Demi pelestarian, tanaman tengsek (Dodonaea viscosa) dipaksa turun dari habitatnya di hutan Gunung Merapi oleh Sulistyowadi. Petani muda itu berhasil membudidayakan tanaman khas Merapi yang pertumbuhannya lambat ini.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI–Sulistyowadi di tengah tanaman tengkes, awal Februari 2020 di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Ketika Gunung Merapi erupsi tahun 2010, sebagian tanaman tengsek yang tumbuh di kawasan hutan Merapi, mati. Sulistyowadi (29) merintis pelestarian tengsek dengan “memaksa” sebagian tanaman langka itu turun gunung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini tengsek (Dodonaea viscosa) telah ditanam di berbagai lokasi di pinggir jalan raya di Magelang hingga kawasan pegunungan di Kabupaten Magelang. Tidak hanya itu, bibit tengsek telah disebar ke Kabupaten Kudus, dan wilayah Jawa Timur.
Tengsek atau ada yang menyebut tesek adalah tanaman yang tumbuh baik di kawasan Gunung Merapi. Karena itu, tanaman itu dianggap warga sebagai tanaman khas Merapi. Dari berbagai sumber, tengsek juga diketahui tumbuh di beberapa daerah tropis dan subtropis yang bertemperatur cukup hangat antara lain di Selandia Baru, Australia, beberapa negara di Amerika Latin, dan Asia bagian selatan.
Tengsek memiliki ciri berbatang sangat keras, berwarna kehitaman, memiliki bunga cantik yang mengalami tiga kali perubahan warna, mulai hijau, merah keunguan, hingga terakhir berubah menjadi coklat. Tanaman ini berfungsi baik sebagai penyimpan air tanah. Selain itu, kayu tengsek yang sangat keras dipakai untuk tasbih dan gagang keris. Ada pula yang menganggapnya sebagai tanaman herbal meski belum ada penelitian yang membuktikan khasiat tengsek.
Di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), tengsek banyak ditemukan di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pertumbuhan tanaman ini sangat lambat sehingga jarang ada orang yang mau membudidayakannya.
Berbeda dengan orang kebanyakan, Sulistyowadi, warga Desa Paten, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang justru tertarik membudidayakannya. Itu pun setelah diberi masukan oleh Forum Merapi Merbabu, organisasi yang juga bergerak di bidang konservasi dan kelestarian lingkungan. Awalnya, pada 2017, Sulis yang berniat terjun pada gerakan konservasi alam, ingin menanam pohon gayam atau telotrok.
Ia akhirnya menuruti saran Forum Merapi Merbabu untuk menanam tengsek dengan alasan tanaman itu menjadi langka lantaran sebagian besar mati akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
Sulis yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan pedagang sayur mesti meminjam dana dari bank sebesar Rp 15 juta untuk memulai budidaya tengsek. Setelah mendapat dana, ia meminta izin pihak TNGM untuk mengambil biji dari bunga tengsek, yang tumbuh di hutan TNGM.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI–Sulistyowadi dengan tanaman tengsek yang ia budidayakan di kawasan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Tanpa memiliki pengalaman, ia nekad membudidayakan tengsek sendirian. Ia mencoba-coba berdasarkan informasi dari internet, buku, dan pengalamannya sebagai petani. Ia misalnya memilih biji untuk benih tengsek dengan cara yang biasa ia lakukan saat memilih biji untuk benih sayuran. Biji itu ia rendam dalam air. Biji yang berkualitas baik untuk dijadikan benih adalah yang tidak mengambang di air.
Ia mencoba menggunakan media tanam yang terdiri dari pasir, pupuk kandang dari kotoran sapi dan ayam, serta kompos daun bambu. Kompos daun bambu dipakai dengan pertimbangan tanaman yang ditaman di bawah pohon bambu, biasanya tumbuh subur.
Setelah melakukan beberapa kali percobaan, Sulis berhasil mengembangkan benih tengsek menjadi 2.000 bibit atau tanaman muda tengsek. Namun, sebagian besar bibit itu mati hingga tersisa lima bibit. Ia tidak menyerah untuk mencoba. Setelah satu tahun, ia mampu menghasilkan 18.000 bibit tanaman tengsek siap tanam.
Membagikan bibit
Sulis membagikan bibit tengsek hasil budidayanya secara gratis agar orang bisa menanam tanaman ini dalam gerakan penghijauan di berbagai tempat. Orang-orang yang mendapatkan bibit itu ada yang menanamnya di pinggir jalan, pemisah jalan raya, dan tempat lain.
Sementara itu, rekan-rekan Sulis di komunitas basecamp tujuh gunung menanam bibit tengsek di wilayah pegunungan. Sejauh ini, ia telah menyumbangkan 3.000 dari 18.000 bibit. Sisanya, sebanyak 5.000 bibit ia jual, 5.000 bibit mati, dan 5.000 bibit masih ia simpan.
Selain untuk konservasi dan menyejukkan lingkungan, penanaman tengsek di berbagai tempat sengaja dilakukan untuk mempromosikan tengsek sebagai ikon Kabupaten Magelang. “Ini bagian dari upaya agar tengsek tetap lestari,” ujarnya awal Februari 2020.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Kawasan Gunung Merapi yang menjadi habitat tanaman tengsek.
Promosi dilakukan melalui media sosial. Dari situ pula, permintaan bibit tengsek mengalir dari berbagai kota seperti Yogyakarta, Jakarta, Bali, dan sejumlah kota di Jawa Timur dan Bali. Untuk setiap penjualan, Sulis selalu memberikan tambahan bibit agar semakin banyak tengsek ditanam di tempat lain.
Mengembalikan kayu
Sulis dibesarkan oleh ibunya yang dulu bekerja sebagai pencari kayu di kawasan hutan di Gunung Merapi. Profesi itu biasa digeluti oleh warga desa di Gunung Merapi. Pada saat itu, kayu tengsek menjadi buruan warga karena nilai jualnya lebih mahal dibanding kayu lainnya “Waktu itu, banyak warga sengaja menebang pohon tengsek yang masih muda dan belum tinggi,” ujar Sulis.
Memasuki awal tahun 2000 saat mulai berdiri TNGM, sebagian besar warga, termasuk ibunda Sulis, berhenti menjadi pencari kayu dan mulai beralih menjadi buruh tani. Sebagai buruh tani, ibundanya tidak bisa membiayai pendidikan Sulis hingga ke tingkat SMP. Akibatnya pendidikan Sulis terhenti hanya sampai SD. Setelah itu, ia terpaksa terjun ke dunbekerja. Di umur 14 tahun, dia mulai berpindah-pindah kerja serabutan ke berbagai kota antara lain Jakarta, Tangerang, Yogyakarta, dan Bali.
Setelah lama bekerja di bawah pimpinan orang, tahun 2017 lalu, dia memutuskan untuk bekerja mandiri. Ia terjun sebagai petani yang membuat dia dekat dengan alam. Saat menjadi petani itulah, ia mulai tertarik dengan gerakan penghijauan demi konservasi alam. Melalui gerakan itu, Sulis seolah “membalas budi” kepada alam dengan mengembalikan kayu yang dahulu diambil ibunya dan warga lainnya.
Selain tengsek, Sulis kini tengah mengembangkan tanaman khas gunung lainnya, yaitu gondang dan centiki gunung. Dia juga berupaya agar budidaya yang kini dilakukannya, bisa berlanjut pada penanaman jenis tanaman tersebut di berbagai tempat.
Di usianya yang masih muda, Sulis mengatakan dia masih terus mempertimbangkan pilihan untuk mencari pekerjaan lain selain bertani. Kendati demikian, dia menegaskan akan tetap menjalankan komitmennya untuk terus menanam tanaman di berbagai tempat.
“Menanam harus tetap saya lakukan sebagai bagian dari keseimbangan hidup,” ujarnya sembari tersenyum.
Sulistyowadi
Lahir: Magelang, 28 November 1991
Istri: Tutik Rodiah (20)
Anak: Zulfa (2)
Pendidikan terakhir: SDN 2 Paten
Oleh REGINA RUKMORINI
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 28 Februari 2020