Kebakaran Hutan dan Lahan; Menjaga Gambut Tetap Basah

- Editor

Rabu, 16 September 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kemarau ketika El Nino kuat pada saat ini minim dampak bagi masyarakat di Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau. Mereka bangga menunjukkan daerahnya bebas dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Sungguh pengecualian di tengah gambut-gambut di Riau yang dihuni bara api, bahkan ada yang terbakar.

Supaya tak ada kebakaran lagi,” kata Presiden Joko Widodo, sambil menancapkan papan kayu penyekat kanal di Sungai Tohor, 27 November 2014, yang disambut riuh tepuk tangan warga.

Setahun berlalu, harapan Presiden diuji kemarau panjang yang mengikuti fenomena El Nino. Hasilnya, komunitas lokal di Kecamatan Tebing Tinggi membuktikan sekat kanal membuat gambut tetap basah meski satu bulan lebih tanpa hujan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Beda dengan tahun sebelumnya, masyarakat dibuat khawatir akibat kebakaran lahan. Maklum, beberapa tahun belakangan beroperasi perusahaan yang mengeringkan lahan gambut.

Pada lahan gambut dibuat saluran atau kanal-kanal untuk mengalirkan air ke laut. Saat kering, gambut yang tersusun atas material organik membusuk miskin oksigen dan mudah terbakar.

3b00292725644a949549c922ac5e884bKOMPAS/GESIT ARIYANTO–Sekat kanal di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, akhir Desember 2011. Sekat kanal berfungsi mengatur pasang surut air di lahan gambut terbuka yang rentan terbakar. Sekat kanal bisa menjadi salah satu pilihan mencegah kebakaran lahan gambut.

Desa Sei Tohor dihadapkan pada ancaman rembetan api jika saja tak ada sekat pemisah pulau daratan dan hutan gambut terbakar. Sumber penghidupan utama warga, kebun sagu, di atas gambut pun terancam kering dan terbakar.

Namun, kini ancaman-ancaman itu hilang. Tanaman sagu yang butuh gambut lembab tetap hidup. Kanal yang disekat menampung air bagi warga. “Meski kemarau, tinggi air tak berubah. Air ini telah menjadi sumber pamsimas (penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat),” kata Abdul Manan, warga Sei Tohor, Selasa (15/9), yang berharap Presiden blusukan asap ke desanya.

Abdul Manan belum puas. Kebakaran di daerah-daerah lain membuat warga sesak napas selama 20 hari terakhir. Ia berharap daerah-daerah dengan kebakaran pada gambut meniru langkah warganya, agar kanal pengering disekat sehingga tak lagi muncul asap. “Tempat kami membuktikan, gambut basah itu tidak akan terbakar dan tidak menyebabkan asap,” katanya.

Sederhana dan terjangkau
Prinsip sekat kanal itu sangat sederhana. Warga menggunakan papan-papan kayu untuk menahan aliran air dari kanal yang telanjur digali perusahaan.

Azwar Maas, Ketua Pokja Kebakaran Hutan dan Lahan Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia, mengatakan, pembasahan gambut efektif pada kubah gambut. Kubah gambut penyimpan air utama yang menjaga bagian gambut di bawahnya tetap basah. Sementara gambut di kepulauan perlu dilindungi agar air asin (laut) tak mengintrusi air tanah dan daratan.

Pelaksanaannya akan lebih mudah jika Indonesia memiliki peta gambut detail. Azwar menyarankan agar dilakukan pemetaan menggunakan teknologi LiDAR (laser pengukur jarak) meskipun masih relatif mahal.

Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan mengatakan, penyekatan di kanal-kanal yang terkait kubah gambut sangat mendesak. Sejak tahun 2012, kebakaran hutan dan lahan di Riau telah melanda kubah-kubah gambut setempat.

Bukan hanya di Riau, di Sumatera Selatan dan Jambi serta Kalimantan pun kerusakan gambut cukup parah. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan, 4,8 juta hektar gambut di Indonesia berubah jadi kawasan budidaya perkebunan dan hutan tanaman industri. Itu termasuk pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalteng yang menimbulkan kebakaran tahun 1997.

Penyekatan kanal, meski sederhana, bukan perkara mudah. Konsekuensinya, gambut tetap basah. Kondisi itu bisa membusukkan akar tanaman akasia dan sawit. Peraturan Pemerintah No 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, yang mensyaratkan tinggi muka air dengan lapisan teratas gambut 40 sentimeter, masih diprotes.

Kebakaran berkala dalam 18 tahun-data Kompas ada sejak 1967-sebenarnya cukup membuktikan gambut harus diperlakukan hati-hati. Bahkan, bukan untuk aktivitas budidaya yang mengharuskan kering.

Pilihan-pilihan solusi bukan tidak ada. Itu bisa dimulai dengan meninjau izin-izin usaha di lahan gambut. Beberapa saran yang ada, menyerahkan lahan gambut yang terbakar agar dikelola masyarakat dengan tanaman tahan lembab, di antaranya sagu dan nanas.

Itu juga petunjuk Presiden Joko Widodo saat berada di Sei Tohor. “Yang paling baik memang diberikan kepada masyarakat untuk diolah menjadi lahan sagu. Yang dikelola masyarakat biasanya ramah terhadap ekosistem. Tetapi, jika diberikan kepada perusahaan, akan menjadi monokultur, seperti akasia dan kelapa sawit,” ujar Presiden.–ICHWAN SUSANTO
——————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Menjaga Gambut Tetap Basah”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB