Papua Memiliki Gen Denisovan Tertinggi

- Editor

Senin, 10 September 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Riset genetika menunjukkan, orang Papua memiliki gen Denisovan sekitar 4-6 persen. Denisovan merupakan salah satu hominin atau saudara dekat manusia modern (Homo sapiens) yang diketahui telah punah sejak 50.000 tahun lalu.

“Ini merupakan fakta menarik yang perlu dikaji lebih lanjut, termasuk apa implikasinya terhadap kesehatan,” kata Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo Supolo di Sorong, Jumat (7/9).

Herawati mengatakan, selama ini data-data genetik yang menjadi bahan studi berasal dari populasi di Papua Nugini yang dilakukan para peneliti berbagai negara. Data dari Papua, yang di wilayah Indonesia, masih sangat terbatas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Oleh karena itu, sejak beberapa tahun terakhir, kami mulai fokus untuk pengambilan materi genetik di Papua sebagai bagian dari upaya untuk melengkapi peta genetik manusia Indonesia,” kata dia.

Selama 15 tahun terakhir, Lembaga Eijkman lebih banyak bekerja di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Mereka sudah mengambil DNA dari 133 suku di 16 pulau di Indonesia. Namun untuk Papua baru diperoleh DNA dari 11 suku. Padahal Papua memiliki sekitar 220 suku, yang merupakan pulau dengan keragaman tertinggi di Indonesia.

–Anak-anak Papua di Kampung Saga, Distrik Mitamani, Sorong Selatan. Papua memiliki sekitar 220 suku, yang merupakan pulau dengan keragaman tertinggi di Indonesia.

Peneliti Eijkman Gludug Ariyo Purnomo mengatakan, DNA Papua yang sudah diambil yaitu orang Korowai, Kombay, Citak dan Yaqay di wilayah Kabupaten Mappi. Selain itu juga Walsa dan Fermanggam di Kabupaten Kerom.

“Kami juga sudah punya DNA orang Dani dan Sentani. Kali ini kami mendapatkan tambahan data DNA dari orang Serui, Maybrat, dan Biak,” kata Gludug.

Data genetik tentang Papua ini tidak hanya penting untuk mempelajari migrasi manusia, namun juga sangat berguna untuk memahami kerentanan dan daya tahan terhadap penyakit, misalnya malaria dan talasemia. Sebagai daerah endemik malaria, diduga populasi di Papua telah beradaptasi terhadap parasit malaria. Adaptasi ini bisa dilihat dari mutasi gennya.

DNA purba
Menurut Herawati, temuan-temuan terbaru tentang tingginya DNA Denisovan pada orang Papua juga menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sebagaimana diketahui, studi genetik sebelumnya telah mengungkap bahwa manusia modern (Sapiens) saat ini memiliki bauran genetika purba Neandertal dan Denisovan.

Neandertal, Denisovan, dan Sapiens awalnya berasal dari leluhur yang sama hingga sekitar 800.000 tahun lalu. Namun, leluhur mereka kemudian berpisah evolusinya sekitar 600.000 tahun lalu. Leluhur Neandertal dan Denisovan sendiri berpisah sekitar 380.000 tahun lalu. Baru sekitar 200.000 tahun lalu, Sapiens menjadi sosok manusia yang anatominya sudah menyerupai manusia seperti saat ini.

DNA Neandertal diketahui ditemukan di hampir semua populasi modern di luar Afrika. Ini menunjukkan bahwa Sapiens baru bertemu dengan Neandertal setelah leluhur mereka yang keluar dari Afrika sekitar 120.000 tahun lalu.

Proporsi Neandertal tertinggi terdapat pada orang Kaukasus (Eropa Timur), yaitu sekitar 1-2 persen. Sedangkan Denisovan hanya ditemukan pada populasi modern di Asia Timur, Indian-Amerika, Asia Tenggara, dan yang tertinggi di Oseania, termasuk Papua yang mencapai 4-6 persen.

Diduga, leluhur Papua bertemu dengan Denisovan di daratan Asia dalam perjalanan migrasi dari Afrika. Terkait dengan migrasi masa lalu, leluhur Papua diketahui telah tiba di Nusantara sejak sekitar 50.000 tahun lalu, merupakan bagian dari gelombang pertama migrasi manusia modern keluar dari Afrika.

“Pada studi kami terbaru terhadap populasi Rampasasa (Flores Barat), porsi Neandertalnya lebih tinggi dibandingkan Denisovan. Ini karena leluhur mereka lebih banyak dari Asia dibandingkan Melanesia (Papua). Ini menguatkan bahwa, Denisovan lebih banyak ditemukan pada Papua,” kata Gludhug.

Menurut Herawati, pembauran gen antara manusia modern dengan Neandertal dan Denisovan tengah menjadi fokus banyak peneliti di seluruh dunia, termasuk implikasinya terhadap kesehatan dan penyakit genetik. Misalnya, beberapa studi menunjukkan bahwa keberadaan gen Neandertal pada manusia modern turut berperan mengurangi tingkat kesuburan laki-laki, kelainan neurologi, kulit, kekebalan tubuh, hingga kecenderungan perilaku merokok. Namun, pengaruh gen Denisovan terhadap manusia modern masih jarang diketahui.

“Studi genetik di Papua yang dilakukan Eijkman kali ini diharapkan bisa mendapatkan data-data baru yang melengkapi pengetahuan tentang implikasi pembauran manusia modern dengan beragam gen manusia yang lain,” kata dia.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 8 September 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
BJ Habibie dan Teori Retakan: Warisan Sains Indonesia yang Menggetarkan Dunia Dirgantara
Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Rabu, 11 Juni 2025 - 20:47 WIB

Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB