Hingga pekan ini, kawasan Sumatera dan Kalimantan masih diselimuti kabut asap. Demikian pula dengan negeri tetangga Singapura dan Malaysia, meski sudah tak sepekat pekan-pekan sebelumnya.
Akhir September, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Singapura mencapai 341, titik tertinggi sepanjang tahun ini, yang diikuti penutupan sekolah, imbauan agar anak-anak ataupun orangtuanya lebih banyak tinggal di dalam rumah. Karena selama ”cuti bersama” itu konsumsi listrik di rumah meningkat, Pemerintah Singapura menurunkan tarif listrik.
Pertengahan September, ketika ISPU mendekati 200, Pemerintah Malaysia juga meliburkan semua sekolah di Kuala Lumpur, Putrajaya, Selangor, Negeri Sembilan, dan Melaka. Masker dibagikan gratis dan berbagai imbauan untuk menjaga kesehatan disampaikan dengan berbagai cara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Indonesia, perhatian untuk korban terasa minim. DPR, misalnya, yang biasanya kencang berjuang untuk gedung baru atau kenaikan gaji, tak banyak terdengar ketika rakyat menderita. Justru yang muncul adalah solidaritas sosial berbagai anggota masyarakat, dari menyuarakan keprihatinan hingga mengirim masker ke lokasi terdampak asap.
Oleh karena itu, keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut izin tiga perusahaan hutan tanaman industri (HTI) cukup melegakan. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dua perusahaan dicabut izinnya awal pekan ini, yaitu PT Mega Alam Sentosa yang berlokasi di Kalimantan Barat dan PT Dyera Hutan Lestari di Jambi. Akhir September, kementerian ini juga mencabut izin PT Hutani Sola Lestari di Riau (Kompas, 20/10).
Siti juga mengumumkan pembekuan izin empat perusahaan setelah September lalu tiga perusahaan perkebunan dijatuhi sanksi serupa. Total 10 perusahaan mendapat sanksi administratif. Meski tindakan tegas sudah lama ditunggu, sebenarnya apa yang dilakukan pemerintah belum bersifat preventif.
Kebakaran hutan masih akan terus terjadi mengingat ada peraturan pemerintah pusat dan daerah yang memungkinkan masyarakat—apalagi perusahaan—membuka hutan dan lahan dengan membakar. Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, cukup dengan izin kepala desa jika luasan yang hendak dibuka 1-5 hektar, atau izin camat untuk luasan di atas 5 hektar (Kompas, 23/9).
Sebaliknya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan, setiap orang dilarang membuka lahan dengan cara membakar (Pasal 69 Ayat 1 Huruf h).
Mengingat undang-undang adalah induk semua peraturan, seharusnya peraturan pemerintah yang bertentangan tidak berlaku. Maka, pemerintah harus tegas menindak para pelaku pembakaran hutan dan lahan. Pasal 108 UU No 32/2009 itu menyebutkan, setiap pelaku pembakaran lahan dipidana penjara 3-10 tahun dan denda Rp 3 miliar-Rp 10 miliar.
Berbasis undang-undang yang sama, ke depan pemerintah bisa menerapkan Pasal 36 yang mewajibkan setiap kegiatan memiliki izin lingkungan, yang diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Pasal 54 menyebutkan, setiap orang yang mencemari dan atau merusak lingkungan hidup wajib memulihkannya. Agar lingkungan terjamin, Pasal 55 mewajibkan pemegang izin lingkungan menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk menteri, gubernur, bupati, atau wali kota sesuai kewenangannya.
Instrumen memberantas kebakaran hutan dan lahan ternyata telah tersedia. Mengapa menunggu begitu lama?
AGNES ARISTIARINI
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “Mengusir Asap”.