Tanggul Laut Berisiko

- Editor

Senin, 6 Oktober 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dampak Buruk pada Lingkungan hingga Pelabuhan Perikanan
Peneliti pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Institut Teknologi Bandung menilai rencana pemerintah membangun tanggul laut raksasa Jakarta sia-sia. Bahkan, justru hanya akan merugikan negara karena dampak buruknya terhadap ekologi.

Ketua Kelompok Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB) Muslim Muin, Minggu (5/10), mengatakan, Jakarta tidak perlu tanggul laut raksasa. Tidak ada banjir dan badai besar dari laut seperti halnya badai Katrina di Amerika Serikat.

”Kalaupun terjadi rob, lebih disebabkan penurunan muka tanah, bukan kenaikan muka air laut,” ujarnya. ”Kawasan Pluit kebanjiran karena dibangun di tanah lunak. Kalau tanah ambles, cukup Pluit yang ditanggul. Menanggul di seluruh mulut Teluk Jakarta berkedalaman 20 meter jelas menghamburkan uang negara sangat besar.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Muslim mengatakan, proyek tanggul laut raksasa (giant sea wall) itu proyek peninggalan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo atas usulan konsultan Belanda. Awalnya disebut Sea Dike Plan Tahap III dan dibangun 2020-2030. Sesuai permintaan Gubernur DKI Jakarta yang baru, Joko Widodo, Menko Perekonomian setuju mempercepat ide itu langsung pada tahap III tanpa melalui tahap I dan II.

Belakangan, Menko Perekonomian Chairul Tanjung mengatakan, pemasangan pancang proyeknya 9 Oktober 2014. Selain mengantisipasi banjir, pembangunan tanggul diikuti pengembangan daerah baru melalui reklamasi (Kompas.com, 3/10).

”Kalau alasannya untuk reklamasi, mungkin juga. Namun, kalau untuk mencegah bencana, itu jelas salah kaprah,” kata Muslim. Sebaliknya, menurut dia, proyek itu mengundang bencana baru.

”Tanggul laut raksasa akan memperparah banjir di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang,” katanya. Tanggul laut akan menutup alur 13 sungai yang sebelumnya bermuara ke Teluk Jakarta.

Dampak lain, terjadi peningkatan laju sedimentasi karena menurunnya kecepatan aliran air. Dengan demikian, selain banjir, terjadi percepatan pendangkalan sungai yang perlu biaya besar untuk pengerukan rutin.

Dampak lingkungan
Senada dengan Muslim, ahli kelautan pada Badan Pengkajian Dinamika Pantai-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT), Widjo Kongko, mengatakan, dampak proyek itu terhadap lingkungan akan sangat besar. ”Ditemukan setelah BPDP melakukan simulasi dan pemodelan,” ucapnya.

Hasil kajian, pembangunan tanggul menaikkan muka air laut rerata di dalam tanggul hingga 0,5-1 meter setelah 14 hari simulasi pada dua skenario pada dua musim ekstrem. Arus air di dalam tanggul juga akan mengecil. Dampaknya, kualitas air di dalam tanggul akan memburuk secara progresif.

Itu ditandai perubahan signifikan parameter lingkungan, seperti kenaikan biological oxygen demand (BOD) lebih dari 100 persen, penurunan dissolved oxygen (DO) lebih dari 20 persen, dan penurunan salinitas air lebih dari 3 persen.

Pembangunan tanggul ini, menurut Widjo, juga akan berpengaruh sangat signifikan terhadap pola hidrodinamika, transpor sedimen, dan penurunan kualitas air di dalam tanggul. ”Intinya, kami menentang proyek ini jika belum memenuhi syarat kajian lebih detail penanganan dampaknya,” tuturnya.

Menurut Muslim, selain terhadap lingkungan, dampak lain pembangunan tanggul adalah penutupan dua pelabuhan perikanan Nusantara. Ribuan nelayan harus dipindahkan. Pembangkit listrik Muara Karang juga harus ditutup karena aliran air pendingin tidak lagi tersedia. (AIK)

Sumber: Kompas, 6 Oktober 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB