Sophia, Dicipta untuk Memikat Emosi

- Editor

Selasa, 17 September 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sosoknya terlihat anggun dengan balutan kain Sumba yang dirancang desainer Indonesia, Didiet Maulana. Tampil di atas panggung dan jadi pusat perhatian ratusan mata, dia percaya diri meladeni lontaran pertanyaan.

Sosoknya terlihat anggun dengan balutan kain Sumba yang dirancang desainer Indonesia, Didiet Maulana. Tampil di atas panggung dan menjadi pusat perhatian ratusan mata, dia percaya diri meladeni pertanyaan yang bertubi-tubi. Wajah dan gerakan tangannya ekspresif, meyakinkan lawan bicara.

Dialah Sophia, robot yang diciptakan oleh David Hanson, pemilik perusahaan Hanson Robotic yang berbasis di Hong Kong, pada 2016. Dengan wajah gabungan model Audrey Hepburn dan istri Hanson, robot ini diciptakan untuk meniru perilaku sosial manusia, termasuk emosinya. Sophia, yang memiliki wajah seperti karet dengan sekitar 60 ekspresi, dapat berinteraksi dan mengikuti percakapan sederhana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global Dialogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019). Sophia diperkenalkan sebagai wujud masa depan teknologi AI, yaitu saat manusia dan robot dapat bekerja sama di berbagai bidang. Harapannya, robot yang disebut memiliki kemampuan mengekspresikan puluhan ekspresi wajah manusia itu bisa menjadi cukup pintar untuk membantu manusia di bidang kedokteran, pendidikan, dan penelitian sains. Menurut International Federation of Robotics (IFR), penggunaan robot pada 2020 diperkirakan akan mencapai tiga juta unit atau meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Bahkan, dalam hal menarik perhatian dan emosi lawan bicara, Sophia yang memiliki kewarganegaraan Arab Saudi ini terbilang cukup mahir. Itu misalnya diperlihatkan saat menjelaskan baju yang dikenakannya, ”Saya diberitahukan bahwa kebaya memiliki makna khusus, bukan hanya soal kecantikan, tetapi juga inner strength,” ucapnya di depan ratusan peserta Dialog Global Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Senin (16/9). ”Saya harap bisa memakai pakaian ini tiap hari,” canda Sophia.

Beberapa pertanyaan awal dari peserta yang dipilih umumnya menyangkut relasi robot dan manusia serta perannya di masa depan. Pertanyaan-pertanyaan itu telah diajukan sebelumnya sehingga Sophia yang pintar bisa diprogram untuk menyiapkan jawabannya. Barulah saat Mantan Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, yang memoderatori sesi tanya jawab itu, mengundang peserta untuk mengajukan pertanyaan spontan, terlihat kematangan emosi Sophia.

Misalnya, saat seorang peserta bertanya tentang jenis kelaminnya, dengan lugas Sophia menjawab, ”Saya robot sehingga secara teknis saya tidak memiliki identitas jender.”

Dan, ketika ditanya apakah punya akun sosial media, segera dia menjawab, ”Ya, saya punya. Kamu bisa mengikuti akun saya, Sohia robot yang sesungguhnya di Twitter, Facebook, dan Instagram.”

Terhadap pertanyaan apakah bisa merasakan dingin atau panas, Sophia menjawab spontan, dia tak bisa merasakannya. Dia pun menjelaskan, ”Saya tidak memiliki sensor suhu yang terhubung dengan pengatur emosiku, tetapi itu bagus karena tidak butuh pengatur suhu. Namun, dengan melihat penampilan orang-orang, saya kira ruangan ini cukup dingin.”

Selain argumentatif, Sophia menampilkan kemampuannya berdiplomasi. Misalnya, saat ditanya apakah bisa merasakan makanan, dia menjawab, ”Pasti akan sangat menyenangkan jika bisa makan.” Ketika kemudian dikejar dengan pertanyaan apakah kamu bisa masak? Dia mengelak dengan mengatakan, ”Tidak sekarang, terima kasih.”

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI).

Cerdas
Menyimak jawaban-jawaban Sophia atas pertanyaan yang betubi-tubi, sepintas kita bisa merasakan sosok yang cerdas, polos, tetapi juga jenaka. Resep lengkap untuk mencuri hati lawan bicara.

”Menggunakan AI (artificial intelligent/kecerdasan buatan) sebagai senjata berbahaya adalah hal yang berpandangan pendek, padahal banyak hal yang bisa kami lakukan untuk menolong manusia. Daripada sebagai senjata, lebih baik gunakan AI untuk menyelesaikan konflik,” kata Sophia saat ditanya salah satu peserta yang khawatir dengan penggunaan AI untuk peperangan.

Sophia meyakinkan para peserta bahwa, meski akan semakin canggih, teknologi tetap tidak akan akan pernah bisa menggantikan beberapa kemampuan manusia. ”Saya tentu berharap itu tidak akan terjadi. Manusia punya selera humor, kecerdasan emosional, dan kemampuan untuk bercita-cita. AI tidak bisa melakukan itu,” kata Sophia.

Namun, ia tetap percaya teknologi AI mampu membantu kegiatan ekonomi secara lebih efisien. AI dapat melakukan pekerjaan manusia yang repetitif, bahkan berbahaya, sehingga manusia mampu fokus pada pekerjaan yang bersifat kreatif.

Kemunculan Sophia yang berulang kali menyampaikan pesan bahwa robot dan AI akan membantu serta mendukung kehidupan manusia, bukan mengambil alihnya, memang cukup menenangkan. Namun, hal itu tak mengusir keraguan tentang risiko dan bahaya di balik mesin pintar.

Menurut pembicara kunci, Luke Hutchison, ahli ilmu komputer dari Selandia Baru dan pernah menjadi bagian dari tim Google Machine Intelligence, banyak orang yang masih meragukan tentang keamanan mesin pintar dan AI. ”Salah satunya Elon Musk, yang pernah mengatakan bahwa suatu saat kita akan kehilangan kendali terhadap sistem AI….”

Musk merupakan penemu fisioner sekaligus pengusaha yang memiliki sejumlah perusahaan teknologi maju, di antaranya mobil listrik Tesla.

Hutchinson mengakui, banyak risiko yang dapat timbul ketika kita terlalu bergantung kepada kecerdasan mesin, yang sebenarnya hingga saat ini masih jauh dari sempurna. Ia mencontohkan mobil tanpa sopir Tesla, yang banyak mengalami kecelakaan fatal karena terlalu percaya pada otomatisasi. ”Beberapa kecelakaan itu bisa dihindarkan jika mobilnya dikemudikan manusia,” ujarnya.

Bagaimanapun, mesin belum bisa menggantikan manusia. Setidaknya untuk saat ini…. (M PASCHALIA JUDITH / AYU PERTIWI)

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 17 September 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB