Kabut asap beberapa minggu ini merenggut kesegaran udara pagi Palembang, Jambi, dan kota-kota di Kalimantan. Bernapas sangat tidak nyaman, udara terasa berat, hidung terasa panas, dan aroma asap menyengat. Itulah ritual tahunan yang seperti tak berujung. Apa yang terjadi sesungguhnya?
Pekan kedua September hingga pertengahan Oktober, setiap hari selama beberapa jam, udara Palembang, Sumatera Selatan, dipadati partikel abu lebih dari 10 mikron yang dibawa asap dari pembakaran lahan dan hutan.
Sulit mencari padanan ”sensasi” bernapas pada udara berkabut asap dari pembakaran hutan dan lahan seperti itu. Bagai bernapas di tengah hujan abu ringan letusan gunung. Namun tak sepenuhnya begitu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penduduk Palembang mengeluhkan gangguan kesehatan akibat paparan asap berhari-hari itu, dari keluhan ringan, seperti mata pedih dan berat, napas berat, hingga sulit napas yang perlu perawatan di rumah sakit.
Erin Trisnadika (22), karyawan PT Pelabuhan Indonesia (Persero) II Cabang Palembang, misalnya, dirawat di rumah sakit karena asmanya kambuh di tengah pekatnya asap di Palembang. Ia pun tak masuk kerja.
”Saya sangat sulit bernapas. Baru pertama kali ini asma saya kambuh sejak pindah ke Palembang, Desember tahun lalu. Apakah akan terjadi setiap tahun?” katanya.
Keluhan lain yang dirasakan warga ialah gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), seperti demam, tenggorokan gatal, batuk, hidung berair, juga badan lemas dan mudah lelah.
Pengukuran kualitas udara Badan Lingkungan Hidup Sumatera Selatan (Sumsel) menunjukkan, kualitas udara Palembang dua pekan pada akhir September dan awal Oktober, buruk. Puncaknya terjadi pada 26 September dengan indeks standar pencemaran udara (ISPU) menyentuh angka 800 pada sore hari untuk particulate matter 10. Artinya, kandungan debu di udara pada level berbahaya bagi makhluk hidup. Angka ISPU di atas 300 berarti udara masuk kategori berbahaya, angka 200-299 sangat tidak sehat, 100-199 tak sehat, dan 50-99 tercemar sedang.
Tak mengherankan, penderita ISPA di Palembang bertambah. Selama September ada 4.839 pasien ISPA di 39 puskesmas di Palembang, naik lebih dari 50 persen dibandingkan Agustus.
Data Dinas Kesehatan Sumsel, terjadi peningkatan kasus ISPA di beberapa daerah di Sumsel, yakni Kota Palembang, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Musi Banyuasin.
Di Banyuasin, jumlah pasien ISPA bulan Agustus 5.259 orang, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang berjumlah 4.760 orang. Di OKI, kasus ISPA juga meningkat dari 2.800 orang pada Juli menjadi 3.229 orang pada bulan Agustus.
Kepala Dinas Kesehatan Sumsel Lesti Nurainy mengatakan, paparan asap meningkatkan potensi seseorang mengalami infeksi di saluran pernapasan. ”ISPA disebabkan bakteri. Paparan asap mempercepat infeksi bagi orang-orang yang sudah sakit,” ungkapnya.
Gas dan partikel
Ketua Divisi Penyakit Paru akibat Kerja dan Lingkungan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Agus Dwi Susanto menyampaikan, pada kabut asap ada dua hal yang membahayakan pernapasan: gas dan partikel.
Gas yang terkandung dalam asap hasil pembakaran lahan bisa mengandung karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), nitrogen (N), dan sulfur dioksida (SO2). Gas mudah masuk saluran pernapasan dibandingkan partikel. Peluang masuknya partikel ke saluran pernapasan bergantung ukuran. Partikel di bawah 10 mikron akan mudah masuk dalam saluran pernapasan.
Menurut Agus, kabut asap yang sering kali menyelimuti Sumatera dan Kalimantan akan berdampak akut pada kesehatan. Asap dari pembakaran bersifat iritatif pada membran mata, hidung, saluran pernapasan, hingga paru. ”Efek akut asap ialah iritasi mukosa, mata berair, bersin-bersin, hidung berair, sakit tenggorokan, dahak berlebih, bisa juga sesak napas. Sesak napas itu disebabkan penyempitan saluran pernapasan,” ujar Agus.
Bagi mereka dengan penyakit pernapasan, paparan asap yang sering akan menyebabkan komplikasi. Penderita asma akan semakin sering kambuh. Sesak napas yang dirasakan juga makin berat pada penderita penyakit paru obstruktif kronik.
Jika paparan asap terjadi dalam waktu lama, hal itu menyebabkan peradangan dan penurunan fungsi paru. Bahkan, jika terjadi tahunan, hal itu dapat menyebabkan penyakit paru.
Sebenarnya, ujar Agus, tubuh punya mekanisme sendiri untuk mengeluarkan partikel dari dalam tubuh, misalnya melalui batuk dan dahak. Akan tetapi, jika jumlah partikel yang masuk tubuh terlalu banyak, tubuh akan kesulitan menghadapinya.
Sementara itu, gas dari asap, contohnya karbon monoksida, tidak bersifat iritatif. Meski demikian, gas akan mudah masuk ke dalam darah dan mengikat hemoglobin sehingga suplai oksigen dalam darah berkurang. Seseorang yang mengalami hal itu bisa mati mendadak.
Agus menambahkan, besar kecilnya dampak kesehatan akibat asap sangat bergantung pada konsentrasi partikel dan gas yang terdapat pada asap, jarak dari sumber asap, lama paparan, usia, dan kondisi kesehatan. Kebakaran lahan yang terjadi serentak di wilayah yang luas tentu akan menghasilkan banyak partikel dan gas berbahaya bagi pernapasan. Efek yang ditimbulkannya bersifat akut.
Itu beda dengan asap kendaraan. Dari sisi kandungan, asap kebakaran lahan lebih banyak menghasilkan partikel daripada asap knalpot. Asap knalpot tidak berefek akut, tetapi kronis atau menahun.
Sejauh ini, memakai masker dan mengurangi aktivitas luar ruanglah yang paling disarankan. Namun, lebih dari itu, asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang sebenarnya wajah kegagalan pemerintah menjalankan peran vitalnya: melindungi warga dari bahaya.
Oleh: Irene Sarwindaningrum dan Adhitya ramadhan
Sumber: Kompas, 14 Oktober 2014