Limbah plastik umumnya diolah kembali menjadi bijih plastik, lalu dibentuk menjadi beragam produk kemasan. Namun, volume limbah yang terolah kembali terbatas karena berkualitas buruk.
Untuk itu, perlu ditegakkan paradigma baru, yakni membuat produksi kemasan ramah daur ulang dan menerapkan sistem pengolahan limbah plastik modern. Tujuannya, agar limbah plastik bisa didaur berulang kali dengan mutu material baik.
Hal itu dipaparkan Djoko Sihono Gabriel pada sidang disertasi doktor teknik mesin dengan kekhususan sistem manufaktur di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jumat (3/7), di Kampus UI, Depok, Jawa Barat. Sidang diketuai Prof Dr Ir Yulianto S Nugroho dan dipromotori Dr Ir Tresna P Soemardi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rendahnya volume sampah plastik yang didaur ulang dibandingkan dengan penggunaannya di masyarakat menempatkan Indonesia sebagai pencemar limbah plastik terbesar kedua dunia setelah Tiongkok. Limbah plastik yang tak bisa didaur ulang dibuang ke lingkungan, masuk ke sungai hingga bermuara di laut. Di Jakarta, volume sampah plastik 840 ton per hari, 14 persen dari total volume sampah per hari yang mencapai 6.000 ton.
Mengutip hasil survei yang dilakukan Universitas Georgia, Universitas California, dan Asosiasi Pendidikan Kelautan Amerika Serikat pada 2010, Djoko menyatakan, Indonesia kini jadi negara kedua terbesar dunia sebagai pencemar sampah plastik di laut, yakni 3,2 juta metrik ton. Tiongkok membuang limbah plastik 8,8 juta metrik ton dan Amerika Serikat menghasilkan limbah 0,3 juta metrik ton.
Mutu lingkungan
Pembiaran limbah plastik berjumlah besar di laut menurunkan mutu lingkungan perairan, merusak terumbu karang, dan mengurangi populasi ikan. Oleh karena itu, perlu upaya terpadu melibatkan semua pihak.
Untuk itu, pemerintah perlu menerbitkan regulasi demi mendorong produsen pengguna produk plastik agar tak memberi label merek pada kertas terpisah dari kemasan. Contohnya, label pada botol air minum kemasan mudah dilepas agar botol bisa diolah jadi bijih plastik bermutu sama dengan bijih plastik asli.
“Penerapan cara itu memungkinkan daur ulang plastik hingga 4 kali, sedangkan cara konvensional hanya sekali,” ujar Djoko, yang meraih penghargaan pada Konferensi Internasional III Ilmu Material dan Nano, di Zhuhai, Tiongkok, Januari lalu, atas risetnya terkait indikator mutu plastik hasil daur ulang.
Selain itu, para pendaur ulang limbah plastik menerapkan sistem manufaktur terintegrasi pada pabrik daur ulang plastik. Pada sistem yang dikembangkan Klammer (Austria) ini, inovasi ialah pada unit pencucian limbah tanpa air. Kelebihannya dibandingkan dengan cara konvensional, tahap proses lebih sedikit, biaya listrik lebih hemat 50 persen. Unit itu menghasilkan bijih plastik 33 ton per hari. “Tingkat balik modal 2 tahun,” ujarnya.
Dengan paradigma dan proses produksi baru itu, harga bijih plastik Rp 15.000 per kilogram, sedangkan harga produk cara konvensional Rp 6.000 per kg. Adapun harga bijih plastik yang asli Rp 25.000.
Menurut Gandjar Kiswanto dosen Institut Teknologi Bandung selaku kopromotor, untuk menarik minat produsen menerapkan pendekatan itu, perlu ada insentif seperti keringanan pajak. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah No 81/2011, produsen wajib menarik lagi barang yang tak mudah didaur ulang. Itu mendorong produsen membangun pabrik pengolah limbah.
Djoko menamatkan pendidikan strata satu Teknik Industri di ITB dan strata dua Manajemen Industri di UI. Sejak jadi dosen di FTUI pada 1982, ia melakukan beragam riset, termasuk studi pengembangan sistem penerbangan dan arsitektur sistem informasi penerbangan Indonesia. (YUN)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juli 2015, di halaman 13 dengan judul “Terapkan Paradigma Baru Daur Ulang”.