Tata Ruang Tak Berbasis Mitigasi Bencana

- Editor

Kamis, 7 Januari 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penerapan tata ruang berbasis mitigasi jadi faktor penting mengurangi risiko bencana, tetapi belum ada daerah yang menerapkannya. Itu karena pengurangan risiko bencana belum jadi prioritas pembangunan. Ke depan, asuransi bencana bisa jadi terobosan mengatasi masalah ini.

“Perencanaan dan implementasi tata ruang berbasis mitigasi bencana seharusnya amat mudah dilakukan di kawasan yang baru kena bencana karena pembangunan mulai dari awal. Namun, itu tak terjadi,” kata Abdul Muhari, ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Senin (28/12). Hal itu disampaikan terkait peringatan 11 tahun tsunami Aceh.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengatur, di daerah dengan topografi datar dan pernah dilanda tsunami setinggi lebih dari 2,5 meter ada larangan membangun perumahan dan pembatasan pembangunan infrastruktur. Namun, belum ada daerah menaati aturan itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di Aceh yang hancur akibat tsunami 2004 dan kehilangan 160.000 penduduk, sebagian warga kembali tinggal di pesisir. Padahal, esensi build back better ialah rekonstruksi terintegrasi menekan kerentanan serta meningkatkan ketahanan warga dan infrastruktur hadapi bencana.

Ahli konstruksi bangunan dari World Seismic Safety Initiative, Teddy Boen, menambahkan, relokasi setelah tsunami sulit dilakukan, terutama kampung nelayan. “Lihat saja Kampung Lampulo di Aceh, penuh rumah dan perahu di pantai. Itu sesuai kehidupan mereka,” ujarnya.

Tsunami besar di tempat sama bisa terulang setelah ratusan tahun. “Kita harus lebih takut gempa yang lebih kerap terjadi daripada tsunami. Dalam kurun itu, sepanjang pantai di Aceh dan Pangandaran mungkin penuh bangunan bertingkat,” ucapnya.

Prioritas mitigasi tsunami seharusnya daerah rentan yang masuk siklus gempa besar. Menurut Muhari, relokasi warga dari zona rentan tsunami ke lokasi lebih tinggi sulit terwujud.

Dengan desentralisasi, aturan tata ruang pesisir jadi kewenangan provinsi. Oleh karena itu, perlu skema transfer risiko kepada pihak ketiga penanggung risiko bencana berbentuk asuransi.(AIK)
———
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Tata Ruang Tak Berbasis Mitigasi Bencana”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB