Pertautan Yahudi-Palestina

- Editor

Rabu, 20 Desember 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Konflik Palestina dan Yahudi-Israel telah menjadi perseteruan panjang dalam sejarah umat manusia. Dua suku bangsa memperebutkan Tanah Air yang sama melalui serangkaian perang berdarah. Baru-baru ini, konflik memanas karena pengakuan sepihak Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahwa Jerusalem adalah ibu kota Israel.

Padahal, sebenarnya keduanya memiliki modal besar untuk hidup berdampingan dalam damai. Selain sama-sama suka hummus sebagai masakan tradisional, keduanya pun sama-sama mengakui Jerusalem sebagai kota suci, riset genetik membuktikan, Palestina dan Yahudi berasal dari leluhur yang sama.

”Perseteruan mereka lebih berakar pada perbedaan budaya dan agama, bukan oleh genetik atau asal-usul leluhur yang ternyata berakar sama,” demikian kesimpulan studi yang dipimpin profesor genetika dari Complutense University-Madrid, Antonio Arnaiz-Villena.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Antonio Arnaiz-Villena menelisik keberadaan variasi gen dan tipe humanleukocyte antigen (HLA) orang-orang Palestina dan kemudian membandingkannya dengan berbagai populasi lain di dunia, termasuk Yahudi. Gen HLA selama ini digunakan untuk meneliti kaitan populasi dan asal-usul geografisnya.

Menurut dia, baik Palestina maupun Yahudi berasal dari leluhur yang sama: orang-orang Kan’an (Canaanities) yang hidup di area yang kini diklaim Israel dan Palestina, sejak 3.000 tahun lalu. Orang-orang Kan’an ini kemudian berbaur secara intensif dengan Mesir, Mesopotamia, dan Anatolia.

Hasil studi awalnya diterbitkan jurnal Human Immunology pada tahun 2001. Namun, publikasi ilmiah ini kemudian dicabut oleh penerbitnya. Editor jurnal ini, Nicole Sucio-Foca, dari Columbia University, New York, menyebutkan, artikel ini memicu banyak komplain karena berkonsekuensi politik. Kalangan Israel, ingin mengingkari Palestina sebagai saudara dan memiliki hak yang sama atas tanah yang diperebutkan.

Antonio sangat kecewa. ”Saya telah menulis ratusan paper ilmiah, di antaranya di Nature dan Science. Namun, pencabutan tidak pernah terjadi,” katanya (theguardian.com, 2001).

Studi-studi genetik berikutnya menguatkan kesimpulan Antonio. Penelitian Harry Ostrer, profesor pediatrik dan patologi dari Albert Einstein College of Medicine, New York, tahun 2010, menemukan keterkaitan asal-usul genetik orang Yahudi dengan Palestina, bahkan dengan populasi Arab di Timur Tengah.

Penelitian Ostrer ”Abraham’s Children in the Genome Era” dipublikasikan di The American Journal of Human Genetics menggunakan 652.000 sampel genetik 237 individu terpisah dari tujuh populasi Yahudi yang berada di Iran, Irak, Suriah, Italia, Turki, Mesir, dan Ashkenazi. Sekuen DNA itu kemudian dibandingkan dengan sampel genetik dari non-Yahudi dari The Human Genome Diversity Project atau bank data gen manusia.

REUTERS/AMIR COHEN/FILE PHOTO–Pemandangan dari udara di atas Kota Tua Jerusalem dalam foto yang diambil dari pesawat Angkatan Udara Israel, pada 6 Mei 2014.

Hasilnya, dari tujuh populasi Yahudi ini ditemukan bahwa mereka memiliki asal yang sama, kemudian bercabang dua sekitar 2.500 tahun lalu. Jika dilacak lebih jauh, kedua kelompok populasi Yahudi ini memiliki akar leluhur sama dengan orang Timur Tengah dan Eropa Selatan. Kelompok terdekat dengan leluhur Yahudi di Timur Tengah adalah orang-orang Druze, Bedouin, dan Palestina. Saudara genetik Yahudi di Eropa adalah orang-orang Italia utara, meliputi Sardinia dan Perancis.

Kajian genetika—garda depan dalam penelusuran asal-usul— membuktikan bahwa kedua kelompok bersengketa di Timur Tengah ini sebenarnya berasal dari rahim yang sama. Namun, seperti sengketa di berbagai belahan Bumi lainnya, persaudaraan genetik tidak bisa meredam konflik.

Umat manusia terlalu lama dikotak-kotakkan dengan berbagai sengketa berbasis rasial dan kemudian disemai oleh penganut fanatisme buta agama-agama. Bangsa Yahudi, yang kini mendiami Israel, termasuk kenyang pengalaman sebagai korban ataupun pelaku eksklusi sosial berbasis rasial ini.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 20 Desember 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Maung, Mobil Nasional yang Tangguh dan Cerdas: Dari Garasi Pindad ke Jalan Menuju Kemandirian Teknologi
Menelusuri Jejak Mobil Listrik di Indonesia: Dari Solar Car ITS hingga Arjuna EV UGM
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Kamis, 12 Juni 2025 - 20:36 WIB

Maung, Mobil Nasional yang Tangguh dan Cerdas: Dari Garasi Pindad ke Jalan Menuju Kemandirian Teknologi

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB