Sejumlah Hasil Penelitian Teronggok, Berulang, dan Minim Publikasi
Perguruan tinggi didorong untuk menguatkan riset yang tak sekadar menghasilkan publikasi ilmiah, tetapi juga inovasi yang dapat diproduksi massal dan dikomersialkan. Ada wacana agar perguruan tinggi negeri diwajibkan untuk menghasilkan minimal satu inovasi per tahun.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Dimyati, Selasa (16/2), di Jakarta, mengatakan, terintegrasinya pendidikan tinggi dengan riset dan teknologi harus membuahkan hasil hingga terjadinya hilirisasi penelitian. Untuk itu, penguatan riset di perguruan tinggi dilakukan, termasuk menguatkan kolaborasi riset di perguruan tinggi dengan lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) pemerintah hingga litbang industri.
“Riset-riset yang ada selama ini banyak yang tumpang tindih. Bukan saja terjadi antara satu perguruan tinggi dan yang lainnya, melainkan juga dengan litbang yang ada. Karena itu, dengan disiapkan rencana induk riset nasional (RIRN), diharapkan riset bisa saling melengkapi dan fokus pada keunggulan masing-masing. Dengan mengacu pada RIRN, meski sumber daya penelitian terbatas, tetap bisa fokus dan hasilnya optimal,” kata Dimyati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Dimyati, anggaran riset di perguruan tinggi terus meningkat. Dari APBN setidaknya tersedia anggaran penelitian untuk perguruan tinggi Rp 1,5 triliun. Selain itu, dana riset juga bisa didapat dari pemanfaatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) setiap perguruan tinggi.
Dari hasil Rapat Kerja Nasional Kemristek dan Dikti 2016, beberapa waktu lalu, PTN diminta untuk merealokasi dana dari masyarakat/PNBP. Minimum 25 persen untuk PTN badan hukum, 15 persen untuk PTN badan layanan umum, dan 10 persen untuk PTN satuan kerja. Adapun PTN baru dikecualikan dari ketentuan ini.
Selain itu, ada pula dana penelitian dari Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan senilai Rp 300 miliar. Pemerintah juga menggencarkan kerja sama riset dengan negara lain yang juga melibatkan perguruan tinggi.
Penelitian di perguruan tinggi pun harus mengacu pada bidang riset nasional untuk mendukung pembangunan bangsa. Bidang riset meliputi energi, pangan dan pertanian, kesehatan dan obat, transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, hankam, material maju, sosial humaniora (termasuk di dalamnya riset bidang pendidikan dan seni), kemaritiman, kebencanaan, serta kebijakan publik.
Saat ini, proses bisnis dan output lembaga penelitian ditetapkan berbeda. Lembaga penelitian akademik harus menghasilkan publikasi internasional, paten, prototipe (tingkat kesiapan teknologi/TRL 6 dan 7). Adapun lembaga penelitian inovatif menghasilkan TRL 9 dengan hasil penelitian secara teknologi siap diproduksi massal dan dikomersialkan. Ada pula pusat unggulan iptek, yakni yang sudah memiliki inovasi yang dikomersialkan, dan science and techno park sebagai inkubasi untuk wadah bagi pengusaha pemula berbasis teknologi.
Secara terpisah, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, penelitian tidak selesai pada dibuatnya laporan. Ada satu tahap lagi yang penting, yakni diseminasi hasil riset tersebut sehingga dimanfaatkan dan diterapkan. Indikator utama keberhasilan riset adalah aplikasi dan pengembangannya.
Teronggok
“Faktanya, hasil riset kita justru banyak teronggok di perpustakaan pribadi, perpustakaan kampus, dan tidak terpublikasi secara meluas,” ujar Edy.
Hal ini, menurut Edy, tak hanya memboroskan anggaran, tetapi juga membuat hasil penelitian tak diterapkan dan terjadi pengulangan obyek penelitian yang sama. Sejumlah penelitian tidak mengandung kebaruan, hanya formalitas, serta hanya dalam rangka pemenuhan angka kredit untuk kenaikan pangkat dosen dan peneliti. (ELN)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Februari 2016, di halaman 12 dengan judul “Perkuat Riset ke Hilir”.