Data sejarah menyingkap keberulangan siklon tropis di Indonesia, salah satu yang paling mematikan di belahan bumi selatan pernah melanda Flores pada April 1973. Temuan ini menuntut pembaruan tata kelola bencana kita.
Bencana banjir, longsor, dan angin kencang yang dipicu siklon tropis Seroja pada akhir pekan ini telah menyingkap kerentanan Nusa Tenggara Timur terhadap jenis bencana ini, terutama selama April. Pada 29 April 1973 pagi, siklon raksasa pernah menghancurkan Flores dan menewaskan 1.500 orang. Berikutnya, siklon juga pernah melanda kawasan ini pada April 2002 dan April 2003.
Penelusuran di pusat data harian Kompas menunjukkan, pada 29 April 1973, sekitar pukul 09.00 bencana angin topan melanda Pulau Flores dan pulau-pulau sekitarnya, ”…badai topan ini mengangkat air laut hingga menggelombang tinggi dan memecah puluhan meter di darat. Perahu-perahu yang kebetulan berlayar disana hancur berkepingan, pepohonan bertumbangan, dan 1.800 rumah penduduk merata tanah, selebihnya rusak berat,” tulis Kompas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bencana ini menyebabkan 1.500 orang meninggal dan kerugian ditaksir mencapai 5 juta dollar AS. Kerusakan paling parah terjadi di wilayah Sikka, Maumere, Pulau Palue, Pulau Pemana, dan Pulau Permaan. Selain di pesisir, kehancuran juga terjadi di daratan karena terjadinya banjir dan longsor, seperti terjadi di Lekebai, sebelah selatan Maumere.
”Badai laut yang sangat besar ini menyelubungi pulau-pulau wilayah Sikka dan daerah-daerah pantai serta daratan Flores di Kabupaten Sikka itu oleh orang-orang di sana disebutnya ’kiamat’,” tulis Kompas.
Siklon ini juga dikenal di dunia karena menyebabkan tenggelamnya kapal Portugis, O Arbiru, seperti dilaporkan The New York Times edisi 19 Mei 1973. Dari 19 awak dan 5 penumpangnya, hanya satu awaknya yang ditemukan selamat di Pulau Flores.
Siklon tropis tahun 1973 ini memang belum tercatat dalam data Pusat Peringatan Siklon Tropis (TWC) Jakarta-Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Namun, Lembaga Meteorologi (Bureaue of Meterology) Australia merekam kejadian itu. Disebutkan, siklon yang belum diberi nama ini mulai terdeteksi di Laut Flores pada 27 April 1973 dan menguat pada 28 April, sebelum melintas Flores pada 29 April.
Kecepatan angin maksimum saat itu mencapai 120 kilometer per jam dengan pusat tekanan rendah 975 hPa. Kejadian ini juga dilaporkan memicu badai laut yang sangat besar (storm surge) dan disebut sebagai salah satu siklon tropis paling mematikan di belahan bumi selatan.
Setelah tragedi pada 1973, kepulauan NTT sebenarnya juga berulang kali dilintasi siklon sehingga memicu bencana hidrometeorologi. Peneliti meteorologi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Suaydhi, mengatakan, sejak 1983 hingga 2019 terbentuk 10 siklon di Laut Banda dan Arafura. Tiga di antaranya melintasi Pulau Sumba dan Timor, yaitu siklon tropis Ester pada 1983, siklon Boni pada 2002, dan siklon Inigo pada 2003.
”Laut Banda dan Arafuru menjadi tempat utama pembentukan siklon tropis di kawasan timur Indonesia. Jika bibit siklon ini bergerak ke barat daya, wilayah yang rentan terdampak NTT. Kalau ke tenggara, yang terdampak sekitar Kepulauan Tanimbar dan pulau-pulau lainnya. Adapun untuk waktunya, umumnya terbentuk pada April,” papar Suaydhi.
—-Siklon tropis yang terbentuk di Laut Banda dan Arafura sejak 1983-2019 (sumber: Suaydhi, Lapan, 2021).
Kurangi risiko
Dengan data sejarah keberulangan ini, siklon tropis sudah harus menjadi ”sumber ancaman baru” dalam manajemen kebencanaan kita. Sebelumnya, ancaman langsung siklon tropis cenderung tidak diperhatikan karena secara teoretis wilayah Indonesia seharusnya aman dari bencana ini.
”Namun, dari kasus siklon Seroja ini kita sudah harus menerima kenyataan bahwa siklon tropis bisa terbentuk atau melintasi wilayah Indonesia,” kata peneliti klimatologi Lapan, Erma Yulihastin.
Menurut Erma, sesuai efek Coriolis, siklon tropis seharusnya tidak bisa muncul atau melintas di wilayah Khatulistiwa dan baru terjadi di garis lintang tinggi, umumnya di atas 10 hingga 15 derajat. ”Beberapa kali siklon tropis muncul di wilayah Indonesia 5-10 derajat lintang selatan,” ucapnya.
Apalagi, tren pemanasan global yang terus melaju bakal meningkatkan peluang tumbuhnya siklon tropis di wilayah perairan Indonesia. ”Siklon Seroja jelas anomali. Namun, fenomena akan menjadi semakin sering karena memanasnya lautan akibat perubahan iklim dan fenomena ENSO, baik El Nino atau La Nina,” kata ahli perubahan iklim dan meteorologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Edvin Aldrian.
Menurut Edvin, jika sebelumnya Indonesia lebih sering terdampak tidak langsung dari siklon, saat ini juga harus mengantisipasi dampak langsung, yaitu menjadi perlintasan siklon. ”Dampak tidak langsungnya juga akan menguat karena intensitas siklon yang membesar, berarti ekornya juga makin besar,” katanya.
Sekalipun frekuensi dan intensitas siklon yang melintas Indonesia tidak sesering Filipina, Vietnam, Jepang, atau negara-negara di lintang menengah dan tinggi, tetapi kita tidak boleh lagi abai dengan ancaman ini. Kehancuran yang diakibatkan siklon Seroja atau bahkan siklon dahsyat pada 1973 harus menjadi pelajaran penting.
Peringatan dini
Belajar dari negara-negara lain, kunci penting untuk mengurangi risiko siklon tropis ke depan adalah penguatan peringatan dini. Selama ini, BMKG sebenarnya sudah memiliki Pusat Peringatan Siklon Tropis.
Menurut Koordinator Subbidang Peringatan Dini Cuaca BMKG Agie Wandala Putra, BMKG sudah bisa memprediksi pola siklonal hingga menjadi bibit siklon tujuh hari sebelumnya. Adapun untuk bibit siklon hingga menjadi siklon tropis bisa diprediksi tiga hari sebelumnya.
”Siklon tropis bisa sangat dinamis pergerakannya, seperti siklon Seroja yang tumbuh sangat cepat dari bibit hingga menjadi siklon,” ujarnya.
Suaydhi mengatakan, diperlukan penguatan deteksi dini, terutama di lokasi-lokasi yang berpotensi menjadi sumber pembentukan siklon, seperti Laut Banda dan Arafura. ”Di Lapan, kami punya DSS (decision support systems) Sadewa yang bisa membantu memprediksi kondisi atmosfer hingga tiga hari ke depan yang bisa dipakai juga untuk melacak potensi siklon. Ini bisa diintegrasikan dengan sistem peringatan dini BMKG,” tuturnya.
Selain memperkuat peringatan dini agar menjadi lebih akurat, yang juga harus dilakukan adalah membangun jejaring kelembagaan, khususnya dengan badan penanggulangan bencana dan pemerintah daerah, untuk segera mengambil tindakan evakuasi jika diperlukan. Selama ini, peringatan dini cuaca ekstrem, termasuk peringatan dini siklon tropis, yang dikeluarkan BMKG hanya menjadi imbauan yang tidak memiliki kekuatan menggerakkan evakuasi.
Untuk mendukung ini, pemetaan wilayah rentan terdampak, misalnya area pesisir, bantaran sungai hingga wilayah di kaki gunung yang rentan longsor, harus dipetakan dengan lebih rinci. Pengurangan risiko multibencana, termasuk bencana siklon tropis ini, harus sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari tata ruang wilayah.
Sementara di level masyarakat, yang sangat penting dilakukan adalah meningkatkan literasi kebencanaan, di antaranya dengan menggali kembali data-data sejarah dan pengetahuan lokal. Masyarakat secara aktif harus turut memetakan kerentanan bencana di sekitar mereka dan berupaya mengurangi risiko demi keselamatan diri dan keluarga. Mitigasi dan adaptasi bencana harus sudah menjadi bagian dari budaya kita.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 9 April 2021