Tidak ada bangsa maju dan berdaya saing tanpa didukung riset dan inovasi. Hanya dengan riset dan inovasi terarah, pembangunan ekonomi Indonesia berkelanjutan dan bernilai tinggi. Untuk itu, perbaikan dan penataan sistem riset beserta sistem pendukungnya mendesak dilakukan.
Pengembangan riset melibatkan banyak lembaga, investasi besar, berdimensi jangka panjang, dan butuh kepastian agar berkesinambungan. Untuk itu pengembangan riset dan teknologi guna mendorong inovasi harus menjadi visi setiap pemimpin Indonesia.
Pentingnya keberpihakan Preisiden terhadap pengembangan riset dan teknologi itu diungkapkan semua komunitas riset yang hadir dalam diskusi ”Masa Kini dan Masa Depan Riset dan Teknologi Indonesia” yang diselenggarakan Kompas di Jakarta, Selasa (6/9) dan Rabu (14 9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Butuh saling kepercayaan untuk menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berpengaruh signifikan dalam pembangunan dan itu butuh keputusan politik Presiden yang berpihak pada riset, ” kata Direktur Jenderal Penguatan riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammadi Dimyati.
Secara terpisah, profesor riset bidang kebijakan iptek di Pusat Penelitian Perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Erman Aminullah, Selasa (20/9), mengatakan, pengalaman pada era BJ Habibie menunjukkan, visi jelas dan keberpihakan pemerintah mendorong pengarusutamaan iptek dalam pembangunan.
Saat itu, sejumlah infrastruktur pendukung riset dibangun. Banyak siswa dan peneliti disekolahkan ke luar negeri dengan harapan saat selesai mampu mengembangkan riset Indonesia. Anggaran riset pun memadai.
Meski demikian, Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain mengingatkan, pengembangan iptek tak bisa lagi bertumpu pada figur tertentu karena tak akan berkelanjutan. Sistem yang mendukung iptek harus dibangun.
”Pemahaman pentingnya iptek harus dimiliki semua lembaga, termasuk DPR dan Kementerian Keuangan, yang turut menentukan anggaran riset,” katanya.
Selain itu, penataan lembaga riset yang tersebar di lembaga riset, kementerian, dan perguruan tinggi harus dilakukan. Penataan memutus egosektoral, tumpang tindih materi riset, serta memangkas koordinasi dan optimalisasi anggaran yang kecil.
Untuk menjaga agar riset dan pengembangan teknologi Indonesia terarah dan berdaya ungkit maksimal, pemerintah menyusun Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2015-2045. Peta jalan itu diharap diacu semua lembaga terkait riset. Konsistensi pelaksanaan peta jalan riset itu akan menjadi tantangan. ”Agar berkelanjutan, RIRN diharapkan bisa segera ditetapkan dengan peraturan presiden,” kata Dimyati.
Butuh terobosan
Pemerintah sudah berupaya memperbaiki iklim riset, mulai dari mendorong peningkatan anggaran, memperkuat lembaga, mengadvokasi sejumlah kebijakan terkait riset dipemerintah dan DPR, hingga meniru pola negara maju untuk pengembangan iptek. Namun, itu belum optimal.
”Ada keterbatasan pemerintah sehingga peningkatan pengembangan riset dan inovasi belum signifikan. Harus ada terobosan,” kata Erman.
Beberapa upaya juga tidak berkelanjutan, seperti program ABG (academic, business, government) untuk mendorong keterlibatan industri dalam riset dan hilirisasi hasil riset. Konsep ABG di Jepang menjadikan Jepang sebagai kekuatan otomotif dunia. Di Indonesia, intensitas penerapan program itu tidak stabil.
Ketidakonsistenan penerapan program pengembangan iptek juga terlihat dari terbatasnya pembaruan dan optimalisasi pemanfaatan peralatan dan fasilitas riset. Padahal, untuk meriset dan menghasilkan inovasi butuh pembaruan terus-menerus.
Banyak peralatan dan fasilitas yang dibangun di era Habibie tak ada revitalisasi. Selain itu, banyak fasilitas yang dibangun belum dimanfaatkan optimal lembaga lain, termasuk perguruan tinggi.
Dengan anggaran dan sumber daya manusia riset yang terbatas, prioritas riset yang ditetapkan pemerintah harus dijalankan konsisten. Dengan kekayaan hayati melimpah di darat dan laut, ketersediaan peneliti dalam jumlah dan kualitas memadai, maka riset bidang keanekaragaman hayati, baik untuk program ketahanan pangan maupun energi harus, menjadi prioritas.
”Namun, pengembangannya harus tetap dalam konteks ABG sehingga antara industri dengan lembaga riset dan perguruan tinggi saling membutuhkan serta menguntungkan,” kata Eman. (YUN/MZW)
Sumber: Kompas, 21 September 2016