“Bagi saya, amputasi adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan. Jika masih mungkin dihindari, saya akan menghindarinya,” ujar Prof Dr Alexander Lerner saat ditemui wartawan Indonesia, bulan lalu, di Ziv Medical Center Safed, sebuah rumah sakit di bagian utara Israel, yang lokasinya berdekatan dengan perbatasan Israel dengan Lebanon dan Suriah. Dokter Lerner adalah dokter bedah tulang asal Rusia yang dalam beberapa tahun terakhir ini bekerja di Israel.
Pada saat ini, ia tengah merawat tujuh pasien korban perang saudara di Suriah. Salah seorang di antaranya dokter yang mengalami luka parah di kaki dan tangan. Jika di rumah sakit negara lain, pasti kaki atau tangan mereka sudah diamputasi. “Saya berhasil menyembuhkan luka mereka meskipun memang perlu waktu agak lama,” ujar dr Lerner saat mengunjungi ketujuh pasien asal Suriah itu.
Sejak dimulainya perang saudara di Suriah tahun 2013, ada 610 pasien asal Suriah yang dirawat di Ziv Medical Center Safed. Menurut dr Lerner, sama sekali tidak ada perbedaan perlakuan terhadap pasien, apa pun kewarganegaraannya. Dokter Lerner pernah menyembuhkan seorang anak perempuan yang kehilangan tempurung lututnya akibat terkena ledakan bom. Dengan peralatan bantu tulang yang canggih, ia berhasil menyambung kembali tulang anak itu dan memanjangkan tulangnya sehingga anak itu bisa berjalan kembali. Hanya saja, kaki kiri yang tempurung lututnya hilang tidak bisa ditekuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peralatan bantu tulang yang canggih itu cukup mahal, rata-rata harganya 3.000 dollar AS (hampir Rp 40 juta), dan tidak jarang peralatan itu tetap terpasang ketika pasien Suriah itu kembali ke negaranya. Rata-rata pasien yang mengalami luka parah itu menghabiskan biaya 15.000 dollar AS (hampir Rp 200 juta) per orang. Beruntung Ziv Medical Center Safed mendapatkan sumbangan dari warga Israel.
Di Ziv Medical Center Safed, dr Lerner dibantu oleh Fares Issa, warga Arab Israel, pekerja sukarela yang sekaligus menjadi penerjemah dalam berkomunikasi dengan pasien-pasien asal Suriah. Sangat mudah terlihat betapa pasien-pasien asal Suriah itu akrab dengan Fares Issa yang sangat supel itu. Fares Issa dalam kesempatan itu juga memuji keahlian dr Lerner dalam menyembuhkan pasien-pasiennya.
KOMPAS/JAMES LUHULIMA–Prof Dr Alexander Lerner, dokter bedah tulang asal Rusia (kanan), didampingi Fares Issa, tenaga sukarela dan penerjemah bahasa Arab, berpose di fasilitas perawatan intensif bedah tulang di Ziv Medical Center Safed yang berlokasi di dekat perbatasan Israel dengan Suriah dan Lebanon.
Ada pengalaman yang tidak bisa dilupakan dr Lerner, yakni ketika ia menerima pasien seorang ibu muda dari Suriah yang mengalami luka parah pada kakinya. Saat itu, dr Lerner yakin bahwa luka parah itu dapat disembuhkan dan kakinya tidak perlu diamputasi. Namun, ibu itu berkeras meminta kakinya diamputasi karena ia mempunyai anak yang harus diurus di Suriah. Ia takut jika tidak diamputasi, waktu penyembuhan menjadi lama dan tidak ada yang mengurus anaknya. Akhirnya, dr Lerner tidak punya pilihan lain kecuali mengalah. Dan, beberapa hari setelah diamputasi, ibu muda itu kembali ke Suriah.
Sejak dimulainya perang saudara Suriah hampir tiga tahun lalu, ada 2.000 warga Suriah yang dirawat di empat rumah sakit di bagian utara Israel. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Mereka umumnya ditinggal rekan-rekan atau sanak keluarganya di perbatasan Suriah dengan Israel. Tentara Israel yang berjaga di perbatasan itu kemudian membawa mereka dengan ambulans ke empat rumah sakit yang berada di bagian utara Israel.
Tahun 1910
Ziv Medical Center Safed didirikan pada tahun 1910 untuk melayani kesehatan dari 250.000 penduduk lokal yang tinggal di bagian utara Israel serta pendatang dan wisatawan yang datang untuk bisnis, rekreasi, dan wisata rohani. Letak Ziv Medical Center Safed yang berdekatan dengan perbatasan Lebanon dan Suriah membuat kerja sama antara rumah sakit itu dan Angkatan Bersenjata Israel sangat dekat. Ribuan warga Israel, termasuk tentara dan penduduk yang tinggal di Dataran Tinggi Golan dan di selatan Lebanon, warga Suriah, serta personel pasukan perdamaian PBB yang menderita sakit, mengalami luka akibat perang, korban kekerasan, atau kecelakaan lalu lintas pernah dirawat di Ziv Medical Center Safed.
Pada pertengahan 2006, pada masa Perang Lebanon II, salah satu sisi Ziv Medical Center Safed dihantam rudal Katyusha. Walaupun demikian, rumah sakit itu tetap melayani pasien-pasiennya yang saat itu cukup banyak, rata-rata 1.500 orang, termasuk 700 warga sipil dan 800 tentara.
Tidak mengherankan jika Ziv Medical Center Safed dianggap sebagai salah satu rumah sakit korban perang terbaik di Israel. Dan, dari waktu ke waktu, Ziv Medical Center Safed selalu meningkatkan fasilitas dan mutu pelayanannya. Dokter-dokter spesialis dari Rumah Sakit Pusat Israel dikirim untuk memperkuat Ziv Medical Center Safed.
Saat berjalan menuju tempat perawatan pasien korban perang Suriah, dr Lerner menunjuk ke arah jendela yang kacanya retak-retak terkena hantaman rudal Katyusha pada Perang Lebanon II hampir 10 tahun lalu. Kaca-kaca itu tidak diganti untuk mengingatkan semua orang bahwa rumah sakit itu terletak di garis depan. Ziv Medical Center Safed hanya berjarak 30 kilometer dari perbatasan Suriah dan untuk roket-roket buatan saat ini rumah sakit itu berada dalam jangkauan.
Perang saudara di Suriah masih tetap berlangsung. Sesekali suara dentuman bom di Suriah itu terdengar dari Bental, pos penjagaan Israel di Dataran Tinggi Golan. Dari pos yang berlokasi di puncak bukit itu, tentara Israel dapat mengamati wilayah Suriah di kejauhan. Dengan menggunakan lensa tele, tampak beberapa bangunan porak poranda di dekat perbatasan Israel yang merupakan bagian dari kota Suriah yang telah ditinggalkan. Di dekat pos Bental itu juga terdapat pos pengamatan pasukan perdamaian PBB.
Walaupun pertempuran antara pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan pasukan oposisi tidak terlihat dari pos penjagaan Bental, dari waktu ke waktu suara dentuman bom terdengar cukup jelas.(JAMES LUHULIMA)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2016, di halaman 24 dengan judul “Ziv Medical Center, Rumah Sakit Segala Bangsa”.
————–
Menyediakan Sumber Air Bersih Sendiri
Penyediaan air bersih yang mencukupi menjadi masalah bagi hampir semua kota besar di dunia. Pertambahan penduduk yang sangat pesat tidak diikuti oleh penyediaan air bersih yang mencukupi. Akibatnya, orang mengambil cara yang mudah, yakni mengambil air dari dalam tanah. Namun, pengambilan air tanah secara tidak terkendali itu mengakibatkan menurunnya permukaan tanah dan merembesnya air laut ke darat.
KOMPAS/JAMES LUHULIMA–Air kotor buangan rumah tangga diproses di Igudan, salah pusat daur ulang air kotor di Tel Aviv, Israel.
Hal yang sama pun dialami oleh kota-kota di Israel. Pada tahun 1955, tujuh kota di Israel, yaitu Tel Aviv-Jaffa, Ramat Gan, Givataim, Holon, Bat-Yam, Bnei Brake, dan Petah Tikva, mendirikan perusahaan daur ulang air yang diberi nama Igudan.
Bahan baku air bersih yang terbatas membuat Israel harus menghemat penggunaan air, menyuling air laut, dan mendaur ulang air kotor buangan rumah tangga (sewage). Bagaimanapun, 99,8 persen dari air kotor buangan rumah tangga adalah air. Atas dasar itulah air kotor buangan rumah tangga didaur ulang.
Hal itu tidak seperti di banyak negara lain di mana sebagian air kotor buangan rumah tangga dibuang ke selokan. Sementara air kotor dari toilet ditampung di dalam reservoir, yang tidak jarang merembes ke dalam tanah. Di Israel, air kotor buangan rumah tangga, termasuk dari WC (water closet) atau toilet, dari setiap rumah disalurkan melalui pipa-pipa di bawah tanah ke tempat penampungan wilayah. Dari tempat-tempat penampungan wilayah itu, air kemudian disalurkan ke tempat penampungan pusat melalui pipa-pipa besar dengan diameter 60 sentimeter hingga 2,7 meter pada kedalaman 30 meter di bawah permukaan tanah. Dari tempat penampungan pusat, air kotor itu dikirim ke perusahaan daur ulang air yang tersebar di beberapa tempat di Israel untuk diolah menjadi air bersih layak minum. Jaringan pipa air kotor buangan rumah tangga itu panjangnya 120 kilometer.
Akan tetapi, penyaluran air kotor buangan rumah tangga dari tiap-tiap rumah hingga ke tempat penampungan pusat tidak selalu berlangsung lancar. Kadang-kadang aliran air kotor itu mengalami penyumbatan karena banyaknya kertas tisu yang dibuang ke dalam WC. Penyumbatan itu biasanya tidak berlangsung lama karena pipa-pipa itu dilengkapi dengan sensor yang dapat memberi tahu secara tepat lokasinya. Dengan demikian, petugas yang menggunakan pakaian khusus yang tidak tembus air akan masuk ke dalam pipa di mana penyumbatan terjadi dan langsung mengurai penyumbatan itu.
Petugas yang masuk ke dalam pipa itu kerap kali juga menemui telepon genggam dan binatang piaraan yang mati, terutama ikan. “Untuk telepon genggam, mungkin terjatuh dari saku pada saat tombol bilas (flush) telanjur ditekan, sedangkan untuk ikan peliharaan yang mati, mungkin karena anak-anak melakukan ‘upacara pemakaman’ ikan peliharaannya dengan membuangnya di WC,” ujar Meir Ben Noon, Kepala Pemandu Pusat Pengunjung Igudan.
Di perusahaan daur ulang air itu, semua air kotor buangan rumah tangga kemudian diproses menjadi air bersih layak minum serta produk sampingan, seperti pupuk dan biogas, yang digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik.
Ben Noon dengan nada bangga menyebut bahwa Israel berada di urutan teratas dari negara-negara yang mendaur ulang air kotor buangan rumah tangga dengan mendaur ulang 85 persen dari air kotor buangan rumah tangga. Singapura berada di urutan kedua dengan 32 persen, diikuti Spanyol (27 persen), Australia (15 persen), Amerika Serikat (14 persen), dan Tiongkok (13 persen).
Untuk pertanian
Air hasil daur ulang yang sudah memenuhi kualitas air minum itu kemudian disalurkan ke selatan untuk mengairi tanah pertanian. Melalui ketersediaan air daur ulang dan pemberian pupuk, Israel berhasil mengubah gurun yang gersang menjadi lahan pertanian yang subur. “Tidak ada yang istimewa di sana selain ketersediaan air yang mencukupi dan pemberian pupuk yang tepat,” kata Oren Roznblat, juru bicara biro Kementerian Luar Negeri Israel.
Dalam perjalanan selama dua jam dari Jerusalem ke selatan menuju Pelintasan Kerem Shalom, Roznblat berulang kali menunjukkan kebun buah-buahan yang sebelumnya merupakan padang pasir. Dari kejauhan terlihat jaringan pipa air muncul dari dalam permukaan tanah.
Kebutuhan air bersih negara berpenduduk 8,17 juta orang itu sebanyak 2 triliun liter per tahun. Dari jumlah itu, sebanyak 1,1 triliun liter per tahun (56 persen) digunakan untuk keperluan pertanian, 800 miliar liter per tahun (38 persen) untuk keperluan rumah tangga, dan 120 miliar liter per tahun (6 persen) untuk kepentingan industri.
Air bersih yang dihasilkan dari daur ulang air kotor buangan rumah tangga itu hanya 0,7 triliun liter per tahun. Kekurangannya, terutama air minum, diambilkan dari proses desalinasi air laut menjadi air tawar. Proses desalinasi air laut Israel sudah demikian canggih sehingga dalam waktu 90 menit air tawar sudah dapat diperoleh. Israel pada saat ini memiliki lima pusat desalinasi.
Dari satu pusat desalinasi terbesar dialirkan 624 juta liter air bersih dengan kualitas air minum per hari. Ditargetkan dalam waktu dekat jumlah air bersih yang dihasilkan melalui proses desalinasi mencapai 600 miliar liter per tahun.
Selain itu, Israel juga memproses air bersih yang berasal dari air hujan. Rata-rata curah hujan di Israel mencapai 1,2 triliun liter per tahun, tetapi pada tahun-tahun dengan musim kering yang lama, curah hujan itu hanya 900 miliar liter per tahun.
Kini dapat dikatakan bahwa Israel sudah dapat memenuhi kebutuhan air bersihnya sendiri. (JL)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2016, di halaman 24 dengan judul “Menyediakan Sumber Air Bersih Sendiri”.