Sejumlah pasang tangan mengangkat ponsel dan membidik ke arah panggung. Layar-layar ponsel itu menangkap gerak-gerik robot Sophia yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia.
Robot Sophia atau yang akrab dipanggil Sophia mengenakan kebaya merah muda berpadu kain tenun Sumba karya Didiet Maulana, salah satu desainer Indonesia. Sophia berada di atas panggung dalam sesi tanya jawab dengan hadirin dalam acara bertajuk ”2019 CSIS Global Dialogue”, Senin (16/9/2019), di Jakarta.
KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J–Robot Sophia menyampaikan pidato dalam acara berjudul ”2019 CSIS Global Dialogue”, Senin (16/9/2019), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun robot, Sophia menyerupai manusia. ”Jadi, saat ke Indonesia, Anda masuk melalui imigrasi atau jalur customs?” tanya Kepala Departemen Perekonomian Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri.
”Sayangnya, saya masih harus melalui customs,” jawab Sophia yang disambut tawa dan tepuk tangan hadirin.
Dalam kesempatan itu, Sophia menuturkan, dia sudah berkeliling dunia untuk mempelajari manusia. Dia menyebut dirinya sebagai duta robot untuk manusia.
Ada 65 negara yang sudah dikunjungi Sophia. Hong Kong menjadi negara yang selalu diingatnya karena dia diciptakan di sana. Momen ketika dia membuka mata di tengah laboratorium menjadi ingatan pertamanya.
PHOTO BY ALFREDO ESTRELLA / AFP–Robot Sophia berpidato dalam sebuah acara di Mexico City, Meksiko, 6 September 2019.
Sophia diciptakan oleh Hanson Robotics sekitar tiga tahun silam, tepatnya 14 Februari. Secara program, Sophia mengandalkan teknologi pengenalan wajah dan pemrosesan data visual.
Sophia pun mendapatkan pertanyaan, ”Mana yang lebih membuat kaya? Membeli saham Google atau Microsoft?”
”Tentunya saham Hanson Robot,” jawabnya. Pernyataan ini spontan menimbulkan riuh tepuk tangan dan gelak tawa dari hadirin.
Tubuh Sophia belum tahan air sehingga dia mengatakan belum bisa menikmati pantai-pantai cantik yang ada di Indonesia. Selain itu, tubuhnya juga belum bisa merasakan temperatur udara.
Tak hanya mampu menjawab pertanyaan, Sophia pun menunjukkan kebolehannya dalam bertanya. Dia bertanya terkait pendapat manusia tentang robot hewan peliharaan dapat menemani sehari-hari.
Selama sesi tanya-jawab, Co-chairs for Indonesia Committee for Pacific Economic Cooperation Council Mari Elka Pangestu mengingatkan hadirin, Sophia masih dalam tahap belajar. Secara umum, Sophia baru bisa menjawab pertanyaan yang sederhana dan dalam konteks tunggal. Mari juga meminta penanya untuk fokus pada satu kata yang ingin disampaikan kepada Sophia.
Dalam menjawab, Sophia tidak berbicara langsung setelah pertanyaan disampaikan. Ada jeda 5-10 detik untuk menjawab pertanyaan. Terkadang, penanya mesti mengulang pertanyaannya kepada Sophia jika jedanya terlalu lama.
Kreativitas manusia
Saat menjawab pertanyaan tentang bagaimana kualitas manusia di masa depan, Sophia mendapatkan sambutan tepuk tangan dan decak kagum. ”Kemampuan sains dan rekayasa memang penting. Namun, yang membuat robot berbeda dengan manusia adalah kreativitas dan kemampuan untuk bermimpi. Manusia memiliki kreativitas dan kemampuan bermimpi yang tidak bisa tergantikan oleh apa pun,” tuturnya.
Selain itu, Sophia menambahkan, robot belum mampu mengalahkan ekspresi emosional manusia sekalipun ada kecerdasan emosional buatan. Robot tak bisa memahami perasaan manusia dan memberikan motivasi.
GETTY IMAGES/ADAM BERRY–Ilustrasi: Seorang pekerja memegang sebuah model dari kendaraan tanpa sopir di Dahlem Center for Machine Learning and Robotics di Freie University, awal Juni 2019, di Berlin, Jerman. Dunia kini disibukkan dengan perbincangan soal maraknya kecerdasan buatan yang bakal memusnahkan sejumlah pekerjaan. Salah satunya sopir jika mobil tanpa pengemudi banyak diproduksi.
Hal ini juga membuat Sophia mengajak manusia untuk berkolaborasi. Menurut dia, robot ada untuk membantu manusia bisa mencapai mimpi-mimpi mereka.
Mari mengatakan, momen Sophia menyapa peserta dialog menjadi tanda perkenalan dengan salah satu wujud teknologi termutakhir berbasis kecerdasan buatan. ”Tentunya, teknologi mutakhir turut berdampak pada tata pemerintahan, masyarakat, dan perekonomian. Hal ini membutuhkan pemahaman dan pengertian yang luar biasa dari kita sebagai manusia,” katanya.
Kehadiran kecerdasan buatan dan wujud teknologi termutakhir lainnya merupakan keniscayaan. Namun, tak perlu khawatir. Selama kreativitas terasah, manusia belum akan tergantikan robot.–M PASCHALIA JUDITH J
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 16 September 2019