KETIKA pemerintah mengumumkan terbentuknya Departemen Eksplorasi Kelautan, harapah baru mencuat bagi pengelolaan sumber daya alam kelautan. Bagi perguruan tinggi yang memilih pola ilmiah pokok (PIP) bidang kelautan, itu berarti peluang untuk benar-benar bisa memusatkan perhatiannya ke laut. Namun, harus diakui upaya mewujudkan PIP itu bagi beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) lebih berupa pembentukan fakultas yang terkait dengan kelautan, sementara penelitian bidang kelautan memang terlupakan selama ini.
Walau kesan penelitian kelautan terabaikan selama ini, masih ada peneliti yang terpanggil sebelum kelautan diberi perhatian khusus. Salah seorang di antaranya, Syafrudin Budiningharto Suharto Kamis (11/11) meraih gelar doktor dengan predikat sangat memuaskan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Melalui disertasi Analisis tentang Efektivitas Pengaturan Perikanan di Selat Bali, setidaknya ia bisa memberi sumbangan bagi pengelolaan perikanan. Bahkan, sumbangan itu sangat berarti untuk pelaksanaan otonomi daerah, karena pengelolaan perikanan di Selat Bali mencakup dua wilayah, Jawa Timur dan Bali. Pengelolaan semacam ini di masa datang bukan mustahil menimbulkan benturan kepentingan saat otonomi daerah dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pria yang dilahirkan di Semarang, 20 Maret 1950 ini sebelum menentukan pilihan penelitian nyaris tak pernah bersentuhan dengan sektor perikanan dan kelautan. Baru setelah menempuh pendidikan S2 di UGM, ia menambah ilmu perikanan melalui kursus dan pelatihan di dalam negeri, di Filipina dan Malaysia.
”Barangkali hanya karena bintang saya Pisces yang berlambang sepasang ikan itu yang mendorong saya memilih perikanan untuk menempuh S3,” akunya polos.
KEDEKATAN pada sektor perikanan dan kelautan —yang baru muncul belakangan dan ditekuni sekitar 10 tahun— membawanya lebih memahami sektor itu. Panjang memang waktu yang dibutuhkan untuk sampai pada selesainya disertasi. Untuk meneliti Selat Bali —yang areanya tergolong sempit untuk ukuran perairan Indonesia— saja, waktu lima tahun ternyata tidak cukup.
Bayangkan saja, pendidikan teori di UGM diselesaikan tahun 1986 dan penelitian dimulai tahun 1989 (setelah tahun 1987 mengajukan proposal). Namun, hingga tahun 1995 kondisi perikanan di Selat Bali belum membuktikan teori yang diajukan.
”Saya nyaris frustrasi, tetapi saya menyadari jika kondisi alam sangat berpengaruh pada sektor perikanan. Baru sejak tahun 1995 hubungan antara teori yang digunakan dengan kenyataan di lapangan mulai tampak, sehingga disertasi saya selesai tahun ini,”jelasnya.
Keinginan membahas pembangunan perikanan –yang didasari asumsi produksi yang masih jauh di bawah potensi lestari— membuat Syafrudin makin yakin pada teori yang diajukan. Pada prasurvei ia melihat kecenderungan turunnya produktivitas yang sangat besar, sejalan dengan banyaknya upaya penangkapan ikan.
Ia pun makin optimis, teori yang berkembang di negara subtropis yang ia gunakan bisa diterapkan di Indonesia dengan sumber daya ikan yang multispesies. Apalagi di daerah penelitian ada unsur pembenaran, yaitu potensi ikan yang didominasi jenis ikan lemuru.
Namun, kehendak alam ternyata tak memuluskan jalannya penelitian. Sejak penelitian lapangan dimulai, kecenderungan yang ditemui justru bertolak belakang. Tiba-tiba nelayan mengalami panen raya.
”Waktu itu, produksi (dengan alat tangkap) purse-seine melonjak luar biasa, yang baru saya ketahui dari peneliti biologi sebagai gejala alam yang biasa,” jelasnya.
Melonjaknya produksi itu tidak hanya berlangsung satu-dua tahun, tetapi sepanjang lima tahun. Syafrudin nyaris frustrasi. Ia bahkan telah berniat menyudahi penelitiannya. Karena itu, tidak heran jika tahun 1993 ia menekuni kembali tugas mengajar di Fakultas Ekonomi dan Magister Manajemen serta menerima jabatan Pembantu Dekan III untuk dua periode.
Namun, kedekatan dengan kehidupan nelayan yang telah tumbuh, mendorongnya melanjutkan penelitian. Apalagi ia merasa berkewajiban mengisi PIP Undip pada sektor kelautan. Baginya, tugas mengisi PIP antara lain dengan kesadaran bahwa sektor ekonomi harus bisa menunjang ilmu pengelolaan usaha perikanan.
Lagi pula, berbagai pengalamannya itu baginya belum sebanding dengan kehidupan nelayan kecil yang tergantung pada kemurahan laut. Pengelolaan perikanan selama ini menimbulkan instabilitas produksi yang berakibat kepada instabilitas pendapatan dan kesempatan kerja. Karena itu, ia menilai pembangunan perikanan tidak lagi cukup dengan membiarkan nelayan kecil terus berburu di laut, tetapi sudah waktunya dipikirkan upaya memberikan sumber pendapatan lain melalui budidaya perikanan.
DORONGAN keluarga, baik dari istrinya Ir Grisana Eka Hastuti (43) maupun anak-anaknya, Jose Dima Satria (19), Putriasti Nurfitria (17), dan Galih Aditya Astrotamma (14) memompa kembali semangatnya untuk menyelesaikan penelitian. Kalau saja ia gagal, pengorbanan keluarga seolah tidak punya makna apa-apa.
Misalnya, ia sudah terlalu banyak mengorbankan waktu yang seharusnya diberikan kepada keluarga. Selama tiga tahun pertama (1991-1993) setidaknya setiap dua minggu sekali ia mengumpulkan data dan meninggalkan keluarga. Apalagi di tahun 1994 ia melakukan survei pendaratan ikan, sehingga membuatnya lebih banyak berada di daerah penelitian daripada di rumah.
Bahkan setelah ia memilih kembali mengajar dan menerima jabatan sruktural, waktu untuk keluarga sejak Jumat hingga Minggu digunakan berkonsultasi dengan pembimbing di Yogyakarta atau
ke lapangan.”Untungnya istri saya bekerja sambilan di rumah, sehingga waktunya bisa sepenuhnya diberikan buat anak-anak,”ungkapnya.
Pengorbanan Syafrudin tidak sebatas itu. Bersama istrinya ia pernah menerima pengalaman pahit dalam
perjalanan pulang dari daerah penelitian. Pada waktu prasurvei tahun 1990, dari Surabaya ia pulang ke Semarang menggunakan angkutan ”travel”. Ia tidak tahu jika empat dari delapan penumpang adalah perampok yang kemudian menodongnya dengan celurit di Wilayah Kabupaten Tuban.
Karena diturunkan di tengah jalan dan semua miliknya termasuk cincin kawin dan kacamata diambil, ia terpaksa berjalan kaki sejauh empat kilometer untuk melapor ke polisi. Dari sana ia diberi ongkos pulang dengan bus, dan pinjaman sepatu barang bukti yang terpaksa ditenteng karena ukurannya tidak sesuai.
”Meski demikian, saya bersyukur karena data-data yang saya bawa ditemukan bersama kendaraan di daerah Lamongan,” kisahnya. (dirman thoha)
Sumber: KOMPAS, SENIN, 15 NOVEMBER 1999