Pemerintah belum mengonfirmasi ada warga positif korona di Tanah Air. Namun, otoritas Arab Saudi memasukkan Indonesia di daftar negara yang dicegah kirim jemaah umrah. WHO ingatkan, tak ada negara yang kebal korona.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Penumpang pesawat yang akan berangkat umrah mendapat penjelasan dari perwakilan biro perjalanan di area pelaporan Terminal Keberangkatan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (27/2/2020). Ratusan calon jemaah umrah dari sejumlah daerah yang berada di Bandara Soekarno-Hatta batal terbang ke Arab Saudi setelah pihak maskapai mengikuti keputusan Pemerintah Arab Saudi untuk menangguhkan sementara kedatangan jemaah umrah dari luar negeri. Pemerintah Arab Saudi menyatakan menghentikan sementara layanan ibadah umrah dan kunjungan ke Masjid Nabawi di Madinah terkait penyebaran virus korona tipe baru (Covid-19).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan, ”kesalahan fatal” bagi negara mana pun yang beranggapan tidak akan terkena virus korona baru. Peringatan ini seharusnya menjadi perhatian bagi Indonesia yang hingga saat ini masih beranggapan bebas dari virus ini, sekalipun dengan kualitas deteksi yang diragukan oleh sebagian kalangan.
”Tidak ada negara yang berasumsi itu tidak akan mendapatkan kasus (Covid-19), itu bisa menjadi kesalahan fatal, secara harfiah. Virus ini tidak menghormati perbatasan,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pidatonya pada briefing media tentang Covid-19 di Geneva, Swiss, Kamis (27/2/2020) waktu setempat.
Tedros mengingatkan, setiap negara harus siap untuk kasus Covid-19 pertamanya, kelompok pertamanya, bukti pertama transmisi di komunitas, dan berhadapan dengan transmisi virus di dalam komunitas yang berkelanjutan. Ini adalah empat skenario dan harus mempersiapkan semua skenario itu secara bersamaan.
Selama dua hari terakhir, menurut dia, jumlah kasus baru yang dilaporkan di seluruh dunia telah melebihi jumlah kasus baru di China. Dalam 24 jam terakhir, tujuh negara telah melaporkan kasus untuk pertama kalinya, seperti Brasil, Georgia, Yunani, Macedonia Utara, Norwegia, Pakistan, dan Romania.
”Pesan kami, virus ini berpotensi menjadi pandemi,” katanya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, sejak diidentifikasi pada akhir 2019 di Wuhan, China, hingga 27 Februari 2020, menurut catatan laman Worldometers, dilaporkan 82.585 kasus Covid-19 dengan 2.814 kematian. Penyakit itu telah merambah 50 negara di lima benua.
Beberapa pertanyaan penting, yang menurut Tedros harus dijawab oleh setiap negara saat ini terkait kesiapsiagaan adalah, ”Apakah kita siap untuk kasus pertama? Apa yang akan kita lakukan ketika itu tiba?”
Kesiapsiagaan lain, kata Tedros, meliputi, apakah memiliki unit isolasi yang siap digunakan? Apakah kita memiliki cukup oksigen medis, ventilator, dan peralatan vital lainnya? Apakah petugas kesehatan sudah memiliki pelatihan dan peralatan yang mereka butuhkan agar tetap aman? Apakah petugas kesehatan tahu cara mengambil sampel dengan benar dari pasien? Apakah laboratorium memiliki bahan kimia yang tepat yang memungkinkan mereka untuk menguji sampel? Apakah rumah sakit dan klinik memiliki prosedur yang tepat untuk mencegah dan mengendalikan infeksi?
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Tedros ini harus menjadi perhatian bagi Indonesia, yang selama ini masih terus beranggapan kita bebas dari korona, sekalipun dengan penapisan yang terbatas dan diragukan oleh sebagian kalangan.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam konferensi pers, Kamis lalu, mengatakan, dari 134 spesimen yang diperiksa hingga 26 Februari semuanya negatif. Dia juga menyebutkan, satu pasien dengan gejala korona yang meninggal di Semarang, Jawa Tengah, setelah diperiksa bukan karena Covid-19, tetapi karena flu babi akibat infeksi virus H1N1. Demikian halnya warga negara Singapura dengan gejala korona yang meninggal di Batam juga telah dibantah tidak terinfeksi korona.
Sekalipun demikian, penjelasan yang disampaikan otoritas kesehatan ini membuat sebagian publik penasaran. Publik melihat ada beberapa keterangan yang berubah-ubah dari pihak rumah sakit hingga pejabat kesehatan dan cenderung tidak transparan. Sebagian publik internasional dan dalam negeri penasaran dengan kemampuan Indonesia menangani wabah ini.
Memicu keraguan
Seperti ditulis The Sydney Morning Herald pada 26 Februari, para diplomat dari kedutaan, termasuk Australia, AS, dan Kanada, telah bertemu satu sama lain untuk membahas mengenai tiadanya kasus korona. Mereka mengkhawatirkan soal kemampuan deteksi kasus dan kesiapan rumah sakit di Indonesia untuk mengantisipasi wabah.
Keraguan publik internasional itu juga terlihat dari penutupan ibadah umrah oleh Pemerintah Arab Saudi dan memasukkan jemaah dari Indonesia dalam daftar 24 negara yang tidak bisa memasuki negara mereka. Jadi, sekalipun Indonesia menyatakan masih bebas Covid-19, dunia luar justru memiliki pandangan yang berbeda.
Sebelumnya, persoalan deteksi di Indonesia juga sudah disampaikan juga jauh-jauh hari ini oleh ahli epidemiologi dari Harvard TH Chan School of Public Health, Amerika Serikat, Marc Lipsitch, dan tim di MedRxiv, 5 Februari 2020. Menurut pemodelan matematika berdasarkan jumlah orang bepergian dari Wuhan ke banyak negara, Indonesia seharusnya sudah melaporkan kasus positif korona. Tiadanya kasus kemungkinan diduga karena soal deteksi.
Namun, sejauh ini kritik dan peringatan untuk memperbaiki kualitas deteksi Covid-19 di Indonesia cenderung kurang diperhatikan. Bahkan, laporan Marc Lipsitch dianggap tidak tepat karena alat deteksi di Indonesia berasal dari AS. Dalam satu kesempatan, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menegaskan, tiadanya kasus positif di Indonesia seharusnya disyukuri sebagai kekuatan doa bersama.
Faktanya, hingga saat ini spesimen terduga korona yang diteliti oleh Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan hanya berbilang ratusan, jauh lebih kecil misalnya dibandingkan yang diperiksa di Singapura dan Malaysia yang masing-masing sudah di atas 1.000 spesimen.
Namun, tawaran kolaborasi yang diajukan oleh laboratorium lain yang juga dimiliki pemerintah, seperti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset dan Teknologi, sejauh ini tidak mendapat tanggapan.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, untuk meyakinkan publik, pemeriksaan spesimen oleh Litbang Kesehatan bisa diverifikasi oleh laboratorium independen lain. ”Eijkman juga sudah siap dan telah mengajukan untuk menjadi lab pembanding dengan mengirim surat melalui Menristek,” kata Amin. (Kompas, 11/2/2020).
Sejauh ini, orang Indonesia yang dinyatakan positif korona karena deteksi dilakukan di negara lain, seperti satu WNI di Singapura, 4 WNI di kapal Diamond Princess, dan baru-baru ini WNI di Taiwan. Selain kemampuan deteksi, yang juga banyak menjadi pertanyaan adalah sedikitnya spesimen yang diperiksa. Sebagai perbandingan, baik Singapura maupun Malaysia telah memeriksa lebih dari 1.000 spesimen.
Menurut peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ayu Ketut Surtiari, beberapa koleganya dari luar negeri semakin banyak yang membatalkan rencana kunjungan ke Indonesia karena meragukan penanganan korona di Indonesia.
Ini menunjukkan bahwa rencana pemerintah menggelontorkan uang Rp 72 miliar untuk promosi wisata dan menyubsidi penerbangan dan perhotelan sebagai kurang tepat. Indonesia seharusnya lebih fokus pada deteksi dan membangun kesiapsiagaan menghadapi korona sehingga publik yakin kita mampu mengatasinya.
AFP/YONHAP–Pekerja mengenakan baju pelindung saat mereka menyemprotkan cairan disinfektan untuk mencegah meluasnya infeksi virus korona tipe baru di pasar di Daegu, Korea Selatan, Minggu (23/2/2020).
Oleh AHHMAD ARIF
Editor ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 28 Februari 2020