Letusan Gunung Tambora yang mengubur dua kerajaan terjadi dua abad silam. Namun, situs itu baru diteliti sistematis sewindu terakhir. Sekalipun banyak temuan artefak, pusat Kerajaan Tambora dan Pekat yang terkubur letusan masih gelap. Tantangan selanjutnya, bagaimana mentransformasikan temuan arkeologis ini untuk pendidikan mitigasi bencana.
Hasil penggalian Balai Arkeologi Bali dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) itu dipaparkan dalam seminar nasional tentang bencana dan peradaban Tambora, di Denpasar, Bali, Kamis (10/9). Arkeolog, geolog, dan beberapa peneliti lintas bidang hadir.
Sebagian temuan dan dokumentasi penggalian juga dipamerkan di Bentara Budaya Bali, 9-13 September. Temuan itu di antaranya lumpang kayu, gabah dan biji kemiri, aneka perhiasan dan perkakas dari logam, hingga pecahan keramik Tiongkok. Juga dipamerkan foto-foto kerangka manusia serta rekonstruksi bangunan rumah masyarakat Tambora sebelum letusan.
Peradaban yang terkubur letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa itu awalnya ditemukan kebetulan oleh para karyawan PT Veneer Indonesia, perusahaan kayu, saat hendak membuka jalan dengan buldoser tahun 1970-an. Puluhan tahun, temuan ini diabaikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lalu, tahun 2004, vulkanolog Amerika Serikat, Haraldur Sigurdson, menemukan kerangka manusia dan berbagai artefak di Desa Oi Bura, lereng Tambora. Sebelum penemuan itu, letusan Tambora, yang disebut mengubur Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat serta menghancurkan Kerajaan Sanggar, hanya disebut dalam literatur.
Namun, penggalian Sigurdson saat itu memicu polemik. Sebagai vulkanolog, Sigurdson lebih memedulikan aspek geologi dan abai kaidah-kaidah arkeologi sehingga banyak temuan tidak jelas nasibnya. Baru tahun 2007, Pusat Penelitian Arkelogi Nasional dan Balai Arkeologi Bali secara sistematis menggali situs Tambora.
Sony Wibisono, Ketua Tim Penelitian Situs Tambora Puslit Arkenas, mengatakan tahun 1983 sebenarnya sempat ke Tambora karena dapat laporan temuan pecahan keramik oleh karyawan PT Veneer Indonesia. Namun, saat itu diputuskan tidak melakukan penggalian. Di samping medan sangat berat, tenaga penggalian dan konservasi juga belum memadai.
Bahkan, hingga kini penggalian di Tambora masih tergolong lamban. Satu tahun, Puslit Arkenas dan Balai Arkeologi Bali hanya dapat anggaran membuka satu kotak gali berukuran sekitar 25 meter persegi.
Oleh karena itu, meskipun artefak yang kini ditemukan di situs Tambora cukup kaya, menurut Kepala Balai Arkeologi Bali I Made Suarbhawa, hingga kini belum ditemukan pusat Kerajaan Tambora. Kemungkinan artefak yang banyak ditemukan di Desa Oibura, Kabupaten Bima, itu masih rumah-rumah warga biasa yang diduga masih jauh dari pusat kerajaan.
Dibanding luasan situs yang diperkirakan mencapai satu hektar, menurut Sony, penggalian yang dilakukan Balai Arkeologi Bali dan Puslit Arkenas memang masih sangat kecil. “Lebih baik pelan-pelan daripada sudah dibuka semua tetapi kita tak bisa mengurus temuan artefak,” ujar Sony.
Rekonstruksi peradaban
Menurut Sony, saat ini Puslit Arkenas lebih fokus merekonstruksi peradaban Tambora sebelum letusan berdasarkan artefak yang telah ditemukan. Salah satu yang berhasil direkonstruksi adalah bangunan rumah.
Rumah panggung dari kayu berukuran 6,5 meter x 3,5 meter, berdinding anyaman bambu, dan beratap ijuk itu dibangun di sekitar lokasi penggalian di Desa Oibura. Sony berharap, rumah ini jadi embrio ekomuseum. Beda dengan museum yang hanya memajang koleksi temuan, ekomuseum itu diharapkan jadi wahana belajar mengikutsertakan masyarakat secara aktif.
“Bangunan rumah ini kami buat setelah empat tahun menggali. Kami kumpulkan detail-detail informasi dari artefak dan mencocokkan dengan beberapa teknik konstruksi rumah yang masih ada di Pulau Sumbawa ataupun Lombok,” kata Sony.
Dengan konsep ekomuseum, penggalian arkeologis di Tambora yang rutin tiap tahun sebenarnya berpotensi jadi atraksi wisata. Apalagi, letusan Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di Eropa kian dikenal luas. “Pengunjung tak hanya bisa melihat gunungnya, tetapi juga dampak letusan, bahkan penggalian peradaban yang terkubur letusan ini,” katanya.
Dari segi konservasi, penggalian di Tambora juga menghasilkan pengetahuan baru. Sejak 2012, Puslit Arkenas menggandeng Balai Konservasi Borobudur yang biasa menangani pelestarian benda purbakala dari batu. Di Tambora, mereka harus menghadapi artefak kayu atau bambu yang hampir jadi arang.
Menurut Nahar Cahyandaru, peneliti dari Balai Konservasi Borobudur, arang kayu bersifat sangat rapuh. “Kami belum pernah menangani hal ini. Bahkan, di dunia juga belum ada kasus serupa. Literatur tentang menangani kasus ini juga sangat minim,” kata Nahar.
Setelah eksperimen dan berkali-kali gagal, Balai Konservasi Borobudur berhasil mengawetkan sejumlah artefak kayu. Salah satunya lumpang kayu yang dipamerkan di Bentara Budaya Bali. “Jadi, penggalian Tambora juga bisa jadi pusat pengetahuan baru untuk mengonservasi benda pusaka dari bahan-bahan organik,” kata Sony.
Menurut Made Suarbhawa, tugas arkeolog menghadirkan bukti-bukti nyata sehingga kisah letusan Tambora yang mengubur dua kerajaan itu tak jadi dongeng. Tugas ini dipenuhi dengan ditemukannya artefak.
Namun, bagi Daud Aris Tanudirjo, dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dokumentasi dan rekonstruksi kebudayaan masa lalu tidaklah cukup. Selain bertugas menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai budaya masa lampau, arkeolog juga harus memikirkan manfaat temuan ini agar jadi pembelajaran masyarakat kini dan mendatang. “Jangan lupakan aspek pembelajarannya untuk publik,” ujarnya.
Menurut Daud, ekskavasi peradaban Tambora yang terkubur letusan gunung api punya karakteristik mirip situs Liyangan di Jawa Tengah yang terkubur letusan Gunung Sindoro. “Tidak semuanya harus dibuka. Bisa juga disisakan beberapa artefak yang masih asli tertutup material gunung api sehingga masyarakat bisa belajar bahaya letusan gunung api,” katanya.
Menurut geolog dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, data-data dari situs Tambora bisa sangat berguna dalam mitigasi bencana. Informasinya juga bisa berguna untuk gunung-gunung api lain di Indonesia. “Ini bagus untuk memberi kesadaran bahwa letusan gunung api bisa menghancurkan peradaban,” kata Indyo.
Filolog Perancis yang kini mengajar di University of Malaya, Henri Chambert Loir, mengatakan, selain data-data arkeologi, teks-teks lama yang ditulis masyarakat pribumi tentang Tambora juga kaya informasi yang berguna bagi studi kebencanaan. Setidaknya, ada tiga naskah pribumi yang menceritakan Tambora, yaitu Bo’ Sangaji Kai atau kronik kerajaan Bima, Syair Kerajaan Bima, dan legenda lokal Asal Mulanya Meletus Gunung Tambora yang diterbitkan PP Roorda van Eysinga pada 1841.
Menurut Loir, ketiga naskah itu ditulis tiga kalangan berbeda. Dari ketiga naskah itu, kita bisa belajar respons masyarakat Bima pada bencana. Selain itu, juga bisa diketahui interaksi antarbudaya masyarakat di Nusantara. Misalnya, dalam Syair Kerajaan Bima disebutkan, setelah letusan itu banyak pedagang datang dari sejumlah daerah lain di Indonesia, termasuk juga dari Belanda dan Tiongkok.
“Dari satu sisi, para pedagang ini memang membawa kebutuhan pokok warga yang saat itu gagal panen. Namun, kita juga bisa belajar, para pedagang ini merampok penduduk Bima yang kesusahan karena mereka menjual barang dagangan dengan harga sangat mahal, bahkan ditukar budak,” katanya.
Pelajaran lain, bisa diketahui masyarakat di Nusantara saat itu cenderung mengaitkan bencana dengan keyakinan agama. Dengan kekayaan temuan, baik dari aspek arkeologi, geolog, maupun literasi, kata Indyo, situs Tambora seharusnya bisa melahirkan banyak sarjana di bidang kebencanaan. Lebih penting lagi, bisa meningkatkan kesadaran mitigasi bencana.–AHMAD ARIF
—————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Sewindu Penggalian Tambora”.