DENGAN lambaran kuesior di tangan, seorang peneliti mendatangi salah seorang penduduk yang kebetulan terpilih menjadi sampel penelitiannya. Tanya-jawab antara keduanya pun berlangsung dengan tertib dan tenang. Tidak lupa sang tuan rumah yang adalah responden menyuguhkan secangkir teh manis panas, seperti layaknya adat ketimuran kita. Wawancara pun berlangsung dengan enak sambil diselingi senyum dan tertawa sebagaimana tradisi ketimuran kita. Namun ketika si peneliti mengajukan pertanyaan ini, ”Apa yang Bapak akan pilih dalam pemilu nanti?”, tiba-tiba saja sang tuan rumah –yang tadinya begitu ketimuran– itu dengan wajah berkerut menjawab, “Itu rahasia saya!”.
Inilah salah satu bukti keberhasilan sistem politik kita. Sikap politik warga adalah sesuatu yang sangat rahasia. Nyaris mirip seperti sikap yang tabu diketahui orang lain. Di mana-mana, jawaban atas pertanyaan ”Kamu mau pilih apa dalam pemilu?” berbunyi bahwa hal itu adalah rahasia. Sikap politik dalam menjatuhkan pilihan saat pemilu telah menjadi sebuah rahasia pribadi yang tidak akan pernah diketahui orang lain. Rahasia sampai mati.
Pertanyaannya adalah benarkah sikap politik yang dimanifestasikan dalam penentuan pilihan saat pemilu itu perlu menjadi sebuah rahasia? Padahal kalau sikap kita dalam memilih partai politik tidak diketahui orang lain –terlebih-lebih oleh partai yang kita pilih misaInya– bagaimana kita bisa mengklaim bahwa anggota partai yang duduk di kursi empuk Senayan itu adalah ”wakil kita”? Dan bagaimana partai tersebut bisa mengajukan dalih bahwa fraksinya adalah ”wakil rakyat”, kalau sesuhgguhnya mereka tidak pernah tahu siapa-siapa saja yang memilihnya?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dan ”ketidaktahuan” atas siapa yang memilihnya itulah yang kemudian dapat dijadikan dalih oleh para anggota DPR itu untuk menolak kedatangan sejumlah anggota masyarakat yang ingin mengadukan nasibnya kepada para wakilnya di dewan yang agung itu. Bisa saja mereka menyatakan bahwa rakyat yang datang itu sebagal bukan yang dalam pemilu lalu memilihnya. Sebaliknya, rakyat yang datang ke DPR pun tidak pernah bisa menyatakan –misalnya– “saya adalah pemilih PPP (atau Golkar atau PDI), jadi saya datang ke sini mau mengadukan nasib kepada Fraksi PPP (atau Golkar atau. PDI)”. Itukah sistem politik kita?
SEBETULNYA, benarkah sistem politik kita menganut prinsip bahwa sikap politik seseorang ketika menjatuhkan pilihan dalam pemilu adalah sebuah rahasia? Bukankah yang didengang-dengungkan selama ini yang rahasia ”hanyalah” ketika kita secara faktual menjatuhkan pilihan kita di dalam bilik suara? Artinya, waktu kita menggerakkan tangan untuk menusukkan sebatang paku (atau alat apa pun) di dalam bilik suara di TPS pada hari pemilihan, kita harus melakukannya sendirian (tanpa diketahui oleh orang lain).
Tetapi kalau sebelum atau sesudahnya ada orang bertanya ”kamu memilih apa?”, seharusnya jawaban atas pertanyaan itu bukan sebuah rahasia. Sebab, yang ditanyakan sebenarnya adalah sebuah ”sikap politik”, yang pada dasarnya harus transparan. Sikap politik itu harus dinyatakan secara jelas, supaya semua orang tahu persis kita punya sikap apa dalam perpolitikan di negara kita sendiri. Saya adalah pendukung PPP, atau saya adalah pemilih Golkar, atau aspirasi politik saya adalah PDI. Bahkan juga ketika kita merasa tidak dapat menyalurkan aspirasi politik kita kepada ketiga parpol yang ada, kita bisa dengan terbuka menyatakan bahwa kita tidak mendukung salah satu parpol sama sekali.
Dengan adanya keterbukaan dalam menyatakan ”sikap politik” seperti itu, maka perlahan-lahan setiap orang akan dituntut untuk punya kepedulian politik. Dalam suasana kepedulian dan penuh keterbukaan seperti itu, barulah kita bisa berharap rakyat itu menjadi ”melek politik”. Punya sikap dalam politik dan mampu memanifestasikan sikap tersebut dalam bentuk tindakan pencoblosan di dalam bilik suara, adalah bentuk dasar ”melek politik”.
TENTU ada yang mengkhawatirkan suasana keterbukaan sikap politik tersebut. Ditakutkan akan muncul ketegangan-ketegangan antar warga masyarakat yang berbeda sikap politiknya. Warga masyarakat yang
punya sikap politik mendukung PPP dikhawatirkan bentrok dengan yang punya sikap politik mendukung Golkar atau PDI. Atau bahkan dengan warga masyarakat yang punya sikap politik untuk Golput.
Bentrokan antar mereka yang berbeda sikap politik seperti itu memang bukan hal yang mustahil terjadi. Akan tetapi kekhawatiran itu sebetulnya terlalu menyederhanakan persoalan. Sebab dalam kenyataannya, hidup keseharian kita sudah sangat sering diwarnai ”perbedaan” dalam sikap-sikap sosial yang lain. Kita sudah sangat terbiasa menjumpai perbedaan dalam haI SARA, berbeda dalam haI latar belakang kebudayaan, berbeda dalam hal daerah asal (desa, kota, propinsi, pulau), berbeda dalam hal jenis pekerjaan maupun profesi, berbeda dalam hal instansi/perusahaan tempat bekerja, berbeda dalam hal tingkat social-ekonomi, berbeda dalam hal hobi/kesukaan, dan masih banyak lagi perbedaan yang lainnya. Jadi apa salahnya kalau kebiasaan itu ditambah satu lagi dengan perbedaan dalam hal sikap politik?
SESUNGGUHNYA dalih bahwa sikap politik individu yang dimanifestasikan dalah bentuk pilihan saat pemilu adalah sebuah rahasia merupakan penyebab dari semakin berjaraknya DPR/DPRD dari rakyat pemilihnya. Sementara rakyat harus merahasiakan sikap politiknya, anehnya para anggota DPR/DPRD –yang bisa menjadi anggota Dewan justru karena dipilih rakyat– dengan sangat bebasnya secara terbuka mengklaim diri sebagai wakil rakyat. Sedangkan individu rakyat tidak pernah bisa secara terbuka mengklaim diri sebagai “saya adalah yang memilih si A menjadi anggota dewan Perwakilan Rakyat”.
Kondisi yang menganggap sikap politik individu sebagai sesuatu yang rahasia juga merupakan lahan subur bagi berkembangnya ”budaya seolah-olah”. Seolah-olah anggota Dewan adalah wakil rakyat. Seolah-olah rakyat telah terwakili kepentingan politiknya oleh anggota Dewan. Seolah-olah keputusan Dewan adalah juga keputusan rakyat. Benarkah demikian? Jelas itu tidak benar. Rakyat tidak pernah boleh mangasosiasikan dirinya dengan anggota dewan tertentu. Kalau seorang individu mempunyai problem dan ingin mengadukannya kepada “wakilnya” di DPR, boleh dipastikan bahwa ia akan kebingungan mencarinya di gedung bundar Senayan yang besar itu. Kalaupun ia memutuskan untuk menghubungi sebuah fraksi, dengan mudah ia dikecewakan dengan pertanyaan dari anggota Dewan, “Bagaimana saya bisa tahu pasti bahwa Anda adalah salah satu rakyat yang memilih fraksi saya?”
Runyam bukan? Jadi kalau ada niat untuk mendekatkan DPR kepada rakyat, maka harus diciptakan suasana yang tidak lagi menempatkan sikap politik individu sebagai sebuah rahasia pribadi. Harus diciptakan kondisi di mana setiap individu rakyat bebas terbuka menyatakan sikap politiknya. Dan setiap anggota DPR harus pula mengetahui jelas siapa-siapa individu rakyat yang diwakilinya.
Mindra Faizaliskandiar, panelitian pada Litbang Kompas Jakarta
Sumber: Kompas, 6 Mei 1997