit dirintis enam tahun di PTPN VI di Sumatera di lahan 5.000 hektar,” ujarnya.
Di kawasan tersebut dihasilkan 2.000 sapi untuk pedaging dan diperah susunya. Adapun limbah sawit dijadikan pakan ternak. Perkebunan itu menerapkan sistem nirlimbah karena kotoran sapi diolah jadi biogas dan pupuk hayati. “Potensi perkebunan kelapa sawit seluas 12 juta hektar ini besar untuk mendukung swasembada daging sapi,” ucapnya.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Bambang Sunarko, pihaknya memperbaiki bibit unggul sapi lokal lewat kawin silang dengan inseminasi buatan dan transfer embrio. Program ini dilakukan di Banyu Mulek, Nusa Tenggara Barat. Dari pusat riset peternakan tersebut dihasilkan biogas, pupuk bio, pakan ternak, dan produk pertanian organik.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Muladno menjelaskan, hasil inovasi diterapkan di 50 sentra ternak di 17 provinsi. (YUN)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Integrasikan Hasil Inovasi”.