Minat Baca Masyarakat Masih Rendah
Indonesia hanya menerbitkan sekitar 24.000 judul buku per tahun dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Dalam setahun, Indonesia hanya menghasilkan sekitar 72 juta buku.
”Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia 240 juta jiwa, berarti satu buku rata-rata dibaca 3-4 orang,” kata Efi Efrizal Sinaro, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta, Rabu (15/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, berdasarkan standar UNESCO, idealnya satu orang membaca tujuh judul buku per tahun. ”Berarti minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Masih jauh dari standar UNESCO,” kata Efrizal.
Ketua Pengurus Pusat Ikapi Lucya Andam Dewi mengatakan, rendahnya minat baca ini terasa ironis karena anggaran untuk fungsi pendidikan sangat tinggi, yakni 20 persen dari APBN per tahun. Kenyataannya, Indonesia berada di urutan ke-60 untuk minat baca masyarakatnya dari 65 negara.
Era digital
Lucya mengatakan, untuk meningkatkan minat baca harus ada pemaksaan program membaca di level pendidikan dasar. ”Siswa diwajibkan membaca dan menulis,” kata Lucya.
Tantangan minat baca akan semakin berat, kata Lucya, karena saat ini dunia bergeser ke era digital. ”Di negara lain, era digital terjadi ketika masyarakatnya sudah gemar membaca. Sementara Indonesia memasuki era digital ketika minat bacanya masih rendah,” kata Lucya.
Tidak heran jika kemudian di Indonesia, era digital dimanfaatkan untuk memudahkan plagiat atau ”copy paste”. Sekarang juga marak fenomena book packager yang berkonotasi negatif karena mampu membuat buku apa saja dalam waktu singkat, tanpa memperhatikan kualitas, nilai, dan orisinalitas gagasan.
Budayawan Taufiq Ismail menekankan, sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa bangsa yang hebat ternyata masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi. Masyarakatnya sejak dini sudah terlatih dan terbiasa membaca.
Pada masa penjajahan Belanda, misalnya, siswa AMS-B (setingkat SMA) diwajibkan membaca 15 judul karya sastra per tahun, sedangkan siswa AMS-A membaca 25 karya sastra setahun. Siswa AMS wajib membuat 1 karangan per minggu, 18 karangan per semester, atau 36 karangan per tahun. ”Sementara siswa SMA saat ini tidak wajib membaca buku,” ujarnya.
Padahal, siswa SMA di Amerika Serikat diwajibkan membaca 32 judul karya sastra dalam setahun, siswa Jepang 15 judul, Brunei 7 judul, Singapura dan Malaysia 6 judul, serta Thailand 5 judul.
Firdaus Umar, Ketua Gabungan Toko Buku Indonesia, mengatakan, setiap tahun ada sekitar Rp 10 triliun dana yang dibelanjakan untuk buku.
”Jangan-jangan anggaran sebesar itu salah sasaran. Bukannya meningkatkan minat baca, tetapi jadi ’bancakan’,” ujarnya. (ELN)
Sumber: Kompas, 16 Januari 2014