20 Tahun Proyek Genom Manusia: Bergunakah?

- Editor

Rabu, 29 September 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Proyek Genom Manusia atau Human Genome Project (HGP) adalah proyek riset ilmu pengetahuan internasional paling ambisius setelah proyek pengiriman manusia ke Bulan. Namun, proyek yang dimulai genap 20 tahun lalu dan berakhir tahun 2003 serta menghabiskan anggaran 3 miliar dollar AS ini mulai banyak digugat: apakah ada gunanya terutama untuk penanggulangan aneka penyakit?

Namun, ada juga yang membelanya dan menyamakan dengan misi Apollo yang terbukti memajukan teknologi komputer dan ilmu material. Begitu pula dengan HGP juga membawa kemajuan di berbagai bidang, mulai dari bioinformatika hingga pengetahuan tentang proses kehidupan kita.

Tujuan utama HGP adalah menentukan sekuens 3 miliar pasangan basa kimiawi yang membentuk DNA (deoxyribonucleic acid)— cetak biru kehidupan kita—dan mengidentifikasi serta memetakan 20.000-25.000 gen dari genom manusia. Tujuan akhirnya adalah untuk mendiagnosis dan meramalkan penyakit serta kerentanan seseorang terhadap penyakit seperti kanker, Alzheimer, dan diabetes, maupun kemungkinan penanggulangannya.

Tak kurang dari majalah Scientific American edisi Oktober 2010 (Volume 303, No 4) yang kini telah beredar mempersoalkan manfaat HGP. Stephen Hall menulis begini: ”HGP telah gagal sejauh ini memproduksi mukjizat medis yang dijanjikan oleh para ilmuwan. Para pakar biologi kini terbagi antara mereka yang khawatir jika ada yang nantinya keliru dan apa yang perlu dilakukan ke depan. Kalau mau ada kemungkinan HGP berhasil, haruslah diikhtiarkan metode-metode generasi mendatang untuk menanggulangi penyakit- penyakit utama”.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara Nicholas Wade menulis di koran International Herald Tribune tanggal 14 Juni 2010 dengan judul lebih ”sadis”: ”Genetic Road Map: Back to Square One”. Ia menulis bahwa tujuan utama HGP tetap amat elusif (elusive) alias sulit ditangkap atau sukar untuk dipahami, terutama untuk melacak akar genetik penyakit-penyakit yang umum seperti kanker dan Alzheimer serta kemudian menghasilkan pengobatan.

Padahal, dunia ilmu pengetahuan sempat berharap amat besar kepada HGP yang pada awalnya ketika dimulai tahun 1990 dipimpin oleh James D Watson di National Institutes of Health. Watson adalah pemenang Hadiah Nobel Kedokteran karena tahun 1953 menemukan struktur DNA bersama asistennya, Francis Crick. Watson bahkan menjadi orang pertama yang genomnya disekuens. ”Sayangnya hasilnya tak pernah diumumkan sampai sekarang, Watson sudah keburu dipaksa mengundurkan diri karena pernyataannya yang amat rasis tentang kecerdasan orang kulit berwarna yang dinilainya lebih inferior dibanding orang kulit putih,” kata Prof Dr Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, ketika dihubungi kemarin petang.

Salah satu tanda ”kegagalan” HGP adalah tak ditemukannya kaitan langsung antara ramalan genetis untuk penyakit jantung. Sebuah tim medis yang dipimpin Nina P Paynter dari Rumah Sakit Perempuan Brigham di Boston yang telah mengumpulkan 101 varian genetik yang secara statistik berkaitan dengan penyakit jantung. Ternyata varian-varian itu tak punya nilai untuk meramalkan penyakit jantung di antara 19.000-an perempuan yang telah diikuti selama 12 tahun.

Metode lama yang melacak sejarah keluarga malah menjadi panduan yang lebih baik, demikian Dr Paynter dalam laporannya di The Journal of the American Medical Association Februari 2010 lalu.

Tak kurang dari Presiden Bill Clinton ketika mengumumkan draf laporan HGP pada 26 Juni 2000 dengan bangga menyatakan bahwa HGP akan menjadi revolusi dalam diagnosis, pencegahan dan pengobatan kebanyakan, kalau tidak semua, penyakit-penyakit manusia.

Dalam konferensi pers, Francis Collins yang kemudian menjadi direktur lembaga genom di National Institutes oh Healts AS malah berani menyatakan bahwa diagnosis aneka penyakit akan dapat dicapai dalam 10 tahun dan pengobatan akan mulai lima tahun kemudian. ”Dalam jangka panjang, mungkin dalam 15-20 tahun lagi, Anda akan melihat transformasi dalam kedokteran terapeutik.”

Industri farmasi pun berlomba-lomba menghamburkan miliaran dollar AS untuk memperoleh rahasia genom untuk dapat segera mengembangkan obat-obatan baru. Namun ternyata penyakit-penyakit lebih kompleks ketimbang yang diantisipasi.

Tidak mubazir

Salah seorang yang masih optimistis bahwa HGP punya manfaat adalah Prof Sangkot Marzuki. ”Seperti misi mengirim manusia ke Bulan, yang pernah dikritik apa gunanya. Ternyata misi itu berhasil mengembangkan ilmu material dan komputasi,” katanya.

Menurut Sangkot, begitu pula dengan HGP, manfaatnya bukan melulu berada pada soal keberhasilannya mendiagnosis dan menyembuhkan aneka penyakit, namun terbukti selama dua dekade ini dunia ilmu pengetahuan mengalami kemajuan pesat di bidang bioinformatika, teknik sekuensing, teknologi diagnostik hingga ke pengembangan PCR (polymerase chain reaction) yang mutakhir menjadi lebih murah dan sensitif, pengetahuan tentang proses kehidupan berlangsung, penemuan obat, hingga pemahaman tentang proses patologi penyakit seperti Flu burung. Dengan diketahuinya proses patologi penyakit ini, maka dapat dikembangkan penilaian risiko dan prediksi mutasi dengan keganasan pada virus seperti flu burung dan pengkajian resistensi terhadap obat.

”Jika pada awal HGP untuk mensekuens genom satu orang dibutuhkan biaya 3 miliar dollar AS, sekarang biayanya makin murah, tinggal 3 juta dollar AS. Targetnya nanti, genom lengkap seseorang hanya membutuhkan biaya 1.000 dollar AS sehingga penyakit setiap orang dapat diketahui secara lebih akurat. Jadi saya percaya HGP bukanlah sesuatu kemubaziran,” kata Prof Sangkot pula.

Masyarakat dunia rupanya masih harus bersabar, apakah pemetaan genom manusia sesuatu yang lebih besar manfaat dibanding mudaratnya. [IRWAN JULIANTO]

Sumber: Kompas, Rabu, 29 September 2010 | 02:55 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 24 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB