Buku adalah khazanah pengetahuan dan jendela dunia. Sebuah buku yang baik bahkan bisa mengubah hidup seseorang, merevolusi cara berpikir dan sikap mentalnya.
Karena itu, tak berlebihan jika dikatakan bahwa buku dan hak baca untuk semua adalah fundamen penting dalam semboyan revolusi mental yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak 2014.
Setelah 72 tahun Indonesia merdeka, bagaimanakah situasi perbukuan nasional? Secara umum harus diakui kita masih ketinggalan dari banyak negara lain. Dari sisi produktivitas menerbitkan buku, menurut data 2016, angka 44.000 judul setahun jelas sangat kecil dibandingkan jumlah penduduk kita yang sekitar 260 juta jiwa. Sekadar contoh, Malaysia yang penduduknya jauh lebih sedikit, produksi bukunya hampir separuh produksi kita, yakni sekitar 19.000 judul setahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Artinya, apabila diperbandingkan dengan jumlah penduduk, Indonesia memproduksi 169 judul/juta jiwa, sedangkan Malaysia 639 judul/juta jiwa atau lebih dari tiga kali lipat produksi kita. Bahkan, Vietnam memiliki rasio lebih baik daripada kita, yakni 273 judul buku/juta jiwa.
Begitu pula jumlah penjualan buku nasional, dalam setahun hanya sekitar 18 juta eksemplar. Artinya, bisa digambarkan secara kasar bahwa dalam setahun hanya ada 7 dari 100 orang Indonesia yang membeli buku. Itu pun hanya satu eksemplar!
Mungkin masalah sesungguhnya tak terletak pada minat baca, tetapi lebih pada soal kemudahan akses mendapatkan buku dan bacaan yang tak hanya baik, juga murah, dan terjangkau. Karena itu, gerakan penyebaran 30.000 buku ke pelosok negeri dan pembebasan biaya pengiriman buku ke taman bacaan masyarakat yang digagas Presiden Joko Widodo menjadi amat bermakna.
1.000 judul buku
Salah satu yang perlu dicatat dalam dunia perbukuan nasional adalah momen saat Indonesia dipercaya menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Terlepas dari berbagai kontroversi yang sempat merebak, di pameran buku tertua dan terbesar di dunia itu, Indonesia unjuk gigi memperkenalkan kekayaan intelektual dan merebut perhatian internasional. Kita membuka mata dunia bahwa Indonesia juga memiliki buku-buku yang bermutu dan layak disejajarkan dengan karya terbaik lainnya dari berbagai belahan dunia.
Selama FBF 2015, lebih dari 400 judul buku terbitan penerbit Indonesia diminati oleh penerbit asing untuk dipertimbangkan pembelian hak terjemahannya. Satu kemajuan yang layak dicatat mengingat sebelumnya kita biasanya hanya menjadi konsumen buku-buku asing. Hal ini menunjukkan besarnya potensi dan daya saing industri kreatif Indonesia di kancah internasional.
Setelah FBF 2015 usai, momentum itu dipelihara dengan dibentuknya Komite Buku Nasional (KBN) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada awal 2016. KBN berupaya melanjutkan hasil-hasil yang telah dicapai selama FBF 2015, sekaligus membina ekosistem perbukuan kita secara sistematis dan berkesinambungan melalui program yang meliputi pameran di berbagai pesta buku internasional terkemuka. Sebutlah seperti Bologna Children’s Book Fair (terbesar di dunia untuk buku anak), FBF (terbesar dan tertua di dunia), London Book Fair (terbesar untuk pasar buku berbahasa Inggris), Sharjah International Book Fair (terbesar di Timur Tengah), Beijing International Book Fair (terbesar di Asia), dan Indonesia International Book Fair.
Diselenggarakan pula program residensi, mengirim para penulis terbaik Indonesia ke berbagai belahan dunia untuk melakukan riset, menulis, dan menjalin jejaring internasional. Tahun ini, misalnya, dikirim 21 penulis ke empat benua selama 1-3 bulan, antara lain, ke AS, Jerman, Perancis, Inggris, Meksiko, Finlandia, Australia, dan Polandia.
Selain itu, diluncurkan program LitRI, yakni pendanaan terjemahan ke berbagai bahasa bagi buku-buku karya penulis Indonesia yang akan diterbitkan oleh penerbit di luar negeri di sejumlah negara, demi mempromosikan karya anak bangsa dan menembus pentas dunia. Tahun ini, berhasil didanai terjemahan 30 judul buku ke berbagai bahasa asing, antara lain, Mandarin, Inggris, Jepang, Arab, Jerman, dan Perancis. Juga dilakukan berbagai lokakarya untuk meningkatkan profesionalitas dan kompetensi para insan perbukuan nasional, antara lain, lokakarya penulisan buku anak yang mengundang narasumber terkemuka internasional.
Hasilnya sangat menggembirakan. Jika pada masa lalu penerbit di Indonesia hanya menjadi konsumen yang membeli hak cipta buku asing di berbagai pameran buku internasional untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kini kita telah mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain sebagai bangsa yang mampu menyumbang intelektualitas dan karya sastra di pentas dunia.
Ini tentu saja angin segar bagi dunia perbukuan, literasi, dan intelektual kita. Sudah sepatutnya pemerintah mendukung program-program semacam ini demi mempromosikan kekayaan intelektual dan budaya kita. Dan, kita berharap, ini menjadi program jangka panjang yang sistematis dan berkelanjutan.
Menurut data mutakhir, selama lima tahun terakhir sejak kita melakukan langkah-langkah penting untuk mempromosikan kekayaan literasi di pentas dunia, kita telah berhasil menjual 1.008 hak terjemahan buku karya penulis Indonesia dari berbagai genre (fiksi, nonfiksi, buku anak, dan komik) ke berbagai negara dan diterjemahkan ke beragam bahasa. Yang lebih menggembirakan, grafiknya makin meningkat dari tahun ke tahun.
Sementara itu, jika dihitung dengan buku-buku yang diminati dan sedang dipertimbangkan pembelian hak terjemahannya oleh berbagai penerbit asing, dicapai angka 3.161 judul. Sebuah angka yang amat fantastis! Itu jelas satu kemajuan yang luar biasa. Apalagi jika diingat bahwa tujuh tahun silam, misalnya, kita bisa dibilang hanya menjadi konsumen di dunia perbukuan.
Dengan prestasi internasional yang melejit dalam lima tahun terakhir, amat wajar jika Indonesia menarik perhatian dunia. Salah satu kabar baik, Indonesia akan menjadi market focus country di London Book Fair 2019. Menjadi market focus country di London Book Fair sama membanggakannya dengan menjadi tamu kehormatan di FBF. London Book Fair adalah salah satu pameran buku terbesar dan paling potensial di dunia.
Diplomasi budaya
Seiring dengan itu, para penulis Indonesia makin diperhitungkan di pentas dunia lewat buku yang telah diterjemahkan ke beragam bahasa asing. Di antaranya Eka Kurniawan yang menjadi nomine Man Booker International Award pada 2016 lewat Man Tiger hasil terjemahan Labodalih Sembiring. Eka yang karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari 25 bahasa asing menyejajarkan diri dengan para pemenang Hadiah Nobel Sastra, seperti Orhan Pamuk yang juga menjadi nomine lewat novel Strangeness in My Mind. Itu sekaligus merupakan diplomasi budaya yang efektif dalam memperkenalkan kekayaan kultural dan intelektual bangsa kita.
Untuk menghasilkan prestasi serupa, bahkan yang lebih baik dari itu, kita perlu lebih banyak menerjemahkan karya-karya terbaik kita ke dalam berbagai bahasa penting dunia. Dengan demikian, buku-buku karya para penulis kita akan dikenal, dibaca, dan ditelaah secara lebih serius. Karena itu, program penerjemahan sastra dan pengembangan kapasitas para penulis Indonesia perlu didukung segenap pemangku kepentingan dalam ekosistem literasi. Selain itu, kita pun perlu terus menerjemahkan karya-karya penting dalam bahasa asing ke bahasa Indonesia agar penulis kita senantiasa belajar dari karya-karya terbaik dunia.
Kita juga perlu mendorong terciptanya iklim perbukuan yang lebih baik agar lebih banyak lagi buku-buku karya penulis Indonesia dapat berjaya menembus pentas dunia di masa depan. Upaya itu, termasuk antara lain dengan menghapus PPN 10 persen untuk buku.
Di tengah sengkarut politik yang tak berkesudahan, kita percaya bahwa kita ini sesungguhnya adalah bangsa yang besar dan amat berpotensi menyumbang karya-karya penting bagi peradaban, antara lain, melalui buku-buku bermutu karya penulis Indonesia yang diterjemahkan dan diterbitkan di berbagai penjuru dunia.
Anton Kurnia, Koordinator Program Pendanaan Penerjemahan Komite Buku Nasional
Sumber: Kompas, 22 November 2017